Opini
Kartini dan Literasi
Kemurnian pemikiran Kartini yang tidak “membebek” pemikiran Barat menjadi kekuatan lembut yang penuh cinta.
RINA HERYANI, Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Kartini sosok yang berpikir. Ia berpikir tentang kemakmuran dan kebahagiaan orang lain. Pemikiran ini terus hidup sampai kapan pun, memengaruhi semua orang lintas generasi.
Agnes Louise Symmers, penulis Letters of a Javanese Princess (1921) versi bahasa Inggris dari Door Duisternis tot Licht, memuji surat-surat yang ditulis RA Kartini, sebagai kekuatan pemikiran modern gadis Timur, yang dibesarkan di lingkungan budaya tradisional kuno.
Pesan Kartini jelas, dia tidak ingin membuat bangsanya menjadi pseudo-Eropa. Berpikirlah bebas untuk kesejahteraan, tetapi tetap menjadi orang Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Melayu, Papua, Ambon, atau Makassar yang lebih baik.
Karakter dan pemikirannya universal dan menjadi milik dunia. Atas prakarsa Abendanon dan didukung “Pecinta Kartini” dari Den Haag, Belanda, sebagai penghormatan terhadap gagasan Kartini, didirikan “Sekolah Kartini”. Pertama kali didirikan di Batavia pada 1907 dan berkembang hingga Malang, Cirebon, Bogor, dan Surabaya.
Kemurnian pemikiran Kartini yang tidak “membebek” pemikiran Barat menjadi kekuatan lembut yang penuh cinta.
Kemurnian pemikiran Kartini yang tidak “membebek” pemikiran Barat menjadi kekuatan lembut yang penuh cinta. Pemikiran Kartini dibukukan pertama kali pada 1911 di Den Haag.
Bahasa, literasi, dan pendidikan
Kartini mendapat pendidikan Belanda yang memberinya peluang memahami pemikiran Barat. Kemampuan berpikir kritisnya berkembang saat dihadapkan kenyataan, ada pemikiran selain yang dimilikinya hasil pendidikan keluarga Jawa ningrat.
Pemahaman Kartini didukung penguasaan bahasa Jawa dan Belanda. Perpaduan inilah yang membuat kemampuan literasi Kartini berkembang baik. Kemampuan literasi adalah kemampuan berbahasa dan berpikir (Trianto & Heryani, 2021).
Kemampuan ini paling banyak digunakan saat belajar dan memahami banyak hal. Kecerdasan seseorang akan terbina dengan baik oleh penggunaan kemampuan literasi. Ini sangat disadari Kartini. Ia ingin menyebarluaskan kemampuan literasi.
Bahasa fondasi literasi. Kemampuan berbahasa juga penting untuk numerasi.
Ia mulai dengan mengedukasi perempuan di sekitarnya meski dalam jumlah terbatas. Ide ini menginspirasi pembentukan Sekolah Kartini di berbagai daerah dan dunia, sebagaimana dikatakan Symmers bahwa gagasan Kartini ini bersifat universal lintas generasi.
Bahasa fondasi literasi. Kemampuan berbahasa juga penting untuk numerasi. National Early Literacy Panel (2008) menegaskan, perlunya memastikan dasar bahasa yang kuat untuk pengembangan kemampuan literasi.
Kemampuan memahami informasi dalam semua pembelajaran menggunakan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa (mendengar, membaca, memirsa, menulis, dan berbicara) ditambah kemampuan berpikir inilah yang disebut kemampuan literasi.
Peran 'Kartini'
Peran perempuan meningkatkan kemampuan literasi anak menempati urutan utama.
Penjelasan ini bisa dibaca dalam tulisan Sonali Nag dan kawan-kawan (Literacy, Foundation Learning and Assessment in Developing Countries), yang menawarkan model konseptual peran literasi di keluarga, yang memengaruhi pendidikan prasekolah dan selanjutnya.
Peran perempuan meningkatkan kemampuan literasi anak menempati urutan utama.
Ibulah yang pertama kali berkomunikasi dengan bayi, melalui tatap mata dan bunyi-bunyi ujaran saat “berbincang” dengan bayinya. Biasanya, sang bayi merespons dengan senyuman dan tawa. Saat peristiwa ini terjadi, sel-sel otak anak akan berkembang lebih baik.
Literasi paling dini terjadi saat bunyi bahasa yang didengar bayi dan pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif anaknya. Ini dijelaskan Trianto dan Heryani (2021) dalam bab tentang literasi dan kognisi di buku Literasi 4.0 Teori dan Program.
Kemampuan literasi anak dan perkembangan kognitifnya tumbuh bersamaan saling memengaruhi. Peran “Kartini” tampak lebih jelas dan penting dalam peningkatan kemampuan literasi bangsa.
Namun, sebelum menjalankan peran dan fungsinya terhadap hal itu, dibutuhkan ibu literat yang secara mandiri mampu meningkatkan mutu dirinya, hingga meningkatkan mutu perawatan dan pendidikan anaknya.
Misalnya, Finlandia yang sangat peduli terhadap penciptaan lingkungan literat di rumah. Sebelum usia sekolah, anak-anak di Finlandia relatif sering membaca buku. Ini dimungkinkan karena Pemerintah Finlandia memberikan paket maternitas.
Setiap calon ibu diberi paket perawatan anak dan buku panduan keluarga serta buku untuk bayi.
Setiap calon ibu diberi paket perawatan anak dan buku panduan keluarga serta buku untuk bayi. Ada buku khusus untuk bayi yang diberikan ke calon orang tua. Keberhasilan program literasi di Estonia pun tak lepas dari penumbuhan budaya baca di lingkungan keluarga.
Di Estonia, dua pertiga orang tua membacakan cerita pengantar tidur kepada anaknya setiap hari, atau minimal dua kali sepekan. Perkembangan ujaran anak yang dibacakan cerita pengantar tidur lebih baik dibandingkan yang tidak mendapatkan perlakuan tersebut.
Indonesia melalui Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sudah menyusun Peta Jalan Pembudayaan Literasi (PJPL) 2021-2045. Inilah dokumen penting yang harus menjadi panduan pengembangan program literasi nasional lintas kementerian dan lembaga.
Peta jalan ini diharapkan, menjadikan program literasi lebih sinergis dan komprehensif. PJPL mencantumkan pembinaan literasi di keluarga dimulai sejak anak berusia 0 tahun.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ibn Abbas, Bayang-Bayang Rasulullah
Pemikiran Ibn Abbas jernih sehingga mampu merekam seluruh tingkah laku dan perkataan Rasulullah hingga akhir hayat.
SELENGKAPNYA