
Jakarta
Semarak Menjelang Idul Fitri di Betawi
Apa yang dilakukan orang banyak pada malam Lebaran itu? Kaum pria bertakbir sepanjang malam hingga Subuh.
OLEH ALWI SHAHAB
Bagi masyarakat Jakarta, hampir setiap bulan mengadakan perayaan keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Nisfu Sya’ban, dan masih banyak lagi. Tapi, tidak ada yang menyamai kemeriahan Idul Fitri.
Perayaan itu boleh dikata dimulai sejak tibanya bulan puasa. Sehari sebelum puasa, orang mulai bergembira menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan memukul beduk sepanjang hari hingga Maghrib. Mereka hanya berhenti sebentar pada waktu Zhuhur dan Ashar.
Pada saat itu, rakyat membuat masakan lebih enak dari hari-hari biasa. Itu yang menyebabkan pengeluaran biaya rumah tangga mereka meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Apalagi, tradisi sejak dulu, tiap menjelang puasa dan Lebaran, harga-harga meroket hingga memberatkan rakyat.
Kini, ketika kita berada di pertengahan Ramadhan, para ibu dan anak gadisnya sibuk menyiapkan kue-kue Lebaran, seperti dodol, geplak, dan tapai uli. Sementara, bapak-bapak mengapur atau mengecat rumah mereka.
Mereka umumnya tinggal di masjid sambil memperbanyak berzikir dan bertafakur. Tetapi, lain daripada itu, ada lagi yang menggembirakan, yaitu tiga hari sebelum Lebaran, malam 27 bulan Ramadhan.
Ada istilah “mencari dalam 11 bulan untuk satu bulan”. Maksudnya, sebelas bulan orang bekerja membanting tulang, satu bulan untuk beribadah. Karena itu, bagi warga Jakarta yang memegang teguh agamanya, selama di bulan Ramadhan banyak dari mereka yang khatam Alquran sebanyak dua sampai tiga kali.
Mereka umumnya tinggal di masjid sambil memperbanyak berzikir dan bertafakur. Tetapi, lain daripada itu, ada lagi yang menggembirakan, yaitu tiga hari sebelum Lebaran, malam 27 bulan Ramadhan.
Menurut Ran Ramelan dalam buku Condet Cagar Budaya Betawi, di hari tersebut banyak orang yang menikah. Menikah di malam 27 Ramadhan, sang pengantin pria biasanya diarak besar-besaran dengan iringan bunyi petasan menuju ke rumah bakal mertuanya.
Dalam iring-iringan pengantin, muda-mudi masing-masing mendampingi sang pengantin. Mereka membawa barang-barang yang bakal diserahkan ke pengantin wanita. Tetapi, sang pengantin pria yang disanjung-sanjung waktu diarak tadi, setelah bertemu mertuanya dan memberi penghormatan sekadarnya (cium tangan), lalu kembali lagi ke rumahnya. Ia hanya boleh tinggal dan tidur di rumah istrinya sehabis Lebaran, sehari setelah perkawinan dirayakan.
Apa yang dilakukan orang banyak pada malam Lebaran itu? Kaum pria bertakbir atau membaca takbir, mengagungkan asma Allah sepanjang malam hingga Subuh. Sementara di luar, anak-anak memasang petasan dengan ramainya.
Petasan mulai dilarang sejak 1970-an. Pada masa penjajahan, petasan justru merupakan salah satu bentuk hiburan.
Sejak beberapa tahun lalu, memasang petasan dilarang dan pelakunya dihukum. Mengingat, permainan ini berbahaya dan kerap menimbulkan korban. Kala itu, main petasan dilakukan dengan saling melemparkan ke orang-orang yang lewat.
Petasan mulai dilarang sejak 1970-an. Pada masa penjajahan, petasan justru merupakan salah satu bentuk hiburan. Saya ketika menjadi reporter di Antara, pada malam takbiran ditugaskan ke rumah-rumah sakit dan kepolisian untuk mencatat korban akibat petasan. Jumlahnya cukup banyak tiap tahunnya hingga mau tidak mau diadakan larangan untuk permainan yang berbahaya ini.
Ada keramaian di masa lalu, yang sampai kini masih kita dapati. Keramaian itu berupa pukul beduk dan adu beduk atau ngarak beduk diiringi bunyi petasan. Jamaah tiap-tiap mushala atau tiap masjid bergantian memukul beduk dengan riangnya. Bukan saja dipukul, melainkan beduk diarak keliling kampung dan jalan-jalan. Tapi, kini sudah tidak ada lagi dengan iringan bunyi petasan.
Kalau sampai terjadi pertemuan antara rombongan beduk dari satu mushala dengan mushala yang lain di tengah jalan, kedua rombongan itu berhenti. Lalu mereka bertanding adu memukul bedug.
Kalau sampai terjadi pertemuan antara rombongan beduk dari satu mushala dengan mushala yang lain di tengah jalan, kedua rombongan itu berhenti. Lalu mereka bertanding adu memukul bedug. Masing-masing berusaha memukul sekeras mungkin. Siapa yang berhenti dan tak dapat meneruskan memukul beduk, dialah yang kalah.
Ketika esoknya, saat Hari Raya Idul Fitri, setelah shalat di masjid atau lapangan, rakyat pun memakan ketupat dengan sayur godok yang merupakan makanan khas warga Betawi. Sementara, orang yang dituakan dicium tangannya, dan yang sebaya saling mengucapkan “minal aidin wal faidzin” serta “maaf lahir dan batin”.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi Jumat, 15 Agustus 2013. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Rebutlah Keberkahan Ramadhan
Banyak isyarat dalam Alquran agar kita bersegera dalam melakukan kebaikan.
SELENGKAPNYAAtiqah dan Kesabaran Istri Syuhada
Atiqah sempat menikah empat kali dengan pria-pria terbaik dari generasi awal Islam.
SELENGKAPNYAMembedakan Antara Feeling dan Emotion
Sering kali kita menyamakan antara feeling dan emotion.
SELENGKAPNYA