Analisis
Mega Konversi Bank Syariah
Mega konversi bank umum konvensional akan mengangkat pangsa pasar perbankan syariah menjadi di atas 10 persen.
Oleh ADIWARMAN A KARIM
OLEH ADIWARMAN A KARIM
Tahun 2022 diduga akan ditandai dengan mega konversi bank syariah. Pada bulan Ramadhan ini diduga akan ada bank umum konvensional yang resmi dikonversi menjadi bank umum syariah. Persiapan panjang telah dilakukan, penantian panjang masyarakat pun akan terpenuhi.
Pada akhir tahun 2022 diduga akan ada satu lagi bank umum konvensional (BUK) yang akan mengajukan izin konversi menjadi bank umum syariah (BUK). Persiapan-persiapan telah dilakukan walaupun belum intensif. Persiapan ibarat mesin diesel ini lazim ditemui. Pada awal terkesan lambat, tapi semakin dekat tenggat waktu, semakin intensif persiapannya.
Game changer diduga terjadi pada semester kedua 2022. Mega konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah ini, karena skala asetnya, akan mengangkat pangsa pasar perbankan syariah menjadi di atas 10 persen.
Gelombang konversi BUK menjadi BUS dan spin off unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah membuat sama level of playing field perbankan nasional. Ada dua sisi kebaikan dari hal ini. Pada satu sisi, semua bank akan mengikuti regulasi yang sama dalam hal perhitungan kecukupan modal, batas maksimum penyaluran dana, efisiensi operasi dan rasio keuangan lainnya dalam menentukan kesehatan bank.
Mega konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah ini, karena skala asetnya, akan mengangkat pangsa pasar perbankan syariah menjadi di atas 10 persen.
Pada sisi lain, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keleluasaan sinergi antara BUK dan BUS dalam semua aspek bisnis kecuali pemenuhan aspek syariah bagi BUS. Hal ini langsung menghilangkan dikotomi antara bank konvensional dan bank syariah sehingga inklusi keuangan dapat lebih mudah tercapai.
Paling tidak ada tiga hal yang menjadi catatan. Pertama, calon investor BUS merasa enggan karena beberapa keistimewaan yang diberikan kepada UUS. Infant industry argument yang digunakan selama 15 tahun telah memberikan kemudahan bagi BUK untuk memiliki UUS dan menjangkau segmen pasar syariah dengan infrastruktur bisnis dan outlet yang dimiliki BUK.
Sebaliknya, BUS karena sifat kesyariahannya tidak dapat melakukan penetrasi ke segmen pasar konvensional. BUS menjadi eksklusif sehingga mudah terjangkit minority complex, merasa terpinggirkan sebagai minoritas. Justino dan Litchfield dalam riset mereka “Economic Exclusion and Discrimination: The Experience of Minorities and Indigenous Peoples” menjelaskan risiko sosial ekonomi, kecemburuan, bahkan dorongan perlawanan dari mereka yang merasa tertinggal.
BUK dapat menggarap dua segmen sekaligus, sedangkan BUS hanya terbatas pada satu segmen. BUK dapat menggunakan kepasitas bisnis berjalan yang telah dimilikinya untuk melakukan penetrasi segmen syariah. Sedangkan BUS memiliki keterbatasan daya tarik bagi investor karena keistimewaan yang diberikan pada UUS yang dimiliki BUK.
Catatan kedua, keberagaman Indonesia harus dikelola dengan bijak agar menjadi modal sosial dalam pembangunan nasional.
Catatan kedua, keberagaman Indonesia harus dikelola dengan bijak agar menjadi modal sosial dalam pembangunan nasional. Ekonomi keuangan syariah dipandang dapat menyalurkan aspirasi sebagian anak bangsa yang merasa kurang mendapat tempat untuk mengekspresikan jati diri mereka, sekaligus menjadi common interest yang menyatukan aspirasi berbagai etnis dalam bingkai NKRI. Semua unsur anak bangsa harus merasa nyaman dan saling percaya dalam rumah besar Indonesia tanpa merasa terpinggirkan.
Suryahadi, Rishanty, Sparrow, para peneliti Bank Indonesia Institute dan Wageningen University, dalam riset mereka “Social Capital and Economic Development in A Large Multi-Ethnic Developing Country: Evidence from Indonesia” menjelaskan tiga temuan terpenting mereka. Pertama, adanya saling percaya antara anak bangsa merupakan modal sosial terbesar Indonesia.
Kedua, semakin besar rasa saling percaya akan menurunkan tingkat kemiskinan, menaikkan pendapatan per kapita, dan meningkatkan konsumsi per kapita pada semua segmen populasi. Ketiga, menjaga saling percaya adalah kunci kesuksesan pembangunan Indonesia.
Membangun saling percaya antara BUK dan BUS, dan yang lebih penting membangun saling percaya antara nasabah BUK dan BUS, menjadi kunci keberhasilan. Eksklusivitas BUK dan BUS akan membuka peluang provokasi pemikiran pertentangan antarkelas. Pemilahan dan gradasi tingkat kesyariahan mudah terbentuk.
Membangun saling percaya antara BUK dan BUS, dan yang lebih penting membangun saling percaya antara nasabah BUK dan BUS, menjadi kunci keberhasilan.
Diskursus UUS kurang syariah, BUS lebih syariah, BUS ini paling syariah, akan menghabiskan energi tidak produktif dan menghilangkan fokus dari tujuan utama ekonomi syariah, yaitu kemajuan bangsa dengan nilai-nilai luhur syariah.
Catatan ketiga, mega konversi dan spin off yang akan menghilangkan keistimewaan UUS setelah 15 tahun berjalan akan mengubah peta jalan ekonomi keuangan syariah ke arah kolaborasi dan sinergi antara BUK dan BUS. Munculnya saling percaya ini membuka jalan untuk saling belajar.
BUK belajar nilai-nilai syariah untuk dapat lebih diterima masyarakat. BUS belajar strategi taktik bisnis untuk dapat lebih menjangkau masyarakat. Yang paling diuntungkan adalah bangsa Indonesia.
Rasulullah SAW telah memberi kita contoh sinergi dan saling percaya. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah.
Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya.”
Inilah yang harus dihindari, polarisasi masyarakat yang menjadi proxy persaingan para pemilik modal.
Justus Van Der Kroef dalam risetnya “Social Conflict and Minority Aspirations in Indonesia” menjelaskan besarnya rasa ketidakpercayaan bangsa Indonesia kepada budaya Barat yang di awal kemerdekaan Indonesia diwakili oleh budaya penjajahan Belanda. Ketidakpercayaan ini menjadi ketegangan dan kemarahan terhadap budaya Barat, termasuk budaya lembaga bank.
Rilus Kinseng, peneliti IPB, dalam risetnya “Class Consciousness and Class Conflict in Capture Fishery in Indonesia” menjelaskan terbelahnya komunitas nelayan antara yang besar dan yang kecil. Muncul ketidakpercayaan, ketegangan, kemarahan antara para nelayan. Ironisnya, kelompok nelayan besar didukung oleh pemodal, dan kelompok nelayan kecil juga didukung oleh pemodal di belakang mereka. Para nelayan menjadi proxy dari persaingan bisnis para pemodal.
Inilah yang harus dihindari, polarisasi masyarakat yang menjadi proxy persaingan para pemilik modal. Membangun bisnis dengan memanfaatkan ketidakpercayaan dan ketegangan masyarakat. Menyibukkan diri mencari kelemahan orang lain dan lalai berbuat kebajikan.
Seorang ulama tasawuf mengingatkan “Tidak ada waktuku untuk membenci orang yang membenciku, karena aku sibuk mencintai Dia yang mencintaiku”.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ramadhan dan Kebangkitan Sosial-Spiritual
Ramadhan adalah tarbiyah untuk bersedekah, sekolah efektif untuk menyapa mereka yang tak berpunya.
SELENGKAPNYAMenikmati Kembali Indahnya Sakura
Sakura yang juga dikenal sebagai Cherry blossoms adalah bunga favorit Jepang.
SELENGKAPNYA