Opini
Timteng dan Perang Ukraina
Barat butuh migas Iran untuk ikut mengganti migas Rusia yang hilang di Eropa.
SMITH ALHADAR, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Perang Ukraina direspons berbeda oleh negara Timur Tengah (Timteng). Suriah di bawah rezim Presiden Bashar al-Assad, yang kelangsungan hidupnya bergantung pada bantuan militer Rusia, mendukung penuh invasi Rusia ke Ukraina.
Kuwait, yang trauma dengan invasi Irak pada 1990, mengecam keras Rusia. Iran, kendati menolak invasi Rusia, menyalahkan NATO sebagai pemicu invasi itu. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar mengambil sikap netral.
Respons Turki cukup berimbang. Kendati menolak invasi Rusia dengan menyebutnya perang, Turki ogah menerapkan sanksi dan mengizinkan pesawat komersial Rusia menggunakan langit Turki ketika UE dan NATO berlaku sebaliknya.
Terhadap Ukraina, Turki mengirim drone militer canggih, yang saat ini digunakan Ukraina melawan militer Rusia. Tak heran, Rusia dan Ukraina menyambut tawaran Turki menjadi mediator perdamaian.
Kedekatannya dengan Rusia terkait kepentingan nasional Turki. Ankara membutuhkan pasokan gas dari Rusia dan peningkatan kerja sama ekonomi. Terkait isu Kurdi dan geopolitik, Turki juga butuh kerja sama Rusia.
Sejak 9 Maret, sudah dua kali kedua negara mengirim diplomat tingkat tinggi ke Turki untuk berunding langsung. Memang dalam konteks perang Ukraina, Turki memiliki bobot cukup besar dalam upaya menghentikan perang karena dipercaya kedua negara itu.
Kepercayaan Rusia pada Turki tak lepas dari politik luar negeri Turki yang independen dari NATO meski Turki anggotanya. Itu terlihat dari resistensi Turki atas tekanan NATO untuk tidak membeli sistem pertahanan canggih S-400 dari Rusia.
Kedekatannya dengan Rusia terkait kepentingan nasional Turki. Ankara membutuhkan pasokan gas dari Rusia dan peningkatan kerja sama ekonomi. Terkait isu Kurdi dan geopolitik, Turki juga butuh kerja sama Rusia.
Rusia-Ukraina butuh Turki yang berbagi perbatasan maritim di Laut Hitam. Rusia juga butuh pelayaran aman kapal perangnya dari pangkalan Rusia ke pangkalan di Tartus, Suriah, satu-satunya pangkalan AL Rusia di Laut Tengah.
Sementara itu, negara Teluk produsen migas utama dunia, menjadi pusat perhatian Barat. Rencana penghentian total impor migas dari Rusia oleh anggota NATO dan UE, memaksa Barat berpaling ke Teluk.
Pada 11 Maret, Emir Qatar Tamim bin Hamat al-Thani menjumpai Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, membahas peningkatan pasokan gas Qatar ke Eropa. Pada hari yang sama, PM Inggris Boris Johnson mengunjungi UEA dan Saudi.
Di sisi lain, UEA dan Saudi kecewa, Biden mencabut status milisi Houthi pro-Iran dari daftar organisasi teroris, sedangkan Rusia mendukung status Houthi sebagai organisasi teroris.
Pada 19 Maret, Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck ke Qatar dengan tujuan sama. Namun mengejutkan, ketiga kerajaan sekutu tradisional AS itu menampik desakan Barat.
Paling tidak, ada dua alasan. Pertama, alasan ekonomi. Mereka ingin harga minyak di pasar global tetap tinggi demi meningkatkan pemasukan negara. Kedua, alasan politik. Qatar, UEA, dan Saudi memiliki hubungan baik dengan Rusia.
Di sisi lain, UEA dan Saudi kecewa, Biden mencabut status milisi Houthi pro-Iran dari daftar organisasi teroris, sedangkan Rusia mendukung status Houthi sebagai organisasi teroris. Biden membatasi bantuan militer ofensif ke Saudi guna mendorong penyelesaian politik atas perang Yaman.
Riyadh dan Abu Dhabi juga tak bisa menerima upaya AS memulihkan kesepakatan nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Perundingan Iran dengan lima anggota DK PBB plus Jerman (P5+1) di Wina sejak berbulan-bulan lalu kini masuk finalisasi.
JCPOA mengharuskan Iran membatasi pengayaan uranium, dengan imbalan bebas mengekspor energi ke pasar global. Saudi dan UEA khawatir ini meningkatkan politik ekspansi Iran lewat penciptaan proksi di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yaman.
Sebab, Barat butuh migas Iran untuk ikut mengganti migas Rusia yang hilang di Eropa.
Mereka berharap, kalaupun JCPOA dipulihkan, Iran harus bersedia menarik diri dari campur tangannya di negara-negara itu dan membatasi program rudal balistiknya. Namun, setelah meletus perang Ukraina, posisi tawar Iran vis a vis P5+1 meningkat.
Sebab, Barat butuh migas Iran untuk ikut mengganti migas Rusia yang hilang di Eropa. Sementara itu, Israel mengecam invasi Rusia, tetapi menolak menjatuhkan sanksi atas Rusia dan menolak memasok senjata ke Ukraina.
Sikap ini disambut Rusia. Pada 5 Maret, Putin membuka pintu bagi PM Israel Naftali Bennett untuk misi perdamaian.
Bennett ingin membangun citra pemimpin Israel kredibel saat mantan PM Benjamin Netanyahu masih sangat berpengaruh. Ke luar, Bennett ingin Israel dilihat dunia sebagai pencinta damai ketika penindasan atas Palestina disorot dunia. Namun, misi Bennett gagal.
Perang Ukraina tentu juga berdampak negatif bagi negara Timteng, yang bergantung pada gandum Rusia dan Ukraina.
Namun, secara keseluruhan, negara Teluk termasuk Irak dan Iran, mendapat durian runtuh karena kenaikan luar biasa harga migas dunia, juga meningkatkan bobot politik mereka di panggung global. Semakin perang berkepanjangan, semakin strategis posisi mereka.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Semarak Jelang Ramadhan
Ragam pembatasan dampak pandemi Covid-19 membuat masyarakat merindukan Ramadhan dalam situasi normal.
SELENGKAPNYAErick Pastikan Harga Pertalite Tetap
Erick memastikan, harga BBM jenis Pertalite tidak akan mengalami kenaikan karena disubsidi pemerintah.
SELENGKAPNYAMemberantas Islamofobia: MU PBB
Proklamasi MU PBB untuk pemberantasan Islamofobia dapat mendorong terciptanya momentum baru perlakuan.
SELENGKAPNYA