Jakarta
Kampung Boncos, dari Tanah Sengketa Jadi Sarang Narkoba
Pemukim pertama di Kampung Boncos didominasi orang-orang yang awalnya tinggal di bantaran kali Ciliwung
OLEH ALI MANSUR
Seperti di kota-kota besar lainnya di dunia, ibu kota DKI Jakarta juga memiliki wilayah-wilayah rawan kriminal, terutama peredaran narkoba. Salah satunya adalah 'Kampung Boncos' yang terletak di Kota Bambu Selatan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Mirisnya, ketenaran Kampung Boncos sebagai pusat penjualan dan penggunaan berbagai jenis narkoba ini terkenal hingga mancanegara.
Hasil dari penelusuran Republika, secara administratif Boncos bukanlah nama resmi perkampungan, melainkan sebuah permukiman liar yang ada di kawasan Gang Kiapang di RW 3, Kelurahan Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat.
Dulu, Kampung Boncos merupakan tanah sengketa. Maka oleh masyarakat dianggaplah sebagai tanah tak bertuan. Sehingga tanah tersebut dijadikan permukiman liar.
Menurut tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya, pemukim pertama di tanah sengketa itu didominasi orang-orang yang awalnya tinggal di bantaran kali Ciliwung di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka membuka usaha rongsokan atau boncos.
"Dulu kalau orang mau jual boncosan (barang bekas—Red) ke sana, jadi terkenal sampai sekarang Kampung Boncos," kata pria berinisial L tersebut.
Beberapa hari setelah penggerebekan peredaran narkoba oleh jajaran Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat pada Jumat (18/3), Republika menelusuri Kampung Boncos. Daerah ini lokasinya berjarak tak lebih tiga kilometer dari kantor Polres Metro Jakarta Barat.
Rute termudah menuju Kampung Boncos melalui Jalan Kota Bambu Selatan VII, jika dari Jalan Jati Baru Raya. Gangnya sempit dan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.
View this post on Instagram
Gang sempit itu diimpit rumah-rumah warga. Banyak anak-anak muda nongkrong di mulut gang. Mereka hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Dari perawakannya, usianya masih belasan. Mereka tampak mengawasi orang lalu lalang. Sesekali melihat handphone, seraya memberi informasi terkait keberadaan orang asing yang dicurigai.
Menurut L, mereka adalah informan para bandar yang juga bekerja sebagai calo antara pembeli dan penjual. Konon, dalam sehari mereka bisa meraup keuntungan sekitar Rp 100 ribu.
Memang pemakai dan bandar bukan penduduk asli Kampung Boncos. Hanya, warga setempat yang memfasilitasi, seperti kontrakan atau dikenal istilah 'hotel' untuk transaksi dan mengonsumsi narkoba.
"Ada yang nyaloin sih. Kalau orang baru nggak mau dia melayani karena dicurigai polisi. Karena sudah dijaga, ngasih informasi, 'Bang, ada orang masuk tuh mencurigakan," ujar L.
Dia menyebut aktivitas jual beli barang haram di Kampung Boncos masih marak dan tersedia selama 24 jam. Bahkan, dalam sehari bisa ribuan orang masuk ke Kampung Boncos untuk bertransaksi. Sekalipun titik yang ditengarai menjadi pusat transaksi itu semakin menyempit, setelah lapak-lapaknya digusur dan hanya menyisakan tanah kosong. Saat ini lahan kosong dikuasai oleh PT Djarum Indonesia.
Sebenarnya, kata L, warga setempat sudah jengah dengan peredaran narkoba di Kampung Boncos tersebut. Namun, ia menduga secara tak langsung aparat keamanan turut membekingi mereka. "Tiga jam sebelum digerebek itu barang sudah sudah nggak ada, pokoknya bersih. Tapi, satu jam setelah itu mereka gelar, transaksi lagi," ujar L.
Modus operandi yang digunakan oleh para bandar dan pengedar narkoba ini cukup unik. Mereka menerapkan sistem shift dalam menjajakan dagangannya. Misalnya, bandar A masuk ke Kampung Boncos pada pagi hari. Mereka akan melayani pembeli hingga siang sebelum berganti shift. Lalu saat bandar A keluar dari Boncos, bandar B akan masuk sebelum nanti diganti bandar C dan seterusnya.
"Sekarang sistemnya shift. Jadi, tidak ada BD (bandar) yang menetap di sana. Dulu memang BD punya rumah di Boncos, sekarang pada dijual-jualin, pemakai juga kebanyakan dari luar," katanya.
Dia mengakui, memang sampai saat ini ada andil dari warga setempat, terutama yang memiliki kontrakan di Kampung Boncos. Para bandar berani menyewa kontrakan atau lapak dengan harga yang sangat tinggi. "Digerebek percuma, yang ketangkep pemilik kontrakan, pemakai. Bandarnya nggak pernah ketangkep. Pokoknya kalau mau operasi di situ ngilang orangnya," katanya.
Di samping menerapkan sistem shift, menurut L, para bandar juga kerap memanfaatkan perempuan untuk menyelundupkan narkoba ke Kampung Boncos. Hal itu dilakukan untuk mengelabui atau menghindari kecurigaan petugas. Namun, L mengaku tidak mengetahui asal narkoba yang diedarkan di Kampung Boncos tersebut.
Sebagai warga asli Kampung Boncos, L masih sangat berharap agar tempat tinggalnya benar-benar bersih dari peredaran narkoba. "Kita masyarakat ini bukannya tidak ngerti, cuma tidak ada kekuatan. Nyawa kita taruhannya," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.