Opini
Pamor Buatan
Saat lema artifisial dilekatkan pada sebuah pamor, bisa dijadikan sistem reduksi.
FATHORRAHMAN GHUFRON; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga, Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta
Seiring perkembangan dunia digital, ada beragam rekayasa teknologi yang digunakan untuk melahirkan berbagai inovasi. Salah satunya kecerdasan buatan (AI).
Sebagai model statistik yang canggih, kecerdasan buatan digunakan para penggunanya untuk menafsirkan dan memahami data eksternal dengan benar. Dari prakarsa inovasi sangat spektakuler ini, terciptalah berbagai aplikasi yang menggunakan metode algoritma.
Melalui mekanisme algoritma setiap masalah bisa diselesaikan secara sistematis, terstruktur, dan logis. Bahkan, sebagai kumpulan perintah yang sudah direkayasa, algoritma bisa melakukan pengulangan proses dan memberikan keputusan yang tepat.
Itulah gelombang kecanggihan teknologi yang ditimbulkan dunia digital, tempat artifisialitas menjadi moda produksi penting dalam penambangan data. Sekaligus, menentukan arah pengetahuan dan pengalaman hidup setiap orang dengan sistem rekayasa.
Dalam kaitan ini, fitrah artifisial memang diciptakan sebagai lema yang meniscayakan sebuah sistem buatan dan tak alami.
Segala cara
Dalam kaitan ini, fitrah artifisial memang diciptakan sebagai lema yang meniscayakan sebuah sistem buatan dan tak alami. Saat lema artifisial dilekatkan pada sebuah pamor, bisa dijadikan sistem reduksi dan gradasi untuk menata kepura-puraan yang bisa menyimpang dari fitrah kebajikan.
Tidak heran bila setiap perilaku yang dilapisi artifisialitas selalu menunjukkan kesenjangan sikap antara yang seharusnya dan yang senyatanya.
Dengan kata lain, seseorang yang gemar merekayasa sikapnya dengan cara-cara serbaartifisial, dia akan selalu berupaya mencari pembenaran ketika berada dalam situasi salah, sekaligus menyalahkan pihak lain agar dirinya bisa tampak benar.
Bahkan, untuk mencapai tujuan tertentu yang bisa memuaskan kepentingan dirinya, ia menghalalkan segala cara. Ironisnya, sikap menghalalkan segala cara ini dijadikan jalur cepat oleh sekelompok orang untuk mendulang ketenaran.
Seolah-olah, ketenaran adalah kiblat utama untuk memenuhi segala hajat yang harus tercapai.
Tak peduli apakah yang dilakukan akan melukai perasaan banyak orang, menyerobot hak asasi orang, bahkan apa yang dilakukan justru menuai cemoohan publik, yang terbayang dalam pikirannya adalah ketenaran.
Seolah-olah, ketenaran adalah kiblat utama untuk memenuhi segala hajat yang harus tercapai.
Sikap berpura-pura
Itulah yang terjadi pada sosok Indra Kenz, yang lihai mencitrakan diri sebagai crazy rich dan berhasil memperdaya banyak kalangan.
Melalui pemosisian diri sebagai anak muda kaya raya, dengan rumah tinggal mewah, dan kendaraan sangat elite, dia ingin menunjukkan diri sebagai sosok yang memiliki puncak kesuksesan yang melampaui usianya.
Selain itu, Indra memperlebar sayap kepura-puraannya sebagai sosok filantropis yang gemar bederma kepada berbagai kalangan. Di berbagai kesempatan, dia mempertontonkan aksi bagi-bagi uang kepada kaum pinggiran.
Namun, bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya Indra sosok buatan yang bisa jadi didesain oleh aktor besar yang bergerak di balik layar.
Bahkan, kaum selebritas yang selama ini dikenal sebagai pusat perhatian massa, tak luput dari jebakan pemberian (gift trap).
Padahal, di balik kepura-puraan sebagai orang kaya baru dan modus kedermawanan, ada perangkap penipuan yang berlindung di balik investasi binomo. Melalui platform trading daring ini, Indra melakukan penipuan yang nyaris tak dirasakan pihak yang tertipu.
Namun, bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya Indra sosok buatan yang bisa jadi didesain oleh aktor besar yang bergerak di balik layar.
Dengan penampilan diri yang memikat, keterampilan berkomunikasi yang interaktif, keluwesan memamerkan segala kelebihan diri, dan kemampuan membuat konten kreatif yang bisa menyihir warganet, bisa jadi Indra adalah “wayang” yang bisa diremot dari jauh.
Ironisnya, sikap kepura-puraan ini beririsan dengan mentalitas sebagian masyarakat yang mudah tergiur kegemerlapan dan kesuksesan, yang diraih dalam tempo singkat.
Padahal, sebagaimana diperingatkan John Naisbit, semakin tinggi teknologi, tapi tidak digunakan dengan nalar dan sikap yang canggih pula (high tech low touch).
Terlebih lagi, seiring perkembangan teknologi, sebagian besar masyarakat kita mengalami kegagapan budaya ketika berhadapan dengan kecanggihan teknologi.
Padahal, sebagaimana diperingatkan John Naisbit, semakin tinggi teknologi, tapi tidak digunakan dengan nalar dan sikap yang canggih pula (high tech low touch). Dampaknya, banyak pihak terseret dunia buatan yang terperangkap dalam dunia bualan.
Kasus Indra Kenz hanyalah secuil tragedi kemanusiaan yang menimpa banyak kalangan, yang tiba-tiba terperangah karena merasa tertipu pamor buatan.
Karena itu, pada era digital yang menawarkan banyak keserbacepatan: cepat saji, cepat terkenal, cepat kaya, cepat pintar, dan lain sebagainya, seharusnya kita mengedepankan nalar kritis agar segala tawaran yang serbacepat saji bisa diperhitungkan sejak dini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Permintaan Maaf Indra Kenz dan Terendusnya Aset Tersembunyi
Indra Kenz mengaku mengenal aplikasi binary option Binomo lewat iklan pada 2018 lalu.
SELENGKAPNYAPolisi Perlihatkan Indra kenz
Menyita sejumlah aset milik tersangka senilai Rp 55 miliar
SELENGKAPNYABagaimana Pandangan Syariah Mengenai Binary Option?
Binary option itu ilegal karena bersifat judi dan tidak ada barang yang diperdagangkan.
SELENGKAPNYA