Internasional
AS Sebut Kekerasan terhadap Rohingya Sebagai Genosida
Sejak Agustus 2017, sebanyak 1,2 juta orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) telah resmi menetapkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai bentuk genosida. Washington menilai, ada bukti jelas terkait upaya “penghancuran” kelompok minoritas tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan keputusan Washington untuk mengakui kekejaman terhadap Muslim Rohingya di tangan rezim militer di Myanmar, Senin (21/3). "Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa anggota militer Myanmar melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya," kata Blinken dalam pidatonya di Museum Peringatan Holocaust AS di Washington.
Min Aung Hlaing, yang merupakan kepala militer pada 2016 dan 2017 dan memimpin pemerintahan sejak kudeta Februari 2021, disebutkan dalam pidato Blinken.
Deklarasi AS tentang genosida Muslim Rohingya itu menyebutkan, angkatan bersenjata di bawah komando langsung Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas pembunuhan lebih dari 9.000 Rohingya dan membuat 840 ribu lainnya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh selama periode dua tahun. Komandan angkatan bersenjata Myanmar telah berada di bawah sanksi AS atas perannya dalam kekejaman itu sejak Desember 2019.
AS telah menjatuhkan sanksi pada elemen militer Myanmar dan telah mengalokasikan hampir 1 juta dolar AS untuk mendukung penyelidikan dan dokumentasi kejahatan paling mengerikan yang dilakukan di Myanmar.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan, Amerika Serikat berkomitmen untuk mengejar kebenaran dan keadilan bagi para korban dan pertanggungjawaban bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman ini dan atas pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di seluruh Myanmar.
"Pada 2016 dan 2017, militer Burma melancarkan gelombang kekerasan mengerikan di negara bagian Rakhine utara terhadap Rohingya yang mayoritas Muslim, yang pada saat itu, Amerika Serikat simpulkan sebagai pembersihan etnis," ujarnya.
Bulan lalu, Pengadilan Internasional yang berbasis di Belanda melanjutkan prosesnya dalam gugatan yang menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnis dan genosida. Gambia, yang didukung oleh Organisasi Kerjasama Islam, mengajukan gugatan pada 2019.
Pada Desember 2019, pemimpin sipil Myanmar sebelumnya, peraih Nobel Aung San Suu Kyi, membela tindakan militer di negara bagian Rakhine sebagai tanggapan terhadap militan. Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto Myanmar pada saat pembantaian 2017, ditangkap dalam kudeta Februari 2021. Dia tidak disebutkan namanya dalam dekrit.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Myanmar mengeluarkan pernyataan pada Selasa (22/3), bahwa Myanmar tidak pernah terlibat dalam tindakan genosida dan tidak memiliki niat genosida terhadap kelompok mana pun. Bagi Myanmar, genosida yang diumumkan AS bermotivasi politik dan sama saja dengan mencampuri urusan dalam negeri negara berdaulat.
Pada akhir 2017, US Holocaust Memorial Museum bersama kelompok Fortify Right merilis laporan terkait kekerasan yang dialami etnis Rohingya. Pada 2018, Departemen Luar Negeri AS menerbitkan laporan yang menjabarkan lebih detail tentang aksi kekerasan militer Myanmar terhadap orang-orang Rohingya.
Washington menilai, kekerasan tersebut bersifat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya. AS pun menjatuhkan sanksi kepada para jenderal Myanmar yang dianggap bertanggung jawab atau terlibat dalam aksi tersebut.
Sejak Agustus 2017, sebanyak 1,2 juta orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi militer.
Sementara itu keputusan AS disambut para pengungsi Rohingya di Bangladesh. “Kami sangat senang atas deklarasi genosida; terima kasih banyak,” kata Sala Uddin (60 tahun), seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp Kutupalong di Bangladesh, dikutip laman TRT World, Selasa (22/3).
Kelompok kemanusiaan Refugees International turut menyambut keputusan AS. “Deklarasi genosida AS adalah langkah yang disambut baik dan sangat berarti. Ini juga merupakan tanda komitmen yang kuat terhadap keadilan bagi semua orang yang terus menghadapi pelanggaran oleh junta militer hingga hari ini,” kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Sudah 60 tahun, mulai tahun 1962, pemerintah Myanmar menyiksa kami dan banyak komunitas lain termasuk Rohingya. Saya pikir jalan untuk mengambil tindakan oleh komunitas internasional terhadap Myanmar telah terbuka karena deklarasi tersebut," kata Sala Uddin, pengungsi berusia 60 tahun di kamp di Bangladesh, dilansir VOA News, Rabu (23/3).
Pengungsi lainnya, Abdul Gafur, menuturkan bangsa Rohingya akan selalu mengingat deklarasi AS tentang genosida Rohingya. "Pertemuan dilarang di kamp-kamp karena pandemi. Itulah sebabnya orang-orang Rohingya tidak dapat mengikuti program apa pun untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada AS," tuturnya.
Aktivis hak asasi manusia mengharapkan langkah AS untuk meningkatkan upaya berkelanjutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku genosida dan kejahatan serius lainnya dan memberikan keadilan dan dukungan bagi para korban.
"Saya pikir kita perlu melihat apa yang akan terjadi setelah pernyataan itu. Hanya dengan mengatakan bahwa genosida telah dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya tidak cukup baik," kata Direktur Pusat Studi Genosida di Universitas Dhaka di Bangladesh, Imtiaz Ahmed.
Khairul Islam, pengungsi Rohingya di Bangladesh, menyampaikan, Myanmar harus diadili karena genosida. Harus ada sanksi ekonomi untuk mengendalikan Myanmar. Jika tidak, Myanmar tidak akan mendengarkan siapa pun. Mereka tidak pernah melakukannya di masa lalu.
Direktur Pusat Studi Genosida di Universitas Dhaka Imtiaz Ahmed mengatakan deklarasi genosida yang dibuat AS merupakan langkah positif. Namun, menurut dia, penting untuk melihat tindakan dan langkah konkret apa yang bakal mengikuti.
“Hanya dengan mengatakan bahwa genosida telah dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya tidak cukup. Saya pikir perlu melihat apa yang akan terjadi setelah pernyataan itu,” ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Perang Rusia-Ukraina: Sisi Muslim (3)
Jumlah Muslim bertambah karena banyak penganut Islam di republik lain atau kota besar.
SELENGKAPNYAWHO: Pencabutan Pembatasan Langkah 'Brutal'
Peningkatan kasus Covid tertentu terlihat di Inggris, Irlandia, Yunani, Siprus, Prancis, Italia, dan Jerman.
SELENGKAPNYASandungan Kembali Adang Gadis Afghanistan
Kaum pragmatis ingin lebih banyak terlibat sambil tetap mempertahankan nilai Islam.
SELENGKAPNYA