Resonansi
Kazakhstan: Islam Kembali
Krisis politik Kazakhstan boleh jadi fenomena kembalinya Islam ke panggung sosial, budaya, dan politik.
Oleh AZYUMARDI AZRA
OLEH AZYUMARDI AZRA
Krisis politik Kazakhstan pada awal Januari 2022 boleh jadi merupakan bagian dari fenomena kembalinya Islam ke panggung sosial, budaya, dan politik negara ini. Lama berada di bawah hegemoni atau dominasi Rusia dan Soviet, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas warga Kazakhs seolah tenggelam ke dalam lumpur kegelapan.
Islam kembali. Ini berkat kemerdekaan dari Uni Soviet pada 1991 yang tidak bisa dibendung oligarki politik Kazakhstan, yang masih melanjutkan warisan negatif Soviet terhadap agama.
Menurut Pew Research Center’s Religious and Public Life, "Religious Composition by Country 2010-2050", penganut Islam sekitar 72 persen dari 19 juta jiwa penduduk (2021). Menurut konstitusi Kazakhstan 1995, negara ini adalah demokrasi berdasarkan sekularisme—ideologi pemisahan agama dengan politik.
Kazakhstan menjadi satu-satunya negara bekas bagian Uni Soviet di Asia Tengah, yang tidak memberikan tempat secara konstitusional kepada Islam. Sekularisme Kazakhstan tidak konsisten karena rezim penguasa tidak memberi kebebasan pada pemeluk agama.
Penguatan kooptasi Islam oleh negara sejak masa pasca-Soviet bermula ketika ‘orang kuat’ Nursultan Nazarbayev diangkat Moskow,
Penguatan kooptasi Islam oleh negara sejak masa pasca-Soviet bermula ketika ‘orang kuat’ Nursultan Nazarbayev diangkat Moskow, sebagai ketua Partai Komunis Kazakhstan (KCP) pada 1990 dan sekaligus sebagai presiden (‘boneka’).
Nazarbayev kemudian mengeluarkan Kazakhstan dari Dewan Muslim Asia Tengah dan sebaliknya, membentuk lembaga Mufti Kazakhstan yang sepenuhnya dikuasai negara. Meski Kazakhstan menganut sekularisme, negara tidak membiarkan agama hidup sendiri. Secara kontradiktif negara mencampuri urusan agama.
Konstitusi 1995 menyatakan larangan mendirikan partai agama, ormas yang dapat menumbuhkan sentimen agama, etnisitas, dan rasial. Restriksi ini tidak bisa menghalangi peningkatan perkecambahan ormas agama, dari sekitar 470 pada 1990 menjadi 4.170 pada 2010. Jumlah ini terus meningkat.
Jumlah masjid yang sebelum kemerdekaan 1991 terus merosot karena ditutup paksa rezim, selanjutnya bertambah karena pembukaan kembali masjid yang digembok dan masjid yang baru dibangun warga dan ormas Muslim, sehingga pada 2010 saja jumlahnya mencapai 2.300 masjid.
Meski cukup banyak pertanda kembalinya Islam di Kazakhstan, ada regulasi pelarangan pemakaian cadar (burqa atau niqab), dan pengharaman Hizbut Tahrir.
Namun, semua masjid ini harus berafiliasi dengan ‘Asosiasi Spiritual Muslimin Kazakhstan’ di bawah pimpinan mufti yang diangkat pemerintah.
Meski cukup banyak pertanda kembalinya Islam di Kazakhstan, ada regulasi pelarangan pemakaian cadar (burqa atau niqab), dan pengharaman Hizbut Tahrir. Pemerintah Kazakhstan mengeklaim negaranya sebagai jembatan di antara negara-negara Muslim lain dengan dunia Barat sejak menjadi anggota OKI pada 1995.
Islam kembali. Meski kebijakan Pemerintah Kazakhstan masih terus restriktif, ekspresi Islam tidak bisa dibendung. Restriksi terhadap Islam di Kazakhstan, sekali lagi, tidaklah baru.
Sejak masa Rusia yang berlanjut dengan Soviet, berbagai kebijakan, program, dan usaha dilakukan untuk melemahkan Islam dan kaum Muslimin, termasuk misalnya mengecilkan peran dan posisi Islam; sebaliknya membesar-besarkan sejarah Kazakhs pada masa pra-Islam; juga ‘ateisasi’ kaum Muslim.
Namun, semua usaha itu terbukti tak berhasil. Bahkan, sejak pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev melancarkan ‘Prestroika’ (reformasi) pada 1985—berakhir dengan bubarnya Uni Soviet pada 1991—kaum Muslim Kazakhs bangkit kembali.
Muslim Kazakhs menegaskan identitas Islam, dan membangun kembali lembaga Islam yang pernah mereka miliki. Dalam kunjungan ke Kazakhstan menjelang akhir 2017, penulis Resonansi ini mewawancarai beberapa warga muda Kazakhs.
Muslim Kazakhs menegaskan identitas Islam, dan membangun kembali lembaga Islam yang pernah mereka miliki.
Mereka mengaku penganut Islam, tetapi tidak memahami ajaran dan ritual Islam, dan mengaku sedang belajar Islam. Selain itu, penulis pernah memiliki mahasiswa tamu asal Kazakhstan di program Pascasarjana UIN.
Mereka heran dengan syiar Islam Indonesia yang sangat semarak, antara lain dengan gema azan setiap kali masuk waktu shalat. Mereka juga menyatakan diri Muslim, tetapi ‘tidak taat-taat amat’ seperti Muslimin Indonesia.
Adanya mahasiswa/i Kazakhstan di berbagai perguruan tinggi Islam Indonesia tak lain karena restu Pemerintah Kazakhstan, yang memandang Islam Indonesia wasathiyah aman bagi mereka.
Pemerintah Kazakhstan sebaliknya melarang atau mencegah pelajar mereka pergi ke negara Muslim tertentu, dengan pemahaman dan praksis Islam keras. Sejak awal milenium baru 2000-an, Pemerintah Kazakhstan memberi perhatian khusus pada kelompok Salafi.
Gelombang radikalisasi di kalangan anak muda Muslim sejak peristiwa ‘Nine/Eleven’ (9 September 2001) di AS, juga meningkatkan aktivitas Salafi di Kazakhstan.
Mereka dipandang pemerintah bertanggung jawab atas aksi kekerasan di Aktobe, Kazakhstan Barat pada 2016. Pemerintah melakukan program deradikalisasi sejak 2017 yang diklaim berhasil menarik kembali sekitar 400 pengikut Salafi.
Apakah krisis politik sekarang ini membuat rezim oligarki Kazakhstan kian represif? Sejarah Kazakhstan, seperti juga terlihat dalam kasus banyak negara lain, membuktikan opresi rezim oligarki tidak pernah berhasil.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.