Kabar Utama
KPPU: Ada Sinyal Kartel Minyak Goreng
Meski merek minyak goreng sangat beragam, banyak di antaranya berasal dari perusahaan yang sama.
JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut terdapat sinyal praktik kartel di balik fenomena kenaikan harga minyak goreng. Namun, dugaan itu perlu diselidiki lebih lanjut untuk membuktikan kebenaran adanya praktik tersebut.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) yang merupakan bahan baku minyak goreng memang murni akibat hukum pasar karena ada kenaikan permintaan global terhadap CPO. Ia pun menilai indikasi praktik kartel tidak terlihat dalam harga CPO.
Namun, dia mengatakan, sinyal adanya praktik kartel terlihat di level produk turunan, khususnya minyak goreng. Indikasi itu juga terlihat dari data yang menunjukkan bahwa mayoritas pangsa pasar minyak goreng dikuasai perusahaan besar yang terintegrasi dengan produsen CPO.
Ukay mengatakan, meski merek minyak goreng yang beredar sangat beragam, banyak di antaranya berasal dari perusahaan yang sama. Menurut dia, struktur industri minyak goreng menunjukkan adanya oligopoli.
"Bagi pelaku usaha (CPO), sebetulnya lebih untung untuk ekspor. Tapi, di sisi lain, dia punya pabrik minyak goreng yang kalau tidak disuplai bisa berhenti. Jadi, yang paling aman, dia menyamakan atau menaikkan harga CPO yang dijual ke pabrik minyak gorengnya sendiri," kata Ukay dalam konferensi pers, Kamis (20/1).
Dengan pola itu, kata dia, harga CPO untuk minyak goreng semestinya tidak serentak naik. Hal itu karena ada banyak perusahaan di Indonesia yang juga memiliki pangsa pasar besar. Di sisi lain, KPPU menilai saat ini pun tidak terdapat kenaikan biaya proses produksi. "Ini bisa dimaknai sebagai sinyal kartel karena harga kompak naik walaupun mereka (produsen—Red) punya kebun sendiri-sendiri," ujarnya.
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala menjelaskan, ada empat produsen minyak goreng yang memiliki pangsa pasar cukup besar berdasarkan data yang diolah KPPU, yaitu sebesar 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, 8,2 persen. Dari temuan itu, sebesar 46,5 persen rasio konsentrasi pangsa pasar dikuasai oleh empat perusahaan.
"Dari temuan kami, pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar terbesar itu sebenarnya terintegrasi secara vertikal, di mana dia bagian dari kelompok usaha perkebunan kelapa sawit," kata Mulyawan.
Mulyawan mengatakan, KPPU mendorong pemerintah menumbuhkan industri-industri minyak goreng baru. Pasalnya, pangsa pasar minyak goreng masih dikuasai segelintir perusahaan yang mengarah pada sistem oligopoli. Menurut Mulyawan, dengan makin banyaknya produsen minyak goreng, persaingan diharapkan makin ketat sehingga harga dapat lebih stabil.
"Tidak hanya oleh Kementerian Perdagangan, tapi juga bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian akan kami coba advokasi untuk mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan baru," ujarnya.
KPPU juga mencatat sebaran pabrik minyak goreng belum merata. Mayoritas produsen beroperasi di Jawa Timur, Jakarta, dan Sumatra Utara. Padahal, mayoritas perkebunan dan pabrik CPO terdapat di Riau dan Jambi. Situasi itu menyebabkan tingginya biaya logistik karena proses produksi minyak goreng sangat membutuhkan CPO.
Produsen minyak goreng menegaskan kenaikan CPO murni karena situasi harga secara global. Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo mengatakan, CPO merupakan komoditas dunia yang harganya dipengaruhi dari pasar dunia.
Di sisi lain, mayoritas produk CPO dari Indonesia dikonsumsi oleh pasar luar negeri. Kondisi pasar itu menyebabkan pengaruh global sangat kuat terhadap pergerakan harga minyak sawit.
"Karena mayoritas masih untuk ekspor, harga CPO tidak bisa lari dari harga minyak nabati lainnya, sehingga tidak benar jika perusahaan dalam negeri yang mengatur harga," kata Bernard kepada Republika, Kamis (20/1).
Tidak mampu (subjudul)
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, Indonesia menjadi produsen CPO dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun. Meski demikian, Indonesia tidak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng.
Sahat mengatakan, Indonesia memang menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Namun, karena tingkat konsumsi dalam negeri yang lebih kecil dari luar negeri, Indonesia tidak bisa menjadi penentu harga dari sawit. "Kita bisa menjadi price leader (penentu harga) apabila konsumsi domestik sudah mencapai 60 persen dari total produksi kita," kata Sahat dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR, Rabu (19/1/2022).
Hingga 2021, Sahat mengungkapkan, porsi konsumsi pasar domestik terhadap produk minyak sawit sebanyak 35 persen dari total produksi. Itu sudah mengalami kenaikan dari 2019 lalu sebesar 31 persen. Adapun pada 2022, porsi konsumsi domestik diperkirakan naik menjadi 37 persen.
Meski terus mengalami kenaikan, porsi konsumsi domestik masih menjadi kendala bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga dunia. Itu sebabnya, harga minyak goreng saat ini masih sangat tergantung pada situasi harga CPO global.
Harga CPO dunia saat ini menyentuh lebih dari 1.350 dolar AS per metrik ton (MT). Tingkat harga itu sudah mengalami kenaikan dua kali lipat lebih tinggi dari harga sebelum kenaikan sekitar 600-700 dolar AS per MT.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumnya menyampaikan, meski Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia, sebagian besar produsen minyak goreng dalam negeri tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Lantaran entitas bisnis yang berbeda, para produsen minyak goreng harus membeli CPO sesuai harga pasar lelang dalam negeri, yakni di KPBN Dumai.
Sementara itu, harga lelang di KPBN Dumai juga berkorelasi dengan harga pasar internasional. "Dengan begitu, harga produk minyak goreng yang dihasilkan akan sangat tergantung dari referensi harga di lelang KBPN Dumai," kata Direktur Bahan Pokok dan Penting Kemendag Isy Karim, belum lama ini. Baca Selengkapnya';
Kemendag Buka Pengaduan Minyak Goreng
Kemendag akan mengawal ketat program minyak goreng satu harga Rp 14 ribu per liter.
SELENGKAPNYA