Tuntunan
Akhlak Berdakwah
Dakwah harus dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
OLEH A SYALABY ICHSAN
Kasus penyerangan terhadap Pesantren As-Sunnah di Lombok Timur oleh sekelompok warga tak dikenal mengundang perhatian publik. Penyerangan tersebut diduga terkait dengan viralnya seorang penceramah yang mengolok-olok makam keramat dengan sebutan Tain Acong (kotoran anjing).
Apa yang disampaikan dai tersebut pun menyulut kemarahan warga setempat. Padahal, deretan makam yang disebutkan oleh penceramah merupakan makam para leluhur yang dihormati.
Kekerasan terhadap pesantren memang tidak bisa dibenarkan. Meski demikian, narasi keagamaan yang disampaikan sang dai dianggap tidak bijak. Alih-alih bisa meluruskan pola pikir beberapa peziarah yang dianggap berlaku syirik terhadap makam, ujaran dai tersebut justru menyulut perpecahan.
Tengoklah kisah Sunan Bonang, satu dari wali yang bernama asli Maulana Makdum Ibrahim ini sempat menimba ilmu kepada Syekh Maulana Ishak. Upaya dia untuk belajar agama dilakukan saat berangkat haji ke Tanah Suci bersama Sunan Giri, ayahnya.
Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, dakwah Sunan Bonang sempat menggunakan pendekatan lewat jalan kekerasan. Dalam Babad Daha-Kediri, dikisahkan bagaimana Sunan Bonang menghancurkan arca-arca yang dipuja masyarakat Kediri.
Sunan Bonang bahkan pernah mengubah aliran Sungai Brantas. Dia menghendaki daerah-daerah tertentu yang tidak menerima dakwah dan syiar Islam kekurangan air. Akibatnya, masyarakat yang menolak kehadiran Islam dan Sunan Bonang sendiri harus menderita kekeringan.
Pendekatan dakwah yang cukup represif tersebut, seperti termaktub dalam Babad Daha-Kediri, mengakibatkan Sunan Bonang menghadapi resistansi dari masyarakat Kediri.
Singkat cerita, Sunan Bonang sadar jika pendekatan konflik justru menghasilkan kegagalan. Dia pun mengubah metode dakwahnya 180 derajat dengan menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk lebih menarik simpati masyarakat.
Sunan Bonang bahkan menggubah tembang-tembang Jawa, kemudian menjadikannya berbagai jenis gending untuk berdakwah.
Mau’izhah hasanah
Alquran sudah memaparkan bagaimana menyebarkan dakwah ke masyarakat. Dakwah disebutkan harus dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Akhlak yang baik bahkan harus digunakan untuk beradu argumen dengan objek dakwah.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS an-Nahl: 125).
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, ayat ini dipahami sebagaian ulama tentang tiga metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Untuk para cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi maka diperintahkan untuk menyampaikan dakwah dengan hikmah.
Artinya, seorang dai sebaiknya berdialog dengan kata-kata bijak kepada objek dakwah dengan intelektualitas yang baik.
Dai diperintahkan untuk menerapkan mau’izhah atau memberi nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.
Untuk kaum awam, maka dai diperintahkan untuk menerapkan mau’izhah atau memberi nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sementara itu, kepada para Ahlul-Kitab dan para penganut agama lain, maka yang diperintahkan adalah jidal atau perdebatan dengan cara terbaik, yakni lewat logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Dalam konteks kasus yang diawali ceramah bernada merendahkan tersebut, seharusnya dai menggunakan model mau’izhah mengingat objek yang disampaikan adalah masyarakat awam. Menurut Quraish Shihab, al-mau’izhah diambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan.
Kata mau’izhah seharusnya disampaikan dengan cara hasanah atau baik. Dia baru dapat mengena hati sasaran objek dakwah apabila ucapan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya.
Mau’izhah biasanya bertujuan untuk mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik dan dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan maupun menerimanya. Karena itu, amat perlu mengingatkan kebaikan saat menyampaikan nasihat kepada objek dakwah sehingga hati mereka bisa tersentuh.
Karena itu, dai yang bermakna pemberi seruan sudah selayaknya memperhatikan akhlak dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya. Tidakkah kita malu kepada Nabi Musa AS bersama Nabi Harun AS yang menghadapi seorang raja zalim nan bengis, Firaun. Mereka tetap diperintahkan Allah untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Taha: 43-44).
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.