Opini
Urgensi Sertifikasi Halal
Gerakan masif sertifikasi halal bagi pelaku usaha perlu terus ditingkatkan.
ALI CHAMANI AL ANSHORY; Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah dan Alumnus Islamic Finance and Management, Durham University, UK
Akhir-akhir ini, media sosial dihangatkan lagi dengan isu halal. Ini dipicu restoran ternama yang mencitrakan diri ramah Muslim, tetapi menggunakan kandungan bahan yang diragukan kehalalannya.
Setelah diusut, publik menyayangkan karena restoran ini ternyata belum memiliki sertifikat halal. Ajaran Islam tak hanya mengatur ritual atau spiritual, tetapi juga seluruh aspek hidup Muslim.
Berbeda dengan ibadah, hubungan Muslim di kegiatan sosial (muamalat) merujuk pada prinsip segalanya diperbolehkan kecuali ada dalil atau bukti syar’i yang menyatakan sebaliknya. Hal ini mencakupi konsep halal.
Namun, pengaplikasian sistem pelabelan halal kontras dari konsep awal tersebut. Produk dinilai tak bisa dikonsumsi Muslim kecuali ada logo atau bukti yang membuktikan kehalalannya.
Ini tentu mengundang tanya, apa urgensi menyertifikasi halal produk atau mengapa yang disertifikasi bukan produk nonhalal saja? Pertama, kita perlu memahami latar belakang lahirnya konsep sertifikasi halal.
Pada sektor makanan, dulunya pelaku usaha Muslim bisa menjamin kehalalan produknya dengan reputasi yang dikenal baik masyarakat. Ini berubah sejak 1970-an saat berbagai makanan internasional terlebih fast food dari Barat mulai masuk pasar Muslim.
Kita perlu memahami latar belakang lahirnya konsep sertifikasi halal.
Banyak dari restoran ini tidak mengaplikasikan standar Islami pada produksi makanannya sehingga menimbulkan kekhawatiran komunitas Muslim.
Di Malaysia, etnis Cina dan India yang dibawa kolonial Inggris sebagai pekerja membuat Malaysia memiliki masyarakat plural. Konsep pelabelan halal mencuat sebagai kesepakatan untuk menjamin suatu produk bisa dikonsumsi Muslim.
Karena itu, Malaysia membentuk regulasi mengenai sertifikasi halal yang pertama di dunia pada 1975. Situasi ini makin kompleks dengan tingginya globalisasi yang terjadi, bahkan di daerah-daerah nonurban Indonesia.
Rantai pasok yang kian terintegrasi dengan pasar internasional perlu dipastikan kehalalannya, terutama yang impor dari negara mayoritas non-Muslim. Karenanya, berbagai institusi, seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, Majlis Ugama Islam Singapura, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberi tanggung jawab di masing-masing negara untuk membuat sistem sertifikasi halal pada sebuah produk.
Rantai pasok yang kian terintegrasi dengan pasar internasional perlu dipastikan kehalalannya, terutama yang impor dari negara mayoritas non-Muslim.
Dibandingkan sertifikasi ‘nonhalal’, pelabelan logo halal dinilai realistis bagi perekonomian terbuka seperti Indonesia. Melihat besarnya potensi produk yang diimpor ke Indonesia, penggunaan logo halal lebih aman sebagai filter konsumsi bagi Muslim.
Di sisi lain, pelaku usaha yang memproduksi produk haram semestinya juga mencantumkan keterangan tidak halal. Bahkan, berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2021, keterangan ini harus mudah dilihat dan dibaca konsumen.
Di Malaysia, peraturan dan kesadaran mengenai hal ini sudah lazim. Produsen menyampaikan keterangan tersebut secara terbuka atau menambahkan tulisan “no pork, no lard” jika mereka belum bisa mengupayakan sertifikat halal.
Keterbukaan ini juga ada pada layanan transaksi dan transportasi daring yang memiliki fitur penjelasan halal tidaknya produk. Pelabelan halal pun dapat mendorong industri ekspor Indonesia karena halal sudah menjadi standar yang diakui secara internasional.
Logo halal menjamin produk Indonesia bisa dikonsumsi pasar negara mayoritas Muslim yang memiliki permintaan besar dan mendominasi pasar di negara-negara minoritas Muslim karena suplai produk halalnya masih relatif rendah. Selain itu, investasi skala internasional bisa diperoleh dengan adanya industri halal, seperti pariwisata, farmasi, atau kosmetik.
Logo halal menjamin produk Indonesia bisa dikonsumsi pasar negara mayoritas Muslim yang memiliki permintaan besar dan mendominasi pasar di negara-negara minoritas Muslim.
Mengutip Global Islamic Report, penduduk Muslim menghabiskan 2,2 triliun dolar AS untuk konsumsi produk industri halal dan diprediksi naik hingga 2,4 triliun dolar AS pada 2024. Pada 2019 Indonesia menjadi konsumen halal terbesar dengan nilai 144 miliar dolar AS.
Tak heran, negara seperti Brasil, Australia, Thailand, dan lainnya begitu serius membesarkan industri halal untuk menguasai pasar Muslim. Sayangnya, Indonesia masih cenderung sebagai konsumen alih-alih produsen halal.
Ada dua hal yang perlu menjadi perhatian untuk memperkuat posisi industri halal. Pertama, gerakan masif sertifikasi halal bagi pelaku usaha perlu terus ditingkatkan. Afirmasi pada UMKM bisa menjadi strategi utama di mana proses sertifikasinya lebih proaktif.
Jadi, diharapkan usaha dengan logo halal lazim ditemui di mana-mana. Hal ini bisa terealisasi jika ada dukungan dan hubungan yang baik dengan transportasi atau jual beli daring dalam memberikan fitur halal pada aplikasinya.
Kedua, MUI lebih bijaksana menjaga dan meningkatkan reputasi sebuah proses sertifikasi. Ke depannya, sertifikasi halal diharapkan juga mampu menjamin mutu seperti kesehatan dan keamanan produk sehingga halal menjadi brand positif bagi publik.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Lebih Baik dari Kemarin
Menjadi lebih baik hari ini dari kemarin, membuat tahun ini lebih baik dari kemarin.
SELENGKAPNYA