Kabar Utama
Laju Inflasi Tertinggi Selama Pandemi
Presiden Jokowi meneken Perpres tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.
JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi pada Desember 2021 tercatat sebesar 1,87 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy). Menurut catatan BPS, tingkat inflasi tersebut merupakan yang tertinggi selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
"Berdasarkan pemantauan yang kita lakukan di 90 kota, terjadi inflasi karena kenaikan harga dari berbagai komoditas," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers BPS, Senin (3/1).
Dari 90 kota, sebanyak 88 kota mengalami inflasi dan dua kota deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Jayapura sekitar 1,91 persen dan terendah di Pekanbaru sebesar 0,07 persen.
Secara bulanan, inflasi per Desember tercatat sebesar 0,57 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 107,66. Margo menyebut telah terjadi perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat seiring dengan kenaikan inflasi.
Inflasi tertinggi dialami oleh makanan, minuman, dan tembakau senilai 1,61 persen yang punya andil 0,41 persen dari total inflasi. Diikuti oleh inflasi transportasi senilai 0,62 persen yang punya andil 0,07 persen.
Margo menjabarkan, pendorong inflasi tertinggi dari makanan minuman adalah cabai rawit sebesar 0,11 persen, minyak goreng 0,08 persen, dan telur ayam ras 0,05 persen. Sedangkan dari kelompok transportasi kenaikan tarif angkutan udara punya andil terbesar. "Perkembangan inflasi secara total ini menggambarkan daya beli masyarakat yang meningkat," katanya.
Margo menyebut, ada perbaikan sejak September 2021 dengan tren terus meningkat dibanding pada 2020. BPS menilai hal ini juga menjadi sinyal perbaikan perekonomian.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan, inflasi yang terjadi pada Desember 2021 lebih didorong oleh cost push inflation dibanding dari sisi permintaan yang naik. "Belum bisa dikatakan inflasi yang terjadi di Desember 2021 adalah inflasi yang sehat," katanya kepada Republika, Senin (3/1).
Ia mencontohkan, inflasi harga pangan seperti minyak goreng disebabkan liarnya kenaikan harga CPO di pasar internasional. Begitu juga dengan kenaikan harga cabai yang disebabkan faktor cuaca sehingga akhirnya produksi terganggu. Kebijakan pemerintah turut memberikan dampak ke inflasi, salah satunya melalui kenaikan harga gas elpiji.
Bhima memperkirakan, kondisi inflasi pada tahun ini akan lebih tinggi dari sisi penawaran. Prediksi paling moderat, inflasi akan bergerak di rentang 4,5-5 persen (yoy) sepanjang 2022. "Inflasi yang perlu diwaspadai terjadi pada bahan makanan ataupun harga energi," katanya.
Menurut dia, hal yang perlu diperhatikan adalah kenaikan harga bahan pangan yang ketergantungan terhadap impornya tinggi. Hal ini karena ada risiko imported inflation yang disebabkan volatilitas rupiah ataupun gangguan di negara asal pemasok.
Bhima menilai, ketimpangan inflasi dan daya beli bisa berdampak menghambat pemulihan ekonomi nasional. Masyarakat yang tidak siap mengimbangi inflasi akan menurunkan daya belinya.
Padahal, pemerintah punya intensi untuk memulihkan industri yang sedang bangkit dari luka memar karena pandemi. Industri yang bisa terhambat karena laju inflasi ini di antaranya industri yang bahan bakunya impor.
"Seperti tekstil pakaian jadi, farmasi, makanan minuman, kimia, transportasi kena efek dari bahan bakar yang naik," katanya.
Adapun pengamat menilai inflasi pada tahun ini berpotensi mencapai batas atas target pemerintah, yaitu 2-4 persen. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menyampaikan, hal tersebut merupakan dampak dari beragamnya kebijakan pemerintah.
"Dengan beragam kebijakan pemerintah, bukan tidak mungkin angka inflasi bisa menyentuh batas atas proyeksi inflasi kami, yaitu empat persen di tahun 2022," katanya.
Pemerintah disebut mulai memiliki intensi untuk meningkatkan laju inflasi pada 2022. Sejumlah kebijakan mulai diarahkan pada kenaikan inflasi tahun depan. Adapun menurut BPS, naiknya inflasi mencerminkan meningkatnya daya beli.
Yusuf menilai, untuk mengukur dengan daya beli masyarakat, data inflasi harus disandingkan dengan beberapa data. Misalnya, data indikator utama, seperti data Indeks Penjualan Riil, Indeks Kepercayaan Konsumen, juga PMI Manufaktur.
Dia mengatakan, ketiga indikator tersebut menunjukkan tren kenaikan hingga kuartal IV 2021. Angka inflasi yang meningkat pada Desember 2021 dinilai bisa mengonfirmasi perbaikan daya beli masyarakat, terutama pada kuartal IV jika dibandingkan kuartal II 2021.
"Jika dilihat dari konteks pandemi pun, kondisi inflasi tertinggi sepanjang pandemi juga bisa menjadi indikasi awal mulai membaiknya daya beli masyarakat," katanya.
Teken perpres
Sementara, Presiden Joko Widodo meneken Perpres 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM).
Beleid yang diteken pada 31 Desember 2021 ini merupakan final dari serangkaian wacana yang dikeluarkan pemerintah untuk menghapuskan Premium dari pasaran. Memang, dalam beleid ini tidak ada kata soal penghapusan Premium pada tahun ini. Hanya saja, pasal yang tertuang dalam aturan ini tidak menjelaskan secara jelas bagaimana skema penyaluran Premium ke depan.
Pada Pasal 21 ayat B disebutkan bahwa perubahan aturan terkait penyaluran Premium ini dikarenakan dalam rangka mendukung energi bersih dan ramah lingkungan. Namun, beleid yang berisi soal kompensasi terhadap Pertamina atas penjualan Premium juga menjadi rancu terhadap kalimat "jenis bensin RON 88 seperti Premium yang merupakan 50 persen dari volume jenis bensin RON (90), seperti Pertalite disediakan dan didistribusikan oleh badan usaha penerima penugasan diberlakukan sebagai jenis BBM khusus penugasan sejak 1 Juni 2021 sampai ditetapkan oleh menteri".
Padahal, dalam perpres sebelumnya tertulis bahwa yang dimaksudkan BBM jenis tertentu yang mendapatkan kompensasi adalah jenis RON 88. Bahkan, sebelum aturan baru ini diterbitkan, penyaluran RON 88 (Premium) juga sudah menjadi penugasan bagi Pertamina untuk menyalurkannya. Pada Pasal 3 (3), Presiden Jokowi menetapkan wilayah penugasan BBM khusus meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tadinya, wilayah BBM khusus penugasan dikecualikan untuk Provinsi Jakarta, Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali.
Kemudian, dalam Pasal 3 (4), Jokowi juga memberikan wewenang kepada menteri untuk menetapkan perubahan jenis BBM Khusus Penugasan serta wilayah penugasan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal, menilai Presiden sengaja menerbitkan Perpres yang kalimat hukum di dalamnya ambigu. Hal ini untuk memberi ruang terhadap Menteri ESDM untuk sewaktu waktu menghapuskan Premium. Hal ini dikuatkan di Pasal 3 ayat 4, yang mana Menteri bisa menetapkan perubahan jenis BBM Khusus Penugasan serta wilayah penugasan.
Namun tidak ada kejelasan kapan, jadi ini bergantung pada keputusan Menteri ESDM. "Sengaja dibuat ambigu, dibuat tidak jelas dengan maksud memberikan ruang kapan saja, nanti kondisikan memungkinkan jadi dihapus. Itu daerahnya juga kan gak jelas. Perrpres sebelumnya kan jelas, wilayahnya Jawa Bali saja," ujar Faisal kepada Republika, Senin (3/1).
Faisal menilai, jangan sampai aturan yang ada membuat keputusan atas kebutuhan primer masyarakat ditetapkan dengan semena mena. Saat ini dalam momen pemulihan ekonomi, masyarakat butuh waktu untuk bisa menerima kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat.
"Jadi ini ada ruang yang sesuai kondisi perjalanannya ke depan. Yang perlu diantisipasi adalah pemberitahuan kebijakan ini harus ada ketentuan di mana dan kapan, perlu ada waktu yang cukup untuk masyarakat beradaptasi, sosialisasinya harus maksimal," ujar Faisal.
Hingga berita ini diturunkan, baik Kementerian ESDM maupun Kementerian Keuangan menolak untuk menjelaskan dan memberikan konfirmasi. Menteri ESDM Arifin Tasrif, Dirjen Migas Tutuka Ariadji, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, serta Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu enggan membalas pesan singkat Republika.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM pada tahun depan resmi akan menghapus Premium dari peredaran. Menurut ESDM, langkah ini dilakukan dalam agenda transisi energi bersih.
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih menjelaskan, nantinya keberadaan Premium akan digantikan dengan Pertalite. Hal ini juga hanya dalam bentuk transisi, yang nantinya pemerintah akan sepenuhnya menggunakan BBM ramah lingkungan. Artinya, indikator RON di atas 90.
"Kita memasuki masa transisi di mana Premium (RON 88) akan digantikan dengan Pertalite (RON 90), sebelum akhirnya kita akan menggunakan BBM yang ramah lingkungan," ujar Soerja, Kamis (23/12).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.