Resonansi
Enam Jenderal AD yang Terbunuh (I)
Sumber artikel ini sepenuhnya diambilkan dari analisis penulis Indonesia.
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
OLEH AHMAD SYAFII MAARIF
Judul lengkapnya: “Enam Jenderal AD yang Terbunuh, Atas Perintah Siapa Mereka Dibantai?”
Mereka yang diculik kemudian dibunuh itu adalah Letnan Jenderal Achmad Yani, Mayor Jenderal R Suprapto, Mayor Jenderal S Parman, Mayor Jenderal Harjono MT, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutojo Siswodihardjo.
Di samping enam jenderal itu, ada lagi Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal AH Nasution yang juga dibenamkan dalam sumur itu. Tragedi berdarah itu terjadi pada dini hari 56 tahun lalu, 1 Oktober 1965.
Jenazah mereka baru ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur pada 3 Oktober dan penggalian jenazah baru dilakukan pada 4 Oktober 1965.
Berkat ketangkasan anggota RPKAD dan KKO, ketujuh jenazah yang sudah membusuk itu dapat diangkat dengan susah payah. Cerita tentang kekejaman dan kekejian ini masih belum hilang dari ingatan kolektif publik.
Sebagai tokoh puncak PKI, partai komunis terbesar ketiga di luar Uni Soviet dan RRC, DN Aidit tentu sudah menghitung risiko fatalnya akibat pembunuhan itu.
Selain tujuh korban di atas, di Yogyakarta pada 1-2 Oktober juga berlaku penculikan dan pembunuhan sangat sadis atas Danrem dan Kasrem 072 Pamungkas, yaitu Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letkol R Sugijono Mangunwijoto.
Jenazah baru ditemukan beberapa hari setelah itu, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta. Informasi tentang peristiwa brutal di atas sudah banyak ditulis, tidak perlu diperpanjang lagi.
Namun, yang masih menjadi misteri yang sampai hari belum terungkap tuntas adalah siapa yang memerintahkan pembunuhan itu. Kesan publik selama ini, semuanya dirancang dan dilakukan unsur PKI pimpinan DN Aidit dan Kepala Biro Khusus PKI Syam Kamaruzzaman.
Bahwa Aidit ingin menyingkirkan para jenderal yang dituduh sebagai Dewan Jenderal itu cukup masuk akal. Pertanyaannya, apakah juga Aidit yang memerintahkan pembunuhan itu? Inilah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum terjawab dengan meyakinkan.
Sebagai tokoh puncak PKI, partai komunis terbesar ketiga di luar Uni Soviet dan RRC, DN Aidit tentu sudah menghitung risiko fatalnya akibat pembunuhan itu.
Rosihan Anwar dengan rajin mencatat kejadian politik yang cukup panas antara 1961 sampai 1965 sebagai puncaknya.
AD (Angkatan Darat) pasti akan mengamuk, sekalipun Gerakan 30 September itu dipimpin seorang perwira AD Letkol Untung Sjamsuri, komandan Batalyon I Cakrabirawa, pengawal istana Presiden Sukarno.
Untung berasal dari teritorium Diponegoro yang pernah menjadi bawahan Kolonel Soeharto sebagai panglimanya, antara 1957-1959. Dengan demikian, Soeharto sudah sangat kenal dengan mantan anak buahnya ini.
Sumber artikel ini sepenuhnya diambilkan dari analisis penulis Indonesia, tanpa melibatkan penulis asing yang juga bersemangat merekam kejadian Gerakan G-30 S yang mengebohkan itu.
Sumber yang lebih perinci tentang tragedi ini ditulis Prof DR H Salim Said di bawah judul: Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.
Sebagai wartawan usia muda pada era itu, kesaksian Salim Said tentang G-30 S itu sungguh penting dijadikan sebagai sumber analisis. Karya kedua ditulis wartawan senior H Rosihan Anwar berupa catatan harian dengan judul: Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Rosihan Anwar dengan rajin mencatat kejadian politik yang cukup panas antara 1961 sampai 1965 sebagai puncaknya. Berbeda dengan Salim Said, wartawan Rosihan Anwar tak sampai memerinci tentang siapa yang memerintahkan aksi pembunuhan itu.
Pernyataan ini belum menjawab pertanyaan atas perintah siapa penculikan dan pembunuhan dilakukan. Bisa saja ditafsirkan, Letkol Untunglah sebagai otak utama dari tragedi itu.
Rosihan Anwar menulis, pada 1 Oktober 1965 tentang kejadian itu: “Siang itu praktis saya berada dalam kegelapan. Untuk pergi ke luar mencari keterangan, saya kurang bernafsu.
Saya terpikir kalau benar telah terjadi kudeta oleh PKI, maka hal itu tidak saya duga sama sekali, sebab sebenarnya kedudukan politik PKI sudah begitu baik dan kuat berkat bantuan Sukarno, sehingga PKI sebetulnya tidak ada perlu-perlunya menempuh jalan kekerasan untuk sampai ke puncak kekuasaan negara.”
“Malamnya, saya dengar melalui siaran radio bahwa gedung RRI sudah direbut kembali dari tangan Dewan Revolusi [pimpinan Letkol Untung]. Saya jadi lega. Bahaya paling gawat sudah terlampaui. Kini tinggal menunggu perkembangan lebih jauh.” (Lih hlm 376).
Sejarawan papan atas Indonesia, Prof DR Taufik Abdullah, menulis soal prahara politik ini yang menjurus kepada peran utama Letkol Untung dengan Resimen Cakrabirawanya: “Di waktu sebagian anggota dari pasukan pengawal Presiden, Resimen Cakrabirawa, menculik dan membunuh sebagian besar pimpinan Angkatan Darat, dan mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi, kesemua landasan legitimasi Presiden pun lebur berantakan dan bersamanya masa akhir Demokrasi Terpimpin hanyalah tinggal masalah waktu dan cara yang tepat saja.” (Lih Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, Restu Gunawan, Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian 3 Berakhir dan Bermula. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia, 2013, hlm xxviii).
Pernyataan ini belum menjawab pertanyaan atas perintah siapa penculikan dan pembunuhan dilakukan. Bisa saja ditafsirkan, Letkol Untunglah sebagai otak utama dari tragedi itu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.