Analisis
Menuju Ekonomi Halal Rp 4.000 Triliun
Kata kuncinya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas dalam setiap aspek pada ekonomi halal.
OLEH SUNARSIP
Dalam acara National Sugar Summit (NSS) pada awal Desember lalu, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan kerisauannya karena Indonesia belum menjadi produsen produk halal (halal products) utama di dunia. Padahal, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (229,6 juta jiwa) seyogianya hal itu menjadi peluang bagi para produsen produk halal di Tanah Air.
Namun faktanya, Indonesia mengimpor produk halal dengan nilai yang lebih besar dibanding ekspornya. Berdasarkan laporan Indonesia Halal Markets Report 2021/2022 yang diterbitkan oleh Indonesia Halal Lifestyle Center dan DinarStandard, ekspor produk halal Indonesia pada 2020 diperkirakan mencapai sekitar 8 miliar dolar AS, sedangkan impornya sekitar 10 miliar dolar AS, yang berarti defisit sekitar 2 miliar dolar AS.
Statistik ekonomi halal sebenarnya relatif baru. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga yang memiliki legitimasi menyusun statistik, belum menerbitkan statistik ekonomi halal. Selama ini, statistik ekonomi halal seringkali merujuk pada kajian yang dibuat oleh lembaga eksternal seperti DinarStandard yang setiap tahunnya menerbitkan laporan bertajuk State of the Global Islamic Economy Report (SGIER).
Menurut definisi dari SGIER, ekonomi halal meliputi produk halal, ditambah dengan pariwisata (travel), media, dan sektor keuangan. Tentunya, yang diproduksi dan dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Sedangkan yang termasuk dalam cakupan produk halal adalah makanan dan minuman, pakaian, serta obat-obatan dan kosmetik (pharma and cosmetics).
Gambaran yang ditunjukkan oleh kinerja ekspor dan impor produk halal di atas sebenarnya mencerminkan pula daya saing produk kita secara umum di pasar global. Produk halal yang dihasilkan melalui proses manufaktur, tidak hanya meliputi produk untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi juga untuk memenuhi tuntutan gaya hidup (lifestyle). Dan bila sudah pada level gaya hidup, maka produk tersebut tentunya membutuhkan sentuhan teknologi yang relatif tinggi.
Gambaran yang ditunjukkan oleh kinerja ekspor dan impor produk halal sebenarnya mencerminkan pula daya saing produk kita secara umum di pasar global.
Harus diakui, kita masih relatif tertinggal dalam hal kemampuan menghasilkan produk yang memiliki kandungan teknologi dan bernilai tambah tinggi. Dapat diperkirakan bahwa faktor ini pula yang menjadi salah satu penyebab terjadinya defisit pada neraca perdagangan produk halal kita.
Pada 2020 lalu, konsumen Muslim Indonesia diperkirakan membelanjakan sekitar 184 miliar dolar AS untuk konsumsi produk (termasuk jasa) halal. Diperkirakan, pada 2025 nanti, nilai belanja tersebut akan meningkat menjadi 281,6 miliar atau tumbuh 14,96 persen (CAGR).
Bila menggunakan kurs acuan saat ini (Rp 14.600 per dolar AS), maka nilai belanja tersebut mencapai sekitar Rp 2.686 triliun (2020) dan Rp 4.111 triliun atau konservatifnya Rp 4.000 triliun (2025).
Tingginya permintaan pastinya akan mendorong investasi dan membuka kesempatan kerja. Pada 2019, Indonesia memperoleh sekitar 43 persen atau 5,01 miliar dolar AS dari total investasi global pada ekonomi halal yang mencapai 11,78 miliar dolar AS. Potensi ini tentunya perlu dimanfaatkan sebagai pendorong transformasi struktural pada ekonomi halal kita.
Kita berharap bahwa potensi ekonomi halal tersebut tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan PDB, tapi juga mampu menumbuhkan pelaku usaha domestik secara masif agar Indonesia mampu menjadi produsen utama produk halal global.
Kata kuncinya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas dalam setiap aspek pada ekonomi halal, terutama dalam menghadapi ekosistem baru ekonomi global. Indonesia merupakan salah satu eksportir produk halal ke negara-negara Muslim terbesar (peringkat ke-10 terbesar).
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki satu pun industri makanan yang masuk daftar Global Corporate 2000. Nilai ekspor produk halal kita masih kalah dibanding Cina. Peningkatan kapabilitas produksi ini sangat penting untuk mendorong para juara lokal kita (local champions) mampu mengembangkan ekspansi ke pasar global.
Peningkatan kapabilitas produksi ini sangat penting untuk mendorong para juara lokal kita mampu mengembangkan ekspansi ke pasar global.
Salah satu kapabilitas produksi yang perlu didorong adalah kemampuan memenuhi standar halal yang dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor. Kesadaran tentang sertifikasi halal memang sudah tumbuh, tapi penetrasinya masih terbatas. Dukungan dari pemerintah, baik di pusat dan daerah, untuk mempermudah UMKM memperoleh sertifikasi halal sangat diperlukan.
Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan, misalnya, skema dukungan fiskal melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sertifikasi halal produk UMKM. Dengan skema fiskal DAK sertifikasi halal ini, pemerintah daerah tidak hanya perlu turut mendanai biaya sertifikasi halal, tetapi perlu menyiapkan sarana (seperti fasilitas pengujian) yang diperlukan pelaku usaha agar layak memperoleh sertifikasi halal.
Selain kapabilitas produksi, kita juga memerlukan banyak profesi dan keahlian di bidang sertifikasi halal seperti penilai (asesor) maupun pemeriksa (auditor) halal. Berbagai profesi ini tidak hanya diperlukan selama proses sertifikasi dan pengawasan, tetapi juga untuk kegiatan pendampingan UMKM selama proses produksi.
Dengan melihat urgensi serta begitu banyaknya pelaku UMKM produk halal, maka dapat diperkirakan bahwa kita membutuhkan jumlah ahli dan profesional di bidang sertifikasi halal dalam jumlah yang besar di tingkat pusat hingga daerah.
Kita membutuhkan jumlah ahli dan profesional di bidang sertifikasi halal dalam jumlah yang besar di tingkat pusat hingga daerah.
Kapabilitas lain adalah kemampuan dalam transaksi digital. Menurut McKinsey (2021) Indonesia masuk dalam Top 5 pengguna internet di dunia. Sayangnya, pelaku usaha khususnya UMKM yang telah memanfaatkan internet untuk transaksi pembayaran masih sangat rendah, kurang dari 10 persen (2018).
Banyaknya pelaku UMKM yang belum menggunakan internet menyulitkan bagi para pihak untuk mendorong digitalisasi, baik dalam rangka pemasaran, monitoring, dan transaksi keuangan. Kondisi ini pula yang diperkirakan turut menjadi penyebab terjadinya disrupsi di sektor UMKM.
Sebagai contoh, pariwisata. Sektor pariwisata hingga ini masih menjadi salah satu penyumbang surplus pada neraca perdagangan jasa kita. Namun, terdapat kecenderungan bahwa nilai surplusnya semakin menipis.
Ditengarai, masuknya para pelaku usaha besar yang mengandalkan kapasitas digitalisasinya telah menyebabkan disrupsi sehingga menyebabkan berkurangnya surplus yang diterima oleh para pelaku pariwisata domestik. Kapabilitas dan kapasitas digitalisasi ini perlu didorong untuk meningkatkan kemampuan penetrasi pasar produk halal kita di pasar domestik maupun global.
Peningkatan (terutama) kapasitas di sektor pendukung juga perlu didorong, terutama aspek pembiayaan. Meskipun meningkat, kapasitas pembiayaan syariah kita masih jauh tertinggal dibanding negara lain, seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab.
Kapabilitas dan kapasitas digitalisasi ini perlu didorong untuk meningkatkan kemampuan penetrasi pasar produk halal kita di pasar domestik maupun global.
Kapasitas yang terbatas ini menyebabkan para pelaku usaha ekonomi halal belum sepenuhnya mendanai usahanya dengan sumber pendanaan syariah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan ekosistem ekonomi halal belum dapat terbentuk secara maksimal.
Tampaknya memang butuh kerja keras untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen utama produk halal atau bahkan ekonomi halal di tingkat global. Banyak tantangan yang perlu direspons untuk memudahkan jalan menuju ekonomi halal Rp 4.000 triliun pada 2025.
Namun demikian, melihat perkembangan yang cukup pesat setidaknya dalam 10 tahun terakhir serta potensi yang kita miliki di pasar domestik maupun global, kita memiliki keyakinan akan mampu mewujudkan diri sebagai pusat ekonomi halal global.
Terlebih, regulasi dan institusi juga telah kita siapkan dengan cukup baik. Dan semoga, tahun 2022 dapat menjadi momentum percepatan bagi perkembangan dan transformasi ekonomi halal kita.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.