Nasional
Korban Minta Herry Dihukum Mati
Ahli hukum pidana menilai hukuman mati bisa diterapkan berdasarkan UU Perlindungan Anak.
BANDUNG – Sebelas anak korban kasus pemerkosaan meminta terduga pelaku Herry Wirawan, yang tak lain guru korban, dihukum mati. Permintaan itu disampaikan melalui kuasa hukum korban, Yudi Kurnia. Herry dinilai melanggar Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan bisa diancam hukuman mati hingga kebiri.
“Korban menginginkan pelaku ini dijerat dengan hukuman mati sesuai dengan UU Perlindungan Anak perubahan ke dua. Sementara jaksa menerapkan UU Perlindungan Anak perubahan ke satu. Dalam perubahan ke satu nggak ada hukuman mati atau kebiri,” kata Yudi usai sidang lanjutan dengan terdakwa Herry Wirawan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/12).
Yudi menjelaskan, dalam UU Perlindungan anak perubahan ke satu disebutkan ancaman 15 tahun penjara. Selain itu pada pasal 81 ayat 3 terdapat aturan yang memungkinkan pemberatan sepertiga hukuman disebabkan pelaku adalah guru, sehingga menjadi 20 tahun.
Menurutnya, jaksa seharusnya menerapkan UU Perlindungan Anak perubahan kedua yang mengatur kebiri dan hukuman mati. Ia berharap jaksa dapat menerapkan aturan tersebut. “Harusnya diterapkan undang-undang perubahan kedua karena di situ mengatur kebiri. Mudah-mudahan dalam tuntutan diterapkan itu,” kata dia.
Yudi menduga terdapat sindikat dalam kasus ini. Ia mempertanyakan sosok istri pelaku yang diduga mengetahui perilaku dari suaminya itu. “Kejadian ini tak berdiri sendiri, Herry dan korban. Korban bisa sampai ke tempatnya boarding school itu ada orang yang menginformasikan bahwa disitu ada sekolah gratis. Nah, ini harus dilacak siapa orang ini, jangan-jangan ada sindikat,” ujar dia.
Setelah para korban berada di boarding school dan hamil, ia menduga istri pelaku mengetahui hal tersebut. Yudi mempertanyakan mengapa yang bersangkutan tidak melaporkan hal itu ke polisi. “Kenapa tidak melaporkan, tidak memberi tahu kepada orang tua, kenapa nggak ke aparat kepolisian menyampaikan kalau ada yang memperkosa,” katanya.
Yudi melanjutkan, apabila istri pelaku tidak curiga berarti terdapat orang lain yang harus dilaporkan juga. Sebab, istri pelaku merupakan penanggung jawab dan pengasuh para korban. Menurutnya, orang yang menginformasikan tentang sekolah gratis dikenal oleh pelaku dan istri pelaku.
“Jadi istrinya Herry ini punya saudara, nah suaminya yang di Garut itu yang mengajak mempromosikan itu, tapi dia merasa berdosa katanya, ‘saya tidak tahu kalau Herry itu kelakuannya seperti itu’,” ujarnya Yudi menirukan orang yang merekrut.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat Asep Mulyana mengatakan, tuntutan terhadap pelaku akan mengacu kepada fakta persidangan yang muncul. Termasuk tuntutan yang diinginkan keluarga korban diantaranya hukuman kebiri. “Nanti kita lihat (hukuman mati), saya gak berani berandai-andai. Nanti fakta di persidangan seperti apa,” ujarnya seusai mengikuti sidang.
Ia mengatakan, persidangan saat ini dilakukan secara hybrid yaitu pemeriksaan saksi secara daring maupun luring. Kesaksian para saksi mendukung dan membuktikan terjadi tindak pidana pelecehan seksual. Dalam dakwaannya, JPU menganggap pelaku melanggar UU Perlindungan Anak.
Di sisi lain, Asep menyebut ada dugaan penggunaan dana bantuan sosial (bansos) yang digunakan Herry untuk kepentingan pribadi. “Ada beberapa dalam bentuk program Indonesia Pintar dan lainnya. Yang bersangkutan mengajukan atas nama anak-anak kemudian menerima bansos dan ditarik untuk digunakan kepentingan bersangkutan,” katanya.
Total saksi anak yang telah diperiksa sebanyak 18 orang. Mereka adalah saksi yang melihat, mengalami langsung dan saksi pendukung yang mendapat cerita atau kejadian tersebut. Asep juga memastikan, JPU akan menghadirkan istri Herry Wirawan di persidangan sebagai saksi.
“Iya (istri pelaku dihadirkan) sesuai berkas perkara pada kami, tentu akan dipanggil dan dijadikan (saksi di) persidangan,” ujar dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, guru sekolah di Bandung yang melakukan pemerkosaan terhadap belasan muridnya merupakan tindakan di luar nalar kemanusiaan. Dia menilai, hukuman mati bisa diterapkan berdasarkan UU Perlindungan Anak.
“Ini tindakan biadab, keji, bahkan di luar nalar kemanusiaan normal. Tidak penting apa latar belakang guru tersebut, yang jelas perbuatannya merupakan pidana berat,” katanya.
Kemudian, ia melanjutkan, jika korban lebih dari satu orang mengalami trauma, gangguan alat reproduksi, atau gangguan jiwa, maka pelaku dapat dihukum mati. Hal ini berdasarkan pasal 81 ayat 5 UU Perlindungan Anak. “Apabila tidak sampai pada hukuman mati, kami berharap dilakukan kebiri kimia sebagaimana pasal 81 ayat 7,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.