Opini
Revitalisasi Korban Bencana
Menangani korban bencana harus dalam kerangka pemberdayaan.
BAGONG SUYANTO; Dekan FISIP Universitas Airlangga
Setiap kali bencana, yang terjadi bukan hanya kerusakan tempat tinggal dan lahan kerja masyarakat, melainkan juga memunculkan pengungsi. Akibat erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, hingga 13 Desember 2021, pengungsi mendekati 10 ribu jiwa.
Sementara itu, akibat gempa bumi di NTT, seribu lebih warga dilaporkan terpaksa meninggalkan rumah yang rusak karena diguncang gempa bermagnitudo 7,4.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, korban bencana alam di Tanah Air sejak awal 2021 hingga saat ini 4,52 juta orang, yakni 4.508.605 orang mengungsi, 12.708 orang luka-luka, 60 orang masih dinyatakan hilang, dan 456 jiwa meninggal dunia.
Bencana seperti banjir (468 peristiwa), angin beliung (288 peristiwa), dan tanah longsor (210 peristiwa) berkali-kali terjadi di Tanah Air. Bencana yang datangnya tiba-tiba menyebabkan banyak korban.
Sepanjang terjadinya bencana tidak membahayakan dan tempat tinggal penduduk masih layak huni, masyarakat niscaya lebih memilih tetap tinggal di rumahnya. Lain soal ketika bencana meluluhlantakkan rumah penduduk.
Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan korban bencana ketika rumah rusak parah, lahan sawah tertutup debu, atau ketika hasil panen mereka hanyut tersapu banjir? Pada titik inilah, munculnya pengungsi di berbagai daerah bencana tidak lagi terhindarkan.
Masalah di pengungsian
Secara sederhana, pengungsi akibat bencana adalah penduduk di daerah bencana yang terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah sebagai akibat atau menghindarkan diri dari dampak dahsyat bencana alam untuk kemudian berpindah ke daerah lebih aman.
Definisi dari United Nation Hight Commission for Refugees (UNHCR) menyebutkan, pengungsi adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya karena adanya unsur pemaksa, seperti bencana alam berupa banjir, kekeringan, kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, gelombang pasang air laut, tsunami, wabah penyakit, dan peperangan.
Sepanjang terjadinya bencana tidak membahayakan dan tempat tinggal penduduk masih layak huni, masyarakat niscaya lebih memilih tetap tinggal di rumahnya. Lain soal ketika bencana meluluhlantakkan rumah penduduk.
Di berbagai kasus, tujuan orang mengungsi mencari tempat lebih aman. Warga korban bencana, biasanya tinggal di pengungsian untuk sementara waktu ketika kondisi masih bahaya dan secepatnya kembali ke tempat asal ketika keadaan sudah dirasa aman.
Selama di pengungsian, tentu tidak menjadi jaminan semua persoalan teratasi. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa permasalahan yang kerap terjadi selama korban bencana tinggal di pengungsian.
Itu pun dengan catatan, rumah mereka masih ada dan layak huni. Bagi warga yang tempat tinggalnya rusak parah, tentu tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan bantuan pihak luar dan tinggal di pengungsian.
Selama di pengungsian, tentu tidak menjadi jaminan semua persoalan teratasi. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa permasalahan yang kerap terjadi selama korban bencana tinggal di pengungsian.
Pertama, bagaimana memastikan distribusi bantuan kepada korban bencana tidak menumpuk di sebuah wilayah, tetapi kekurangan di wilayah lain. Di sini kata kuncinya koordinasi.
Perlu koordinasi yang baik antara pendonor, baik perseorangan, lembaga, maupun swasta dengan pemerintah yang mendistribusikan bantuan langsung ke pengungsi.
Kedua, bagaimana pemerintah menjangkau daerah bencana yang terisolasi. Daerah bencana yang jembatannya putus dan terhalang banjir, misalnya, yang dibutuhkan tentu kerja ekstra relawan dan pemerintah. Bantuan yang terlambat, berisiko buruk bagi pengungsi.
Ketiga, bagaimana memetakan kebutuhan pengungsi. Jangan sampai, jenis bantuan tertentu menumpuk, sementara jenis kebutuhan lain tidak terpenuhi. Pembalut bagi perempuan, susu dan bubur bagi anak-anak, obat penyakit kulit, misalnya, dibutuhkan.
Dengan keterbatasan dana, sulit diharapkan, pemerintah meng-cover semua kebutuhan revitalisasi.
Revitalisasi
Bagi korban bencana yang tak mungkin kembali ke rumahnya setelah bencana, dibutuhkan penanganan berbeda. Tak hanya penanganan selama di pengungsian, tapi juga tindak lanjut untuk mempersiapkan proses revitalisasi korban bencana.
Dengan begitu, mereka segera kembali melanjutkan kehidupannya, tanpa bergantung terus pada uluran tangan pemerintah dan pihak lain.
Bagi korban bencana yang kehilangan tempat tinggal dan usahanya, tidak hanya membutuhkan relokasi tempat tinggal dari pemerintah, tetapi juga dukungan modal, aset produksi, dan pendampingan untuk segera dapat memulai mengembangkan usaha baru.
Dengan keterbatasan dana, sulit diharapkan, pemerintah meng-cover semua kebutuhan revitalisasi. Di sini yang dibutuhkan, yakni dukungan lembaga sosial-keagamaan dan CSR swasta untuk membantu revitalisasi korban bencana.
Dilema dalam penanganan korban bencana, jangan sampai bantuan justru mematikan potensi self-help korban bencana. Bantuan yang melulu karitatif, dikhawatirkan malah melahirkan ketergantungan baru dan membunuh keberdayaan korban bencana.
Menangani korban bencana harus dalam kerangka pemberdayaan. Hal yang dibutuhkan dalam merevitalisasi korban bencana adalah pendampingan dan kesempatan bekerja dan berusaha yang berbasis kemampuan masyarakat itu sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.