Nasional
Minimnya Literasi Hak Cipta Suburkan Pembajakan Buku
Masyarakat Indonesia juga belum terbangun literasi hak ciptanya.
JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arys Hilman Nugraha, mengatakan, sebanyak 76,4 persen penerbit saat ini sudah menjual buku terbitannya secara daring. Angka penjualan buku secara daring namun masih di bawah 10 persen. Rendahnya penjualan daring tersebut terkait literasi hak cipta yang belum terbangun di Indonesia.
"Tahun ini kita survei lagi, 76,4 persen penerbit kita sudah menjual buku secara daring. Jadi sudah sangat banyak yang berjualan secara daring. Tetapi, kontribusinya masih di bawah 10 persen," ungkap Arys dalam seminar nasional pada kegiatan Anugerah Sastra Litera 2021, Selasa (14/12).
Arys mengungkapkan, ketika penerbit berjualan secara daring, dengan menggunakan teknologi digital, yang menjadi momok adalah para pembajak buku. Menurut dia, para pembajak tidak memberikan royalti kepada penulis, ilustrator atau desainer. Pembajak juga tidak memiliki risiko karena hanya mencetak buku-buku yang laku di pasar.
"Mereka juga tidak dibebani biaya promosi, jadi mereka bisa menjual hanya seperempat dari harga yang penerbit berikan. Tentu dengan kualitas yang buruk, hasil scan kemudian diperbanyak," kata Arys.
Di sisi lain, Arys mengatakan, masyarakat Indonesia juga belum terbangun literasi hak ciptanya. Arys menyebut hal itu terlihat dari perilaku pembeli di lokapasar, yang tidak sedikit melontarkan pertanyaan atau penilaian kepada penjual buku bajakan hanya seputar kualitas fisik buku yang hendak mereka beli.
Menurut Arys, persoalan literasi merupakan persoalan serius di Indoensia. Literasi yang dia maksud bukan sekadar kemampuan dalam membaca, melainkan juga mengenai kemampuan seseorang memanfaatkan informasi yang dibaca sehingga bermanfat bagi kehidupannya. Dengan literasi hak cipta karya yang belum terbangun dengan baik, Arys menilai pembajakan sebagai suatu hal yang teramat mengerikan. "Ini tantangan kita, begitu memasuki dunia digital, sastra pun akan berhadapan dengan masalah pelangaran hak cipta, para penumpang gelap di dunia digital," kata Arys.
Prosais yang juga merupakan dosen Universitas Pamulang, Ni Komang Ariani, mengungkapkan, buku digital memang belum bisa menggeser buku cetak di Indonesia. "Dunia digital namun sebetulnya memperluas pembaca sastra. Semakin banyak ruang-ruang untuk membaca sastra," ujar Komang.
Dunia digital sebenarnya dapat digunakan untuk mempromosikan buku-buku cetak. Dia menyebutkan sejumlah penulis yang menggunakan platform digital sebagai alat untuk mempromosikan bukunya.
Salah satu promosi yang dilakukan adalah dengan menyajikan tulisan bersambung di internet, lalu mengajak pembacanya membeli buku cetak untuk mengetahui keseluruhan cerita lebih cepat. "Leila S Chudori dan Dewi Lestari, yang dengan inovatifnya memanfaatkan ruang-ruang digital untuk mempromosikan buku cetaknya," kata dia.
Namun, ada catatan yang dia berikan, yakni kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih lemah. Padahal, menurut dia, membaca merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal yang didapatkan dari membaca, kata dia, tidak bisa digantikan dengan menonton.
Masyarakat harus diperkenalkan tentang betapa nikmatnya membaca buku. Komang menyatakan, program yang serius untuk menumbuhkan minat baca juga sekiranya perlu untuk dilakukan. "Mungkin harus diperkenalkan, harus ada program yang serius untuk menumbuhkan minat baca itu," tutur dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.