Fikih Muslimah
Alasan Mengapa Laki-Laki Dilarang Bermakmum ke Wanita
Wanita tidak diberi hak menjadi imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki.
OLEH IMAS DAMAYANTI
Laki-laki dilarang menjadi makmum wanita dalam shalat. Sebaliknya, perempuan boleh bermakmum kepada pria. Apa alasan tersebut dan apakah ada dalil syariatnya?
Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Imam Perempuan menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang secara tegas menyebutkan larangan laki-laki bermakmum kepada wanita dalam shalat. Kiai Ali mengutip pernyataan Imam Syafii dalam kitab Al-Umm yang menyebutkan bahwa apabila wanita shalat menjadi imam untuk kaum laki-laki, wanita, dan anak laki-laki maka shalat para makmum yang wanita sah. Sedangkan shalat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah.
Hal itu karena Allah SWT menjadikan laki-laki sebagai pemimpin wanita. Allah SWT juga tidak menjadikan wanita sebagai wali dan lain-lain. Wanita dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam shalat untuk makmum laki-laki.
Jelas sekali dari pernyataan tersebut bahwa Imam Syafii menjadikan Surah An-Nisa ayat 34 sebagai dalil tidak dibolehkannya wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki. Ayat itu berbunyi sebagai berikut, “Ar-rijaalu qawwamuna alannisa-I bima faddhalallahu ba’dhahum ala ba’dhin wa bimaa anfaquu min amwaalihim.”
Yang artinya, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Kiai Ali menjelaskan bahwa dalam ayat ini memang tidak ada kejelasan tentang imam wanita bagi makmum laki-laki. Yang ada hanyalah penegasan bahwa laki-laki itu menjadi pelindung, pemimpin, dan pengayom bagi perempuan.
Menurut dia, imam dalam shalat merupakan pemimpin bagi jamaahnya. Sedangkan yang diberi hak oleh Allah SWT untuk jabatan pemimpin adalah laki-laki. Artinya, perempuan tidak diberi hak untuk menjadi imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki. Begitulah kira-kira istidhlal (pengambilan dalil) Imam Syafii dengan ayat tersebut.
Meski konteks dalam ayat tersebut berkaitan dengan urusan rumah tangga, Kiai Ali mengingatkan bahwa urusan rumah tangga adalah lingkup yang lebih kecil dibandingkan dengan shalat berjamaah. Apalagi masalah kemasyarakatan, bahkan kenegaraan.
Apabila dalam urusan yang lebih kecil saja seperti rumah tangga wanita dilarang menjadi pemimpin, dia berpendapat, dalam masalah-masalah yang lingkupnya lebih besar seperti kemasyarakatan dan kenegaraan, tentu wanita lebih tidak dibolehkan untuk menjadi pemimpin.
Kiai Ali menjelaskan bahwa dalam ilmu balaghah alias sastra Arab, dikenal ada dua macam kalimat yakni kalimat berita dan kalimat perintah. Kalimat berita disebut kalam khabar, sedangkan kalimat perintah disebut kalam insya. Menurut para ahli bahasa, kalam khabar lebih efektif pengaruhnya daripada kalam isya.
Inilah efektivitasnya sebuah kalimat berita daripada kalimat perintah. Karena itu, Surah An-Nisa ayat 34 yang berbentuk kalimat berita, tapi sejatinya ia sebuah perintah. Yakni perintah Allah SWT kepada lelaki agar memimpin dan melindungi perempuan. Dan kebalikan dari perintah adalah larangan, yaitu larangan perempuan menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki sebagaimana kaidah dalam ushul fikih.
Apabila ayat tersebut menjadi dalil tentang keharaman wanita menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki, maka adakah hadis yang menyinggung masalah tersebut? Dalam hadis Imam Ibnu Majah disebutkan, “Ala laa taummanul-maratun rajulan,” Yang artinya, “Ingatlah, jangan sekali-kali ada wanita menjadi imam shalat untuk laki-laki.”
Kiai Ali menjelaskan terdapat keterangan bahwa hadis tersebut lemah. Akan tetapi, dalam disiplin ilmu hadis, tidak selamanya hadis dhaif itu mesti dilempar. Apalagi substansi hadis itu telah diterima dan diamalkan oleh para ulama sepanjang masa, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
Oleh karena itu, hadis ini tetap diterima dan dijadikan dalil untuk mengharamkan wanita menjadi imam shalat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.