Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Mewaspadai Versi baru dari New Normal

Jika vaksinasi mengurangi standar new normal, bukan mustahil kita kembali terpuruk

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Setelah nyaris dua tahun sejak wabah, dunia seolah memasuki episode lain dari new normal. Berbeda dengan konsep new normal awal yang tetap merekomendasikan masker, jaga jarak, cuci tangan, dan menghindari kerumunan, versi barunya berbeda.

Di berbagai belahan dunia, kerumunan berpuluh ribu orang menyaksikan pertandingan olahraga menjadi pemandangan rutin. Bahkan nyaris setiap hari bisa kita temukan di layar televisi.  Banyak di antara audiens tidak lagi memakai masker dan duduk dengan jarak berdekatan, padahal pandemi belum berakhir. 

Kalaupun ada yang membedakan, sebelum berkumpul dan berkerumun, pengunjung mungkin harus menunjukkan bukti sudah divaksin atau melalui pengecekan  suhu tubuh.

Seolah ada filosofi versi baru new normal. Asalkan sudah vaksin, tidak masalah jika tidak mengenakan masker atau menjaga jarak. Benarkah demikian? Amankah?

 
Seolah ada filosofi versi baru new normal. Asalkan sudah vaksin, tidak masalah jika tidak mengenakan masker atau menjaga jarak. Benarkah demikian? Amankah?
 
 

Kenyataannya, Eropa yang sempat melonggarkan protokol kesehatan, kini dilanda serangan baru. Salah satu negara terkuat dan termaju di Eropa, Jerman misalnya, saat ini kembali berjuang melawan gelombang hebat Covid-19. Negara terpadat di Uni Eropa itu  sempat mencatat infeksi harian melebihi 50 ribu kasus.

Tingkat penularan dan kematian di negeri industri itu pun meningkat tajam sejak pertengahan Oktober lalu. Salah satunya akibat angka vaksinasi yang relatif rendah, hanya mencapai 67 persen dari keseluruhan sasaran vaksinasi di Jerman.

Rumah Sakit Universitas Giessen, salah satu klinik terkemuka di sana untuk penyakit paru-paru, dipenuhi pasien dengan nyaris setengahnya menggunakan ventilator. Tercatat total lebih dari 5 juta kasus covid-19 terjadi di Jerman.

Prancis, Inggris, Rusia, dan sebagian besar negara Eropa Timur pun sedang bekerja keras untuk meredam laju ledakan gelombang keempat ini.

Vietnam yang pada awal pandemi merupakan negara teladan yang sukses menghalau korona, sejak April 2021 kembali guncang. Kasus Covid-19 di Vietnam menembus 10 ribu per hari.

Total terinfeksi dari gelombang keempat di Vietnam telah mencapai 1 juta kasus. Sebagian besarnya justru didominasi varian Delta yang muncul beberapa bulan belakangan. Sejauh ini, Vietnam memilih menerapkan lockdown lokal.

 
Salah satu alasan vaksinasi tidak berjalan lancar di beberapa negara, sebab penduduk menolak untuk divaksin, sementara negara tidak berani menggunakan kekuatan untuk memaksa.
 
 

Banyak alasan mengapa kasus Covid-19 kembali memuncak. Pertama, tidak semua negara sukses menjalankan program vaksin. Sekalipun sudah menjalankan vaksinasi, nyaris belum semua mencapai tingkat herd immunity atau kekebalan kelompok.

Kedua, dalam keadaan belum terciptanya kekebalan komunitas — karena merasa sudah menjalankan vaksinasi— beberapa kelompok dengan gegabah mengendorkan protokol kesehatan, mulai berkerumun dan tidak lagi memakai masker. Akibatnya penyebaran menjadi kian mudah.

Ketiga, harga demokrasi. Salah satu alasan vaksinasi tidak berjalan lancar di beberapa negara, sebab penduduk menolak untuk divaksin, sementara negara tidak berani menggunakan kekuatan untuk memaksa, sehingga akhirnya imunitas masyarakat yang ingin dicapai tidak terpenuhi.

Keempat, keadaan ini diperburuk oleh varian virus yang makin mudah penularannya dan lebih ganas, selain lebih mematikan. Belum tuntas kita berhadapan dengan varian Delta, kini negara-negara di dunia mulai diserang varian omikron yang memiliki karakteristik berbeda.

Kelima, masa kekuatan vaksin yang semakin memudar setelah melewati enam bulan dan belum tersedianya cukup vaksin booster, karena pemerintah masih memprioritaskan mereka yang belum menerima vaksin pertama dan kedua.

 
Aroma kematian akibat wabah belum menguap sepenuhnya dari bumi pertiwi. Kehati-hatian masih sangat diperlukan.
 
 

Dengan kenyataan ini, maka sejatinya belum waktunya bagi masyarakat dunia khususnya bangsa Indonesia merasa bebas dari covid-19, lalu seolah memiliki alasan untuk berpesta, dan mengendorkan kewaspadaan. Pendeknya sama sekali belum saatnya untuk menerapkan versi baru dari new normal.

Seandainya kita tetap bersandar pada standar new normal awal dengan memakai masker, menjaga jarak, cuci tangan, ditambah vaksinasi, tentu daya tahan masyarakat lebih kuat. Akan tetapi jika vaksinasi kemudian mengurangi standar new normal maka bukan mustahil kita kembali terpuruk.

Liburan akhir tahun yang di depan mata, jelas menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat. Apakah bersama-sama kita mampu membendung gelombang baru Covid dengan varian omikronnya? Kegagalannya akan berakibat hantaman lonjakan kasus Covid yang hebat di awal 2022. 

Aroma kematian akibat wabah belum menguap sepenuhnya dari Bumi Pertiwi. Kehati-hatian masih sangat diperlukan. Jangan lalai, jangan terbuai, tetap tegas menegakkan prokes sebagai ikhtiar menjaga diri dan keluarga. Hingga pandemi benar-benar pergi, maka kesadaran dan gerak seirama kita, masih dibutuhkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat