Kisah Mancanegara
Puluhan Migran Tewas Tenggelam di Selat Inggris
Di antara korban tewas, tujuh di antaranya wanita dan salah satunya sedang mengandung.
OLEH KAMRAN DIKARMA, RIZKY JARAMAYA
Derita para migran yang hendak hidup di Eropa seolah tak pernah usai. Saat krisis di perbatasan Belarusia-Polandia masih berlangsung, sebanyak 27 migran tewas tenggelam di Selat Inggris pada Rabu (24/11) malam waktu setempat saat menyeberang dari Prancis ke Inggris. Satu di antara korban adalah wanita hamil.
Para migran terombang-ambing setelah perahu karet yang mereka tumpangi kempis dan tenggelam. Perahu tersebut diduga bertubrukan dengan kapal kargo. Namun di sisi lain, perahu yang seharusnya hanya boleh menampung 10 orang, ditumpangi lebih dari 50 orang.
Selat Inggris adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia dan memiliki arus yang kuat. Perahu-perahu yang kelebihan muatan seringkali nyaris tidak bertahan dan berada di bawah kekuasaan ombak saat mereka mencoba mencapai pantai Inggris.
Kelompok hak asasi dan pakar pengungsi menilai, kebijakan pemerintah yang membatasi suaka, termasuk menerapkan pengawasan lebih ketat, mendorong para migran mengambil lebih banyak risiko.
"Menuntut hanya penyelundup berarti menyembunyikan tanggung jawab otoritas Prancis dan Inggris," kata I'Auberge des Migrants, sebuah kelompok advokasi yang mendukung pengungsi dan orang-orang terlantar.
Sekitar 27 ribu migran tercatat telah menyeberangi Selat Inggris tahun ini. Angka itu jauh melampaui jumlah yang tercatat pada tahun lalu, yakni sekitar 8.000 migran dan 1.000 migran pada 2019. Bulan ini, lebih dari 4.000 orang telah melakukan perjalanan atau paling banyak dalam kurun waktu satu bulan. Lonjakan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Insiden tenggelamnya kapal para migran pertama kali diketahui dan dilaporkan para nelayan sekitar. Adapun petugas dari organisasi sukarelawan penyelamat laut, SNSM (Société nationale de sauvetage en mer) di Calais, Prancis, menjadi pihak yang pertama kali encapai titik lokasi kejadian.
Presiden SNSM Bernard Baron mengungkapkan, saat ditemukan, perahu karet yang ditumpangi para migran benar-benar telah kempis. Mereka terapung dan harus berjuang menahan dinginnya air Selat Inggris. "Ini adalah kondisi yang tak terbayangkan," kata Baron, dikutip dari laman Evening Standard, Kamis (25/11).
Sebagian besar migran, yang terdiri atas orang-orang Kurdi Irak dan Somalia, tak mengenakan pelampung. "Seringkali hanya wanita dan anak-anak yang memiliki jaket pelampung, dan kapal-kapal ini tidak memiliki lampu navigasi atau penerima radar," ujar Baron.
Inggris dan Prancis akhirnya menggelar operasi penyelamatan gabungan. Tiga kapal dan tiga helikopter dikerahkan ke lokasi kejadian. Otoritas Prancis awalnya melaporkan sebanyak 31 migran tewas dalam insiden tersebut. Namun, jumlahnya direvisi menjadi 27 jiwa.
Di antara korban tewas, tujuh di antaranya adalah wanita dan salah satunya sedang mengandung. Terdapat pula tiga anak-anak yang kehilangan nyawa dalam kejadian tersebut. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut insiden itu sebagai tragedi terbesar sejak pihaknya menghimpun data terkait peristiwa serupa di Selat Inggris pada 2014.
Regu penyelamat meyakini, perahu para migran bertolak dari Loon-Plage, dekat Dunkirk, Prancis, pada Rabu pagi. Perahu mereka kemudian bertubrukan dengan kapal kontainer di batas perairan teritorial Prancis.
Para migran tersebut merupakan korban perdagangan dan penyelundupan manusia. Menurut Wali Kota Calais Natcha Bouchart, para migran membayar antara 2.000 hingga 6.000 pound kepada para pelaku penyelundupan agar membantu mereka menyeberang ke Inggris. "Saya telah memperingatkan selama berpekan-pekan dan berbulan-bulan bahwa tragedi semacam ini pasti akan terjadi," ujar Bouchart.
Sebanyak empat pelaku yang diduga terlibat dalam insiden migran di Selat Inggris telah ditangkap saat hendak melarikan diri menuju perbatasan Belgia. Semua pelaku tersebut merupakan laki-laki dan diperkirakan bakal menjalani persidangan pada pekan ini. Mereka bakal menghadapi dakwaan pembunuhan dan bantuan imigrasi ilegal dalam kelompok yang terorganisasi.
Insiden di Selat Inggris membuat Paris dan London terlibat perselisihan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengaku terkejut atas peristiwa tenggelamnya perahu migran di Selat Inggris. Johnson meminta Prancis berbuat lebih banyak untuk mencegah orang atau migran menyeberang secara ilegal ke Prancis.
Dia menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada seluruh keluarga korban. "Simpati saya bersama para korban dan keluarga mereka. Bencana ini menggarisbawahi bahwa menyeberangi Selat dengan cara ini sangat berbahaya," ujar Johnson setelah memimpin rapat darurat Kabinet.
Sementara, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, Inggris perlu berhenti mempolitisasi masalah ini untuk keuntungan domestik. Inggris dinilai perlu ikut bertanggung jawab. Macron menekankan, Prancis tidak akan membiarkan Selat Inggris menjadi "kuburan". Dia pun menyerukan pertemuan darurat para menteri Eropa guna membahas isu tersebut.
Meski sempat saling sindir, Boris Johnson dan Emmanuel Macron disebut telah sepakat untuk meningkatkan upaya bersama mencegah penyeberangan migran di Selat Inggris. Seorang juru bicara perdana menteri Inggris mengatakan, Johnson dan Macron juga sepakat mengerahkan segala upaya untuk menghentikan pihak yang bertanggung jawab terhadap pengiriman para migran secara ilegal.
“Mereka menggarisbawahi pentingnya kerja sama yang erat dengan tetangga di Belgia dan Belanda, serta mitra di seluruh benua jika kita ingin mengatasi masalah secara efektif sebelum orang mencapai pantai Prancis,” ujar juru bicara perdana menteri Inggris.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.