Analisis
Saatnya Memulihkan Pariwisata
Sektor pariwisata juga memberikan dampak turunan maupun sampingan yang besar.
OLEH SUNARSIP
Pada 5 November lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data kinerja perekonomian Indonesia pada kuartal III 2021. Hasilnya, pada kuartal tersebut ekonomi kita tumbuh 3,51 persen (year on year/yoy).
Meski tumbuh positif, angka tersebut sebenarnya di bawah ekspektasi sejumlah pihak, termasuk pemerintah. Pada Oktober lalu, Kementerian Keuangan memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 dapat mencapai 4,5 persen. Itu artinya, realisasi pertumbuhannya lumayan jauh di bawah prediksi tersebut.
Kalau kita lihat per komponen yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sebagian besar aktivitas ekonomi masih rendah. Dari sisi permintaan domestik, misalnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT) hanya tumbuh 1,03 persen (yoy).
Konsumsi pemerintah bahkan hanya tumbuh 0,66 persen (yoy). Kinerja konsumsi RT ini sejalan dengan perkembangan indeks penjualan ritel yang selama kuartal III 2021 lebih rendah dibanding kuartal III 2020.
Kondisi ini menjadi indikasi bahwa daya beli praktis tidak bergerak. Tampaknya, penerapan PPKM sejak awal Juli lalu memberikan dampak yang cukup masif bagi tertahannya pertumbuhan ekonomi kuartal III 2021.
Beruntung bahwa di tengah tertahannya laju pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan domestik, kinerja ekspor memperlihatkan pertumbuhan signifikan. Komponen ekspor tumbuh 29,16 persen (yoy). Kinerja pertumbuhan ekspor ini sejalan dengan pertumbuhan nilai ekspornya yang selama kuartal III 2021 mencapai 50,90 persen (yoy). Pertumbuhan ekspor inilah yang tampaknya menjadi “penolong” bagi sektor ekonomi lainnya sehingga pertumbuhan ekonomi tidak melemah dratis sebagai akibat masih lemahnya permintaan domestik.
Pertumbuhan ekspor inilah yang tampaknya menjadi “penolong” bagi sektor ekonomi lainnya sehingga pertumbuhan ekonomi tidak melemah dratis sebagai akibat masih lemahnya permintaan domestik
Kontribusi pertumbuhan ekspor yang relatif tinggi selama kuartal III 2021 ini juga tercermin dari pertumbuhan ekonomi secara spasial. Terlihat bahwa kawasan luar Jawa-Bali yang notabene ketergantungannya pada ekspor berbasis komoditas relatif tinggi, selama kuartal III 2021 mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional.
Tentunya, untuk mempercepat pemulihan ekonomi, tidak cukup hanya mengandalkan ekspor sebagai penggerak pertumbuhan. Ekspor rentan terhadap gejolak eksternal. Kita membutuhkan sumber pertumbuhan baru yang lebih kokoh (sustainable) sekaligus mampu memberikan dampak multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian domestik.
Salah satunya adalah pariwisata. Pariwisata dapat dikatakan sebagai sektor ekonomi yang relatif murah karena kita cukup menjual potensi domestik telah tersedia. Selain dapat menghasilkan pendapatan dari domestik dan luar negeri, pariwisata juga memberikan dampak turunan maupun sampingan yang besar melalui berkembangnya usaha di sekitar pariwisata.
Pariwisata dapat dikatakan sebagai sektor ekonomi yang relatif murah karena kita cukup menjual potensi domestik telah tersedia.
Pada kuartal IV 2021, sebagian besar aktivitas ekonomi termasuk pariwisata, terlihat lebih menggeliat dibanding sebelumnya. Hal ini karena didorong oleh semakin berkurangnya kasus Covid-19 terutama dalam dua bulan terakhir. Banyak analisis memperkirakan bahwa kuartal IV 2021 akan menjadi titik balik bagi pemulihan ekonomi selanjutnya termasuk pariwisata.
Namun demikian, untuk memulihkan dan mengakselerasi pertumbuhan pariwisata, tidak cukup hanya melalui pembukaan kembali pasca pandemi Covid-19. Ini mengingat, sebagian besar pelaku usaha pariwisata kini menanggung beban cukup berat sebagai dampak berhentinya usaha selama pandemi. Beban berat tersebut terutama terkait aspek finansial, yaitu munculnya berbagai kewajiban keuangan yang tidak dapat dibayarkan akibat berkurangnya pendapatan.
Berdasarkan studi yang dilakukan World Travel & Tourism Council, sektor pariwisata global memberikan kontribusi terhadap PDB dunia sekitar 10 persen, dengan nilai PDB hampir mencapai 9 triliun dolar AS atau tiga kalinya PDB sektor pertanian pada 2019.
Covid-19 telah menimbulkan krisis di industri pariwisata. Kajian World Tourism Organization (2020) menunjukkan, kedatangan turis internasional diperkirakan turun 60 hingga 80 persen di 2020. Kondisi ini menempatkan sekitar 120 juta pekerja pariwisata berada dalam kondisi berisiko. Diperkirakan, belanja pariwisata belum akan dapat mencapai kondisi sebelum pandemi (pre-crisis) hingga 2024.
Pemerintah dan otoritas ekonomi lain sebenarnya telah mengeluarkan berbagai insentif untuk meringankan beban usaha yang ditanggung pelaku usaha, termasuk pelaku usaha di industri pariwisata.
Pemerintah dan otoritas ekonomi lain sebenarnya telah mengeluarkan berbagai insentif untuk meringankan beban usaha yang ditanggung pelaku usaha.
Di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia juga telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk meringankan beban finansial pelaku usaha melalui restrukturisasi kredit sekaligus mendorong akselerasi pembiayaan terutama bagi UMKM.
Namun demikian, kalau kita bandingkan dengan program serupa di negara lain, insentif yang dikeluarkan berbagai otoritas kita kurang spesifik. Efektivitas hasilnya pun menjadi kurang maksimal dapat dirasakan oleh para pelaku usaha, termasuk di pariwisata.
Di Selandia Baru, misalnya, pemerintahnya memberikan hibah hingga 15 ribu dolar Selandia Baru atau sekitar Rp 150 juta per pelaku UMKM untuk menutupi pembayaran gaji karyawannya. Pemerintah Singapura juga menganggarkan sekitar 8 persen dana hibahnya untuk diberikan kepada pelaku UMKM dalam rangka menutupi pembayaran gaji karyawan.
Dalam rangka mengurangi beban keuangan UMKM, Jepang menghapus utang para pelaku UMKM yang mengalami penurunan pendapatan usaha lebih dari 20 persen. Berbagai insentif ini lebih spesifik dan lebih dapat dirasakan manfaatnya oleh para pelaku UMKM yang juga banyak menghuni industri pariwisata.
Perlu diketahui bahwa mata rantai pemasok pariwisata sangat terfragmentasi, yang ditandai dengan terbatasnya koordinasi terutama di antara para pelaku UMKM yang merupakan pelaku terbesar di industri pariwisata. Di sisi lain, peran pemerintah juga terbatas, terlebih pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tidak memiliki kewenangan dan institusi koordinatif vertikal hingga ke bawah.
Mata rantai pemasok pariwisata sangat terfragmentasi, yang ditandai dengan terbatasnya koordinasi terutama di antara para pelaku UMKM.
Tantangan yang dihadapi industri pariwisata saat ini jauh lebih kompleks. Ini mengingat, pemulihan pariwisata tidak sekadar membuka kembali aktivitasnya, tetapi harus pula menyelesaikan beban pelaku usaha yang timbul selama pandemi, sekaligus mewujudkan pariwisata ke depan yang aman.
Jelas ini merupakan tantangan berat yang akan membutuhkan level koordinasi lebih komplek dibanding sebelum krisis pandemi. Terlebih, bila melihat karakteristik para insan di industri pariwisata kita yang masih relatif sulit beradaptasi dengan perilaku sadar Covid-19.
Dalam konteks ini, saya mengusulkan agar pemerintah (Kemenparekraf) memiliki tim manajemen krisis sebagai sentral pemulihan industri pariwisata. Tim yang dibangun harus lincah (agile) dan merefleksikan kebutuhan riil yang dihadapi industri, tidak cukup mengandalkan dari struktur organisasi yang eksisting.
Tim melibatkan berbagai elemen, baik dari pemerintah, asosiasi pelaku usaha, praktisi maupun pakar. Tim bertugas merumuskan berbagai kebijakan dan program pemulihan sekaligus menciptakan pariwisata ke depan yang lebih adaptif.
Isu-isu yang ditangani tidak hanya pariwisata, tetapi juga isu terkait lain seperti keuangan/investasi, perlindungan pekerja pariwisata dan wisatawan, komunikasi dan promosi, dan lain-lain. Setiap isu ditangani oleh satu task force tersendiri dan dilaporkan kepada menteri secara reguler.
Melalui tim manajemen krisis ini, pemulihan industri pariwisata nantinya diharapkan menjadi lebih terstruktur dan terkoordinasi, sekaligus lebih tetap sasaran.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.