Opini
Melindungi Sumber Brantas
Bencana alam menghambat upaya pemulihan ekonomi yang saat ini terjadi.
MAKSUM PURWANTO, ASN pada BMKG Malang
“Amukan” Sungai Brantas di Kota Batu, Jawa Timur, yang disebabkan hujan lebat di bagian hulunya menelan tujuh korban dan membuat ribuan warga mengungsi.
Padahal, dua tahun sebelumnya, 2019, "badai pasir" memorakporandakan wilayah tersebut, mengakibatkan satu orang meninggal dunia, ratusan orang mengungsi, dan merusak fasilitas umum maupun properti milik warga.
Berulangnya peristiwa kebencanaan yang berbeda di wilayah ini menimbulkan tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi di wilayah sumber mata air dari sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa ini?
Benar, pemicu peristiwa kebencanaan itu adalah faktor alam yang kita kenal dengan faktor hidrometeorologi. Untuk bencana saat ini, berupa hujan lebat di bagian hulu, sedangkan yang sebelumnya adalah angin kencang yang mengakibatkan “badai pasir”.
Berulangnya peristiwa kebencanaan yang berbeda di wilayah ini menimbulkan tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi di wilayah sumber mata air dari sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa ini?
Bukan kebetulan dua bencana ini terjadi pada waktu yang mirip. Yaitu, saat peralihan musim kemarau menuju musim hujan yang dikenal musim pancaroba. Memang, di musim peralihan ini banyak terjadi kondisi cuaca yang masuk kategori ekstrem.
Apalagi, didukung fenomena global seperti La Nina yang telah diperingatkan BMKG sebelumnya.
Dari data satelit, saat banjir bandang Kota Batu, memang terpantau pertumbuhan awan di wilayah sekitar Kota Batu dimulai pagi hari dan mencapai puncaknya sore hari. Data curah hujan di lapangan juga mengonfirmasi hal tersebut.
Curah hujan tercatat 80,2 mm selama dua jam. Berdasarkan kategori BMKG, curah hujan ini termasuk kategori hujan deras. Meskipun demikian, jika dibandingkan wilayah lain pada hari yang sama, curah hujan di wilayah Batu tersebut bukan termasuk tertinggi.
Dari pantauan satelit, terlihat ada banyak wilayah lain di Jawa Timur dengan curah hujan lebih tinggi. Jika melihat kondisi global, analisis BMKG menunjukkan, Indeks ENSO Oktober 2021 sebesar -0,96 menunjukkan ENSO dalam kondisi prasyarat La Nina lemah.
Kondisi La Nina lemah ini diperkirakan hingga periode Maret-Mei 2022. Melihat hal itu, tampaknya benar terjadi kerusakan tak semestinya di wilayah mata air Sungai Brantas yang menyebabkan kejadian alam yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.
Kondisi La Nina lemah ini diperkirakan hingga periode Maret-Mei 2022. Melihat hal itu, tampaknya benar terjadi kerusakan tak semestinya di wilayah mata air Sungai Brantas yang menyebabkan kejadian alam yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.
Menurut data kantor pertanahan Kota Batu, ada penurunan luas hutan lindung sebesar 117,6 hektare selama sembilan tahun terakhir. Pada 2011 luas hutan lindung 2.965,6 hektare dan mengalami penurunan menjadi 2.848 hektare pada 2020.
Di sisi lain, kawasan permukiman meningkat dua kali lipat dalam sembilan tahun terakhir, dari 1.436,8 hektare pada 2011 menjadi 2.909 hektare pada 2020. Kawasan industri meningkat dari 38 hektare pada 2011 menjadi 126 hektare atau lebih dari tiga kali lipat dalam sembilan tahun terakhir.
Pada kenyataannya, Sumber Brantas dikenal sebagai kawasan konservasi dengan berbagai jenis pohon, termasuk pohon yang dilindungi dengan tujuan penelitian dan pendidikan atau arboretum.
Arboretum Sumber Brantas yang merupakan titik nol Sungai Brantas kondisinya menyedihkan. Semakin tahun, mata airnya berkurang dan menurun. Bencana seperti ini seharusnya menjadi momentum agar kita mengembalikan sumber Brantas sesuai peruntukannya.
Diharapkan, kelak, Sumber Brantas benar-benar menjadi sumber air, sumber kehidupan, bukan sumber bencana. Sumber Brantas di Kota Batu hanya salah satu contoh bagaimana penurunan fungsi sumber air menimbulkan bencana.
Tentu kita tidak ingin hal serupa terjadi di daerah lain di Indonesia. Meski Indonesia dijuluki market bencana karena seringnya bencana alam yang terjadi, tetapi untuk bencana yang bisa dihindari seharusnya bisa dilakukan pencegahan.
Kerusakan fisik bangunan, terhentinya aktivitas ekonomi, rusaknya lahan pertanian, dan kehilangan pekerjaan akan sangat berpotensi menurunkan kesejahteraan penduduk di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.
Menurut pendataan Potensi Desa (Podes 2018) oleh BPS, dalam tiga tahun terakhir pendataan, 10.246 desa/kelurahan mengalami bencana tanah longsor, 19.675 desa/kelurahan mengalami banjir, 1.869 desa/kelurahan banjir bandang, 4.394 desa/kelurahan mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan, dan 8.587 desa/kelurahan mengalami bencana kekeringan.
Bencana yang terjadi tak hanya menimbulkan kerusakan alam, tetapi juga kerugian secara sosial ekonomi.
Kerusakan fisik bangunan, terhentinya aktivitas ekonomi, rusaknya lahan pertanian, dan kehilangan pekerjaan akan sangat berpotensi menurunkan kesejahteraan penduduk di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.
Bencana alam dan perubahan iklim menjadi salah satu hambatan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kenyataannya, pada 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,54 juta jiwa.
Selain itu, bencana alam tentu menghambat upaya pemulihan ekonomi yang saat ini terjadi. Sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pemulihan ekonomi teralihkan untuk penanganan bencana yang sebenarnya bisa dicegah.
Karena itu, pembangunan ekonomi tidak seharusnya mengabaikan kondisi lingkungan. Nilai tambah yang dihasilkan perekonomian tidak cukup untuk mengompensasi kerusakan maupun bencana alam yang akan ditimbulkan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.