Nasional
Kasus Prostitusi Anak Melonjak Sejak Pandemi
Data kasus prostitusi di luar negeri menunjukkan motif prostitusi saat ini bukan lagi sekadar memenuhi ekonomi dasar.
JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, kasus prostitusi anak alias eksploitasi anak melonjak lebih dari 50 persen sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Bahkan, data lonjakan kasus ini belum menggambarkan kondisi riil karena tak semua korban melaporkan kasusnya.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, mengatakan, pada 2019 tercatat 106 kasus eksploitasi anak di seluruh Indonesia. Pada 2020 atau ketika pandemi mulai melanda, jumlah kasus meningkat jadi 133. Sementara, pada 2021 yang masih berjalan, jumlah kasusnya sudah mencapai 165 atau sudah naik 50 persen lebih dibanding 2019.
"Perkembangan pada masa pandemi (memang) kasus eksploitasi anak dan perdagangan anak itu tinggi," ujar Nahar kepada wartawan di Jakarta, Selasa (2/11).
Nahar menjelaskan, data tersebut berasal dari laporan yang dibuat korban atau kerabat korban ke pemerintah daerah (pemda) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bermitra dengan Kementerian PPPA. Ia menegaskan, tak menutup kemungkinan, jumlah kasus prostitusi anak ini lebih tinggi karena tidak semua korban membuat laporan.
"Yang kami khawatirkan adalah masa pandemi ini menghambat orang untuk membuat laporan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Republika, sejak awal 2021 hingga Mei 2021 setidaknya terdapat 50 anak yang menjadi korban prostitusi anak di Jakarta dan kota penyangganya. Nahar menyebut, peningkatan kasus prostitusi anak ini dipicu sejumlah faktor. Diantaranya karena persoalan ekonomi dan minimnya pengawasan orang tua.
Dia menyebut, semua faktor pemicu itu pada dasarnya muncul atau semakin parah karena pandemi Covid-19. Selain prostitusi anak, lanjut dia, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan korban anak-anak juga meningkat sejak pandemi. Pada 2019 tercatat 111 kasus. Lalu pada 2020 dan 2021 naik jadi 213 dan 256 kasus.
Nahar mengeklaim, pihaknya sudah berupaya melakukan pencegahan terjadinya kasus prostitusi dan perdagangan anak. Kementerian PPPA juga melibatkan kementerian/lembaga lain dalam proses pemulihan korban. "Ketika misalnya ditemukan anak menjadi korban eksploitasi atau perdagangan orang, proses pemulihannya kita pastikan lembaga manapun bisa berperan," ujarnya.
Mengutip data Perkembangan Data Kekerasan Anak yang diberikan Nahar, tercatat total kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 9.428 kasus pada 2021. Rinciannya, 2.274 kasus kekerasan fisik, 2.332 kekerasan psikis, 5.628 kekerasan seksual, dan 752 kasus penelantaran.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, data kasus prostitusi di luar negeri menunjukkan motif prostitusi saat ini bukan lagi sekadar memenuhi ekonomi dasar. Banyaknya kasus prostitusi karena pelaku ingin memenuhi kebutuhan yang bukan utama. Pelaku prostitusi terpengaruh gaya hidup yang bersilewaran di media sosial.
"Karena pengaruh misalnya gaya hidup, jadi memang dunia online yang menampilkan deretan kehidupan orang lain yang sebenarnya belum tentu merepresentasikan kehidupan nyata," ujar Devie.
Devie menilai banyaknya konten yang memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah membuat genarasi muda lebih mudah merasa tidak nyaman dengan dirinya. "Jadi banyak berdasarkan kepalsuan sebenarnya, ini mendorong bagi orang-orang yang melihatnya ingin mencukupi hidup yang gaya," tutur Devie.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.