Kisah Dalam Negeri
Bahaya Penularan Covid-19 dari Pasien tanpa Gejala
Kasus Covid-19 di Tanah Air memang sedang melandai. Bukan berarti penularan Covid-19 tidak terjadi.
Kasus Covid-19 di Tanah Air memang sedang melandai. Bukan berarti penularan Covid-19 tidak terjadi. Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, seringkali kasus Covid-19 terjadi tanpa gejala atau biasa disebut OTG (orang tanpa gejala).
"Orang yang terinfeksi sebagian besar terlihat sehat, merasa sehat, namun bisa menularkan virus (Covid-19)," ujar Zubairi saat konferensi virtual tanya jawab IDI bertema "Kenapa Harus Tes PCR Sebelum Bepergian?", akhir pekan lalu.
Ia memberi contoh studi kasus satu warga negara Inggris yang tengah berada di Singapura kemudian kembali ke rumahnya. Sebelum pulang, ia melewati negara-negara lain di Eropa lebih dulu. Ternyata orang ini bisa menularkan virus hingga ke 10 orang.
"Makanya kasus ini disebut superspreader. Bahkan, ada kasus superspreader yang bisa menularkan sampai 34 orang," ujarnya. Persoalan semakin bertambah dengan adanya mutasi virus Delta membuat Covid-19 lebih menular dibandingkan varian lainnya.
Ia menjelaskan, virus ini tidak bisa hidup kalau tak menumpang di sel paru-paru manusia. Kemudian begitu virus masuk ke paru-paru, khususnya varian Delta, bisa sangat cepat menular dibandingkan varian yang lain. Padahal, varian ini mendominasi 90 persen dari total penularan Covid-19.
Zubairi menjelaskan, ada hal yang menentukan seseorang yang terinfeksi virus kemudian harus dirawat di rumah sakit. Pertama, orang yang terinfeksi Covid-19 yang tidak merasakan apa-apa, tapi saat menjalani rontgen ternyata terdapat pneumonia di paru-parunya.
"Maka pasien wajib dirawat di rumah sakit karena pneumonia juga bisa tanpa gejala. Paru-parunya bisa terganggu," ujarnya.
Kemudian jika pasien Covid-19 memilih isolasi mandiri di rumah, ia meminta harus rutin mengecek saturasi oksigennya. Saat diperiksa saturasi oksigennya ternyata rendah kurang dari 90 persen, maka wajib dirawat karena bisa terjadi happy hypoxia yaitu kondisi saturasi oksigennya turun drastis, tapi tubuh masih belum merasakan apa-apa. "Karena pasien Covid-19 bisa tiba-tiba mendadak kolaps atau meninggal dunia," katanya.
Contohnya, selama periode Juli-Agustus 2021 lalu, saat kasus Covid-19 sedang banyak, ternyata pasien isoman yang meninggal dunia berjumlah ribuan. Penyebabnya selain karena rumah sakit penuh, pasien Covid-19 tanpa gejala ini tidak mengecek saturasi oksigennya. Ia juga tidak periksa rontgen hingga kemudian meninggal dunia.
"Seringkali meski positif Covid-19 kemudian isolasi mandiri di rumah. Kemudian tahu dari laboratorium, tapi tidak konsultasi dengan dokter," ujarnya.
Jadi, kata dia, banyak pasien Covid-19 hanya menilai diri sendiri saja. Kemudian merasa masih sehat, bisa jalan, tidak merasakan masalah, jadi memilih isoman di rumah.
Padahal pasien Covid-19 harusnya menjalani rontgen dan rutin periksa saturasi oksigen menggunakan oksimeter. "Kemudian yang tak kalah penting adalah konsultasikan dengan dokter," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.