Nasional
Pemerintah Revisi Harga PCR
Syarat negatif tes PCR akan diperluas ke moda transportasi lainnya.
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menanggapi berbagai kritikan dan saran yang dilontarkan sejumlah pihak terkait syarat wajib tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat terbang.
Presiden pun menginstruksikan agar harga tes PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan masa berlakunya diperpanjang menjadi 3x24 jam untuk perjalanan pesawat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan itu saat konferensi pers usai rapat terbatas evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), Senin (25/10).
“Arahan Presiden agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan berlaku selama 3x24 jam untuk perjalanan pesawat,” ujar Luhut.
Luhut mengaku menerima berbagai kritikan dan masukan dari masyarakat terkait kebijakan penggunaan tes PCR. Kewajiban penggunaan PCR ini diberlakukan untuk menyeimbangkan relaksasi yang dilakukan pada aktivitas masyarakat, terutama pada sektor pariwisata.
“Meski kasus saat ini sudah sangat rendah, belajar dari pengalaman negara lain, kita tetap memperkuat 3T, 3M supaya kasus tidak kembali menguat, terutama menghadapi periode Natal dan Tahun Baru,” ujar Luhut.
Luhut meminta masyarakat tidak emosional dalam menanggapi kebijakan penggunaan tes PCR ini. Ia berjanji akan memberikan penjelasan kepada masyarakat jika terdapat kebijakan yang masih belum dapat dipahami.
Ia menyebut, secara bertahap penggunaan tes PCR ini juga akan diterapkan pada transportasi lainnya untuk mengantisipasi kenaikan kasus di periode Natal dan Tahun Baru. Selama periode Natal dan Tahun Baru tahun lalu, meskipun penerbangan ke Bali sudah disyaratkan menggunakan tes PCR, namun mobilitas masyarakat tetap meningkat sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan kasus.
Pada Ahad (24/10), Ketua Umum Yayasan Perlindungan Konsumen (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah merevisi atau membatalkan kebijakan wajib PCR bagi pengguna transportasi udara. Kebijakan tersebut dinilai diskriminatif karena pengguna transportasi lain hanya diberlakukan tes antigen.
Tulus mengatakan, pemerintah menetapkan besaran tarif tes PCR Rp 495 ribu. Namun, yang terjadi di lapangan, harga tes PCR bisa berkali lipat, dari Rp 750 ribu, Rp 900 ribu, hingga Rp 1,5 juta atau disebut juga tarif ekspres. Jika pemerintah tetap mewajibkan PCR, Tulus meminta tarifnya diturunkan menjadi Rp 200 ribu dan masa berlakukan 3x24 jam.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai kebijakan mewajibkan PCR tidak efisien. Sebab, tak semua daerah dengan rute penerbangan pesawat memiliki laboratorium yang memberikan layanan cepat untuk mengeluarkan hasil tes. Selain itu, biaya tes PCR pun juga masih tinggi bagi masyarakat. Karena itu, ia meminta agar kebijakan itu dibatalkan serta harga tes PCR diturunkan.
“Kebijakan PCR 2x24 jam ini harus dibatalkan. Diganti dengan kebijakan lain tanpa harus meninggalkan kewaspadaan akan potensi naiknya penyebaran Covid-19,” ujar dia, kemarin.
Evaluasi
Anggota Komisi V DPR Novita Wijayanti mempertanyakan koordinasi lintas kementerian terkait aturan kewajiban tes PCR tersebut. Ia meminta Kementerian Dalam Negeri segera mengevaluasi Inmendagri yang telah diterbitkan.
"Saya minta evaluasi kembali Inmendagri tersebut. Kebijakan ke-new normal-an harus disesuaikan antarsektor. Sekaligus saya minta untuk tes PCR tersebut disesuaikan dengan fungsinya untuk alat diagnosis Covid-19, untuk screening cukup tes swab antigen saja. Apalagi untuk penerbangan sudah mewajibkan vaksin, saat ini kita tempatkan sebagaimana mestinya," kata dia dalam keterangannya, kemarin.
Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito kembali menegaskan, penerapan PCR itu sebagai bentuk komitmen pemerintah melindungi masyarakat dari penularan Covid-19. Sebab, kapasitas penumpang di dalam pesawat pun kini sudah dinaikkan dari 70 persen menjadi 100 persen.
“Pemerintah berkomitmen melindungi masyarakat agar tidak tertular dan tidak menulari pelaku perjalanan moda udara yang kapasitasnya dinaikkan dari 70 persen menjadi 100 persen,” ujar Wiku saat dikonfirmasi, Ahad (24/10).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.