Opini
Jalan Sunyi Menata Pikiran dan Pendidikan
Guru, orang tua, dan masyarakat harus mendukung pendidikan.
NANANG SUMANANG
Guru Sekolah Indonesia Davao.
Dahulu kala, di sebuah desa, di Irak, hiduplah seorang sufi buta, yang setiap hari berjualan kain tenun di pinggir jalan, kain yang ditenunnya sendiri. Banyak orang yang memanfaatkan kebutaannya untuk kepetingan pribadi. Membayar dengan koin palsu, tidak membayarnya, atau menukarnya dengan sesuatu barang yang tidak berarti. Sufi ini tahu bahwa ia sering ditipu, tapi ia terus tetap berjualan, tanpa mengeluh sedikitpun. Karena sikapnya itulah sufi tersebut dipanggilnya sebagai orang buta yang gila.
Suatu saat ketika malaikat maut datang menjemputnya untuk bertemu dengan sang Khalik, sufi ini menyambutnya dengan sangat gembira sekali dan berkata “Wahai Kekasih, aku sangat senang Engkau telah mengutus malaikatMu untuk menjemputku, tapi ijinkanlah aku untuk memohon kepadaMu, agar Engkau menerima Ibadahku yang sangat hina ini, sebagaimana aku mengikhlaskan saudara-saudaraku yang telah menganiayaku, janganlah Engkau menghukumiku sebagaimana aku juga enggan menghukumi orang-orang yang telah menganiayaku” Lalu kemudian malaikat maut itu menjemputnya dengan tersenyum.
Beberapa hari kemudian, desa tersebut gempar, karena beberapa orang yang dikenal sangat alim datang mencari sufi buta ini dan berkata kepada penduduk kampung tempat tinggal sufi tersebut” Wahai saudara-saudara, tahukah anda dimana alamat sufi buta yang suka berjualan kain tenun?” Beberapa orang berkata “Wahai guru yang alim, kenapa engkau mencari orang majnun (gila) tersebut? Dia sudah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu”. Orang-orang alim tersbut kemudian menangis dengan terisak dan berkata “Tahukah kamu sekalian, semalam aku bermimpi, dan dalam mimpiku orang buta yang berjualan kain tenun itu dipersilahkan oleh Allah SWT untuk memasuki surgaNya Allah tanpa dihisab, dia masuk surga dengan diiringi oleh jutaan malaikat hanya karena dia tidak pernah mengeluh dan menghakimi orang-orang, sekalipun dia tahu kalau dia ditipu dan dianiaya”
Cerita di atas atau cerita lain sejenisnya banyak kita temui dalam khasanah bacaan-bacaan dunia tasawuf atau sufi. Cerita orang-orang yang menempuh jalan sunyi, jalan dimana hanya dilalui oleh orang-orang yang hatinya sudah tidak terikat oleh dunia (materi). Suatu jalan yang sudah selesai dengan eksistensi, jalan yang menuju esensi (hakikat), dan jalan yang dihindari oleh para pencari kenikmatan dunia yang fana ini.
Pesan yang ingin disampaikan dari cerita di atas, sebenarnya adalah kita sangat dianjurkan untuk menata pikiran. Menata pikiran adalah mengolah cara pandang diri kita terhadap diri sendiri serta orang lain dan lingkungannya agar lebih baik. Dari menata pikir ini akan melahirkan prasangka baik (husnudzon) dan sebaliknya, apabila tidak bisa menata pikiran maka akan malahirkan prasangka buruk (suudzon).
Secara psikologis sebenarnya indra kita akan menerima simbol-simbol dari benda atau manusia di sekitar kita, baik secara fisik maupun perilaku. Simbol-simbol ini akan diproses oleh alam sadar (proses berpikir sekarang) maupun oleh alam bawah sadar kita (pemikiran yang tertanam dalam di dalam diri kita karena pengalaman-pengalaman masa lalu) sehingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan tentang simbol-simbol tersebut.
Ada tiga proses/ tingkatan ketika kita menerima simbol-simbol tersebut; pertama tahap kognitif, dimana simbol-simbol ini hanya baru sampai pada tahap pemikiran kita saja, yaitu menghasilkan kesimpulan kalau ini baik atau itu buruk. Tahap kedua adalah tahap perasaan, dimana dari tahap pemikiran ini akan naik pada tahap perasaan diri kita.
Tahap perasaan ini akan sangat dipengaruhi oleh kesimpulan pada tahap pemikiran, dimana kalau respon kognitif terhadap simbol-simbol itu berkesimpulan baik, maka perasaan kita juga akan baik dan itu akan sangat menyehatkan dan menguntungkan kita. Tetapi apabila respon kognitif kita terhadap simbol-simbol tersebut menghasilkan kesimpulan yang buruk, maka perasaan kita akan buruk, dan akan sangat mempengaruhi hormon-hormon kita bekerja menjadi tidak baik (normal) dan dapat dipastikan, pasti akan mempengaruhi kesehatan kita.
Tahap ketiga adalah tahap tindakan. Pada tingkatan ini penilaian pada tahap perasaan akan sangat mungkin muncul pada bentuk tindakan, yang tentunya akan sangat dipengaruhi oleh kesimpulan pada tahap perasaan tadi. Kalau kesimpulan pemikiran baik, akan menghasilkan perasaan yang baik dan akan melahirkan tindakan yang baik juga, baik pada dirinya sendiri, baik untuk orang lain maupun pada alam lingkungan sekitarnya (amal shaleh). Sebaliknya apabila kesimpulan pada tingkatan pemikiran tidak baik, maka akan melahirkan perasaan yang tidak baik dan akan berakhir pada tindakan yang tidak baik. Tindakan yang tidak baik (negatif) ini akan merugikan diri sendiri, merugikan orang lain dan alam sekitarnya (dzolim) dalam berbagai bentuknya; bisa fitnah, tindakan kriminal ataupun melanggar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pada kenyataannya, tidak ada satupun manusia yang bisa benar-benar memproses simbol-simbol tersebut dengan sebenar-benarnya, sehingga simbol-simbol yang kita tangkap kemudian kita indari bisa kita pahami secara sempurna sebagaimana adanya. Selalu saja ada distorsi pemahaman dari kenyataan yang sebenarnya, karena manusia sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, oleh pengalaman masa lalu dan pengaruh kondisi kekinian.
Dalam kondisi inilah, lalu Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan solusi, jalan keluar, dari ketidak sempurnaan penerimaan indra menangkap simbol-simbol cara agar kita disuruhNya untuk selalu berperasangka baik terhadap segala sesuatu (husnudzdzon). Karena sejatinya manusia tidak akan pernah mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Dengan mengolah simbol-simbol yang berhasil kita tangkap, diolah dalam pikiran yang tertata dengan baik, maka akan melahirkan perasaan yang baik yang akan terpancarkan dalam perilaku yang baik pula. Disinilah pentingnya menata pikiran kita dalam menerima setiap simbol-simbol yang masuk melalui indra kita.
Dalam antroplogis dan sosiologis cara kita menata pikiran kita juga akan mempengaruhi bagaimana masyarakat itu akan terbangun. Seorang antopolog Belanda Freek Colombijn dan sahabatnya sejarawan J.Th. Linblad menulis dalam pengantar “Roots of Violence in Indonesia, Contemporary Violence in Historical Perspective” mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara kekerasan “Indonesia is a violent country”. Dari mulai kasus Poso, Ambon, Lampung, Sampit, Papua dan kekerasan-kekerasan lainnya yang memaksakan kehendak suatu golongan kepada golongan lainnya menjadi catatan sendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Keinginan untuk berkuasa (Pilkades, Pilkada, Pileg hingga Pilpres), ingin menguasai sumber daya alam, hingga ingin menguasai ekonomi diekspresikan dengan kekerasan yang sangat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kasus kekerasan dalam hubungan sosial di masyarakat yang multi kultural seperti Indonesia ini, biasanya akan lahir sikap atau pandangan prasangka atau prejudice yang lahir dari penataan olah pikir kita terhadap manusia dan alam sekitarnya. Kelompok kelompok tertentu diberikan label tertentu dengan prasangka-prasangka tertentu. Prasangka-prasangka tersebut biasanya dilatar belakangi oleh sifat-sifat; prasangka historis, diskriminasi, dan adanya perasaan superioritas pada golongan tertentu terhadap golongan lain. Betapa akan beratnya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa ini, apabila dari mulai sekarang kita tidak bisa menata pikiran. Kita harus belajar dari sejarah, dimana prasangka (prejudice) terhadap suku-suku tertentu yang merupakan saudara-saudara kita telah melahirkan perpecahan dan kekerasan.
Dalam menata pikir, maka peran pendidikan sangat sangat penting, selain juga peran keluarga dan masyarakat. Jargon pelajar berkarakter Pancasila hanya akan menjadi sebuah slogan tanpa arti apabila institusi sekolah, keluarga, dan masyarakat kehilangan fungsi sebagai agen untuk mensosialisasikan, menginternalisasikan dan membudayakan nilai-nilai Pancasila yang baik. Fungsi ini tidak boleh diintervensi oleh pihak luar yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan itu sendiri, apalagi hanya untuk kepentingan politik praktis dan menyatakan ada pihak yang superior.
Dalam dunia yang tanpa batas sekarang ini, informasi datang menghampiri kita sehari penuh,masuk ke kamar-kamar kita, hingga ruang-ruang yang sangat pribadi. Tidak semua informasi dapat disaring dengan baik oleh anak kita. Dalam suasana jiwa yang masih labil dan mencari jati diri, maka guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya harus mendukung pencarian identitas ini, bukan hanya memberikan pengetahuan, tetapi lebih dari itu dituntut sebagai orang tua, kakak, teman dan guru.
Dalam pendidikan inilah kita tanamkan bagaimana menata pola pikir yang baik, agar para siswa mempunyai perasaan yang baik dan melahirkan sikap yang baik. Tidak ada yang lebih baik dalam membentuk karakter, kecuali dengan memberikan contoh, dan suri tauladan yang baik dengan penuh cinta kasih. Karena contoh dan suri tauladan yang baik akan memancarkan simbol-simbol yang akan diterima oleh pikiran para siswa, yang kemudian naik ke tahapa berikutnya menjadi perasaan yang baik, dan akan melahirkan tindakan yang baik.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.