Suasana pemukiman padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/9/2021). Dunia membutuhkan paradigma baru pembangunan berkeadilan sosial. | Republika/Thoudy Badai

Opini

Pembangunan Berkeadilan Sosial

Dunia membutuhkan paradigma baru pembangunan berkeadilan sosial dengan ditegakkannya good governance.

DIDIN S DAMANHURI; Guru Besar FEM IPB, Tenaga Ahli Lemhannas

Event 30 September tahun ini, rasanya lebih banyak diskusi tentang komunisme dibanding pada tahun-tahun sebelumnya.

Walau begitu, ada beberapa tokoh yang mempertanyakan urgensinya, mengingat komunisme secara formal runtuh, sejak bubarnya Uni Soviet dan negara-negara Eropa timur akhir 1980-an serta PKI di Indonesia yang dibubarkan pada 1966.

Namun, pemikiran post modern yang kawin dengan gerakan new left, menumbuhkan gerakan antikemapanan terhadap budaya dan agama serta menyebarkan Islamofobia. Jadi, ada semacam neo-komunisme yang di media sosial sekarang populer disebut KGB (Komunime Gaya Baru).

Mantan panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah satu di antara banyak tokoh yang menggaungkan kembali bahaya PKI dan komunisme di Tanah Air. Apalagi, ada peristiwa bersejarah 1948 dan 1965, pengkhianatan PKI terhadap eksistensi NKRI dan Pancasila.

 
Bangsa ini masih harus lebih serius memetakan kembali “trajektori”, bagaimana mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial. 
 
 

Penulis, baru-baru ini diundang sebagai narasumber dua webinar, yakni dari Narasi Institute, “New Cold War US-China dan Reposisi Geopolitik Indonesia: Lesson Learned from Peristiwa G-30-S-PKI 1965”.

Selain itu, dari Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita dengan topik “Kapitalisme, Komunisme, dan Islam’’. Dengan dua webinar tersebut dan sejenisnya, penulis melihat hikmah peringatan pengkhianatan PKI dalam sejarah bangsa.

Bangsa ini masih harus lebih serius memetakan kembali “trajektori”, bagaimana mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial. Ini karena tantangan adanya hegemoni kapitalisme, yang menyebabkan dunia sekarang sangat timpang.

Menurut Oxfam (2019), 2.153 orang super kaya menguasai lebih dari 60 persen pendapatan penduduk dunia. Secara nasional, satu persen orang kaya hampir sama dengan 50 persen  kekayaan nasional.

Selain itu, ancaman KGB yang ingin menghilangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila, plus masih sekitar 30 juta penduduk miskin ekstrem dan 135 juta penduduk hampir miskin, yang bisa menyuburkan neo-komunisme.

Namun, lebih dari itu, sebenarnya di kalangan akademisi perlu dikembangkan studi soal pembangunan berkeadilan sosial. Menurut Prof Klaus Schwab, chairman World Economic Forum, dewasa ini perlu tata ulang menyeluruh pembangunan di dunia.

Sebab, menurut dia, dunia dengan paradigma globalisme telah merusak lingkungan, meminggirkan penduduk miskin, dan tidak adil (unsustainable, uninclusive, dan unfairness atau Triple U).

Padahal, PBB menargetkan sustainable development goals (SDGs) untuk seluruh negara di dunia, meliputi empat elemen, yakni pertumbuhan dan keadilan ekonomi, pembangunan sosial, perlindungan lingkungan, dan pemerintahan yang baik.

 
Sementara hadirnya MNC (multi national corporation) di semua belahan dunia, bukan hanya menyebabkan krisis ekologi, melainkan juga menciptakan ketimpangan sosial ekonomi kian buruk, baik di internal negara-negara maupun antarnegara.
 
 

Dalam frasa lain, dunia membutuhkan paradigma baru pembangunan berkeadilan sosial, dengan ditegakkannya good governance (GG). Secara jargon, kita boleh sebut perlunya ”social justice with GG”.

Pertanyaannya, apakah paradigma keilmuan, terutama ilmu sosial dan ekonomi telah mengandung “SJ with GG”? Hemat penulis, paradigma keilmuan kini belum mempunyai dasar kokoh untuk mengonstruksi pemikiran “SJ with GG”. 

Secara epistemologis, dunia modern sejak renaisans Eropa hingga globalisasi abad ke-20 dan 21, meminjam istilah Van Peursen (1976), telah sampai tahap peradaban fungsional yang menempatkan manusia sebagai pusat dengan kegiatan produksi demi kesejahteraan.

Dengan tahapan epistemologis demikian, manusia makin intensif mengeksploitasi sumber daya alam untuk melayani keinginan konsumsi tanpa batas.

Dalam kelimpahan sumber daya alam pada masa kemakmuran Eropa, kemudian melebar ke Amerika dan kolonisasi dunia ketiga, kemakmuran yang dicapai masih dalam kerangka daya dukung lingkungan yang mencukupi.

Namun, ketika eksploitasi sumber daya alam dengan tingkat teknologi semakin canggih, mulai akhir abad ke-20 dan makin intensif di alam globalisasi, daya dukung alam melewati batasnya sehingga krisis ekologi serta iklim terjadi di mana mana.

Sementara hadirnya MNC (multi national corporation) di semua belahan dunia, bukan hanya menyebabkan krisis ekologi, melainkan juga menciptakan ketimpangan sosial ekonomi kian buruk, baik di internal negara-negara maupun antarnegara.

 
Konsekuensinya, asumsi ilmu pengetahuan yang berkembang dari Eropa kemudian Amerika serta dunia Barat umumnya, berlandaskan sekularisme yang absen terhadap moralitas agama dan spiritualisme.
 
 

Ini bukan hanya karena operasi MNC tak ada kekuatan yang mampu mengontrolnya, bahkan yang lazim, MNC mengontrol negara-negara di dunia. Ini dibuktikan baik di AS, setiap capres tak ada yang tanpa kontrol kalangan pemilik MNC.

Apalagi, di negara lain lewat operasi yang disebut the economic hit man (para perusak ekonomi) seperti dijelaskan mantan agen CIA dalam bukunya yang terkenal Confessions of an Economic Hit Man (2004).

Lebih mendasar lagi, dunia modern yang diawali renaisans Eropa, dilandasi karena kritik kepada gereja, yang dianggap memusuhi ilmu pengetahuan bahkan bersekutu dengan kaum feodal dan tuan tanah, untuk mendominasi masyarakat Eropa.

Renaisans Eropa digerakkan kaum intelektual yang memilih jalan sekularisme akibat ketidakpuasan terhadap gereja, melahirkan revolusi industri yang dimulai dari Inggris dan menjalar ke seluruh Eropa yang memakmurkan secara material.

Pun revolusi Prancis yang menghukum mati kalangan kerajaan di Eropa, yang dianggap bersekutu dengan otoritas gereja dan tuan tanah yang memiskinkan masyarakat. Sejak itu, terjadi egalitarisasi serta melahirkan demokrasi modern berbasis sekularisme.

Dengan kemakmuran ekonomi serta lahirnya demokrasi politik modern di Eropa, mengawali kemajuan ilmu pengetahuan modern pula yang berlandaskan sekularisme, yakni meminggirkan peran agama dan sepenuhnya digerakkan hanya oleh rasionalisme.

 
Dampaknya moralitas ilmu pengetahuan makin berpihak kepada pertumbuhan kapital finansial.
 
 

Konsekuensinya, asumsi ilmu pengetahuan yang berkembang dari Eropa kemudian Amerika serta dunia Barat umumnya, berlandaskan sekularisme yang absen terhadap moralitas agama dan spiritualisme.

Agama dalam dunia modern seperti kata Ludwig Feurbach (1804 -1872), filsuf Jerman, adalah politik untuk memenuhi kebutuhan material. Sedangkan Karl Marx (1818 – 1883) menyatakan, kebenaran hanya dapat dicapai dengan kesadaran material dan produksi lewat perjuangan kelas untuk mencapai masyarakat komunis-sosialis, di mana agama adalah candu bagi masyarakat.

Dampaknya moralitas ilmu pengetahuan makin berpihak kepada pertumbuhan kapital finansial. Sementara, kelompok pemilik modal finansial yang lebih kuat, makin mendominasi struktur masyarakat sehingga terbentuk struktur oligarki, baik ekonomi maupun politik.

Kasusnya kalau peran negaranya kuat, oligarki politik yang mengendalikan oligarki ekonomi seperti di Cina. Namun kalau sebaliknya, oligarki ekonomilah yang mengendalikan politik seperti di AS dewasa ini.

Studi empiris oligarki ini dikenal dengan risetnya Jeffrey A Winters di berbagai negara, termasuk di Indonesia (Oligarchy, 2011).

Secara umum, sejak globalisasi awal 1990 hingga kini, dunia makin rusak ekologinya, terpinggirkan penduduk miskinnya serta makin berketidakadilan sosial. Maka itu, tantangan bagi akademisi membongkar epistemologis keilmuan, yang menimbulkan ketidakadilan sosial makin ekstrem. 

Pada saat yang sama, menjadi tantangan kalangan elite politik di negeri ini. Yakni, mentransformasikan visi keadilan sosial dalam kebijakan dan implementasinya. Dengan demikian, dapat tercapai kemakmuran berkeadilan dan keadilan dalam kemakmuran, seperti dikenal dalam jargon pembangunan selama ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat