Opini
Upah Layak Minimum Guru
Kesejahteraan guru di Indonesia masih berjenjang dan berkasta.
IMAN ZANATUL HAERI, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
Penulis The Death of Expertise, Tom Nichols sangat mengkhawatirkan nasib kepakaran guru di masa depan. Ia menganggap, terjadi penurunan rasa hormat dari masyarakat terhadap guru dan mereka yang dianggap ‘pakar.’
Nichols mencontohkan, pada 2014 seorang guru di AS keluar dari sekolah dan menuliskan pengalamannya di Washington Post: “Sekolah,” kata guru tersebut “hanya memberinya dua pilihan; pertama, siswa tidak diizinkan untuk gagal. Kedua, jika siswa mendapatkan nilai buruk, mesti ada sesuatu yang belum dilakukan guru. (Nichols, 2017:78).”
Otokritik semacam ini tentu baik sebagai evaluasi bagi guru. Namun jika setiap kegagalan anak adalah bukti selalu ada yang salah dengan gurunya, ini keyakinan yang berdasarkan pendekatan client-centered (berpusat pada klien) berbasiskan pelayanan.
Tentu, ini bukan persoalan bagi sekolah swasta. Namun, paradigma serupa pernah diadopsi kurikulum 2013 yang berlaku untuk semua sekolah negeri menjadi ‘berpusat pada murid.’
Dalam dunia pelayanan, nasib kesejahteraan para pelayan tabu dibicarakan.
Dalam konsep Merdeka Belajar kata ‘pusat’ diganti ‘berpihak,’ jadilah konsep ‘berpihak pada murid.’ Keberpihakan pada murid sebenarnya sesuatu yang niscaya, sebab sekolah dan guru bertugas mendidik murid.
Namun, paradigma industri yang menyusup pada kurikulum membuat pengajaran disamakan dengan pelayanan. Akibatnya, pendidikan nasional diarahkan menjadi bisnis pelayanan yang berpusat pada hasrat pengguna jasa.
Dalam dunia pelayanan, nasib kesejahteraan para pelayan tabu dibicarakan.
Tipologi kolonial
Faktanya, kesejahteraan guru di Indonesia masih berjenjang dan berkasta. Bukan berdasarkan kualitas atau meritokrasi, apalagi guru jalur prestasi.
Misalnya, kasta tertinggi adalah guru PNS, disusul guru swasta sekolah elite, kemudian guru ASN PPPK, guru honorer yang kesejahteraannya dihitung oleh kemampuan APBD, dan paling bontot guru honorer ‘murni.’
Jika guru ASN juga guru ASN PPPK digaji negara, guru honorer di sekolah negeri (tetap digaji oleh negara) melalui mekanisme labirin yang cukup panjang.
Faktanya, kesejahteraan guru di Indonesia masih berjenjang dan berkasta. Bukan berdasarkan kualitas atau meritokrasi, apalagi guru jalur prestasi.
Misalnya, guru honorer di sekolah negeri yang SK kepegawaiannya dikeluarkan pemda digaji secara variatif sesuai kemampuan APBD dan komitmen kepala daerah dalam mensejahterakan guru di wilayahnya.
Di Kabupaten Konawe, guru diberi gaji honorer daerah Rp 750 ribu. Sedangkan di Kabupaten Karawang dan Blitar berkisar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Padahal, jika disetarakan dengan UMK, gaji guru di Karawang bisa mencapai gaji buruh setempat, Rp 4,7 juta.
Kondisi demikian membuat kita perlu memikirkan ulang apakah kasta dalam kesejahteraan guru perlu dimaklumi atau dilawan sebagaimana para guru di zaman kolonial yang melawan diskriminasi gaji antara guru pribumi dan guru Eropa.
Nasib lebih buruk dialami guru honorer ‘murni.’ Mereka tidak mendapatkan perhatian layak dari pemerintah pusat, juga tidak mendapatkan status jelas dari pemda. Guru honorer ‘murni’ ini mendapatkan gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kebanyakan dari mereka digaji setiap tiga bulan sekali sesuai pencairan dana BOS dari pemerintah pusat. Di Kabupaten Pakuyumbuh, guru honorer murni SD mendapatkan gaji Rp 400 ribu per bulan dari dana BOS.
Tak jauh berbeda dengan guru SMK di Kabupaten Ende, SMK di Kabupaten Berau, SD di Aceh Timur dan Tasikmalaya. Gaji guru honorer ‘murni’ di beberapa tempat tersebut Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan.
Biasanya, kepala sekolah mengeluhkan, dana BOS habis untuk ATK, pembangunan taman, listrik, dan fasilitas lainnya. Padahal secara efektif, gaji guru mesti prioritas.
Tak jauh berbeda dengan guru SMK di Kabupaten Ende, SMK di Kabupaten Berau, SD di Aceh Timur dan Tasikmalaya. Gaji guru honorer ‘murni’ di beberapa tempat tersebut Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan.
Pemmendikbud Nomor 19 tahun 2020 menyebutkan, 50 persen dana BOS bisa digunakan untuk gaji guru. Meski tahun ini Permendikbud Nomor 6 tahun 2021 merevisi dana BOS hanya bagi sekolah dengan minimal 60 siswa, tapi sedang dikaji ulang.
Artinya, penggunaan separuh dana BOS bagi gaji guru mestinya masih berlaku. Namun sejak 2020, keadaan tidak berubah. Sepanjang 2020 masih terdapat guru honorer ‘murni’ yang tidak digaji berbulan-bulan.
Upah layak guru
Karena itu, seleksi PPPK guru dijanjikan sebagai mekanisme sapu jagat untuk membuat guru honorer mendapatkan upah layak. Nyatanya, seleksi ini masih menimbulkan persoalan. Misal janji satu juta guru Nadiem Makarim menyusut menjadi setengahnya.
Kurangnya kesejahteraan membuat guru mencari pekerjaan tambahan sehingga tak punya waktu luang mempersiapkan pembelajaran efektif. Upah layak minimum guru adalah titik berangkat, di mana merdeka belajar bisa dimulai.
Bahkan menjadi lebih sedikit lagi setelah BKN ikut mengurangi kuota PPPK guru.
Padahal, jika seleksi PPPK guru untuk memenuhi janji pemerintah kepada guru honorer, terdapat dua pilihan. Pertama, afirmasi sesuai lama mengabdi dan atau kedua, menurunkan angka passing grade bagi guru honorer yang mengajar di sekolah negeri.
Jalan lain yang bisa menuntaskan persoalan kasta kesejahteraan guru adalah dibuat peraturan perundang-undangan soal upah layak minimum guru. Sehingga, di mana pun guru mengajar, mereka tidak lagi berteriak soal kesejahteraan.
Kurangnya kesejahteraan membuat guru mencari pekerjaan tambahan sehingga tak punya waktu luang mempersiapkan pembelajaran efektif. Upah layak minimum guru adalah titik berangkat, di mana merdeka belajar bisa dimulai.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.