Resonansi
Mengapa Islam Politik Kurang Diminati di Arab?
Harapan rakyat sangat besar, tetapi partai Islam yang memerintah gagal memenuhi kebutuhan mereka.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Sekian tahun lalu, saat berkunjung ke Turki, saya katakan kepada Nur Mahmudi Ismail — waktu itu wali kota Depok —, partai-partai Islam kalau mau berhasil semestinya banyak belajar dari Recep Tayyip Erdogan, kini presiden Turki, waktu itu perdana menteri (PM).
Erdogan mengawali karier politiknya sebagai wali kota Istanbul. Kota yang pernah menjadi ibu kota Kekhalifahan Utsmaniyah itu ia benahi menjadi modern, tanpa meninggalkan ciri khas keislamannya.
Sebuah area pemakaman di perbukitan kumuh, ia sulap menjadi objek wisata rohani keren, lengkap dengan kereta gantung (gondola) dan bunga warna-warni. Kejahatan ia berantas. Angka pengangguran ia kurangi dengan menciptakan lapangan kerja.
Hasilnya, partai yang ia bersama teman-temannya dirikan, Partai Keadilan dan Pembangunan alias AKP, pada 2001, menang pemilu setahun kemudian. Kemenangan yang mengantarkan Erdogan menjadi PM hingga tiga periode selama 12 tahun.
Di bawah kendali Erdogan (AKP), Turki maju pesat. Pendapatan per kapita rakyat Turki sebelum AKP berkuasa di kisaran 3 ribu dolar AS per tahun. Dalam masa 12 tahun pemerintahan Erdogan, pendapatan per kapita lebih dari 14 ribu dolar per tahun.
Perlu dicatat, meskipun AKP berhaluan Islam, Erdogan sangat jarang bicara mengenai Islam.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas enam persen per tahun selama 12 tahun Turki di bawah kendali Erdogan. Padahal, pada waktu bersamaan, pertumbuhan ekonomi negara Eropa rata-rata sekitar satu persen.
Dengan prestasi itu, tak aneh AKP memenangkan pemilu sejak 2002. Termasuk ketika Erdogan, yang tidak boleh lagi menjadi PM setelah tiga periode, menang pemilihan presiden dalam pemilu langsung pada 2014.
Juga saat referendum amendemen konstitusi yang diprakarsai Erdogan/AKP disetujui rakyat Turki pada 2017. Lewat amendemen ini, jabatan PM dihilangkan dan sistem pemerintahan Republik Turki berubah menjadi presidensial.
Perlu dicatat, meskipun AKP berhaluan Islam, Erdogan sangat jarang bicara mengenai Islam. Undang-undang yang melarang jilbab masuk ke institusi negara pun baru diubah setelah 10 tahun AKP berkuasa. Alasan yang digunakan juga bukan agama, melainkan pelanggaran HAM.
Begitu juga, minuman keras yang kini diatur ketat, dalihnya bukan halal-haram, melainkan akan merusak generasi muda.
Para pengamat Timur Tengah mengelompokkan AKP sebagai Islam politik. Yakni, gerakan yang menjadikan Islam sebagai referensi pemikiran/ideologi untuk memperoleh kekuasaan, melaksanakan, serta melestarikannya.
Ini berbeda dengan Islam dakwah yang menggelorakan iman kepada Allah SWT dan menyerukan akhlak mulia seperti dicontohkan Rasulullah SAW.
Selain di Turki, di sejumlah negara Arab ada partai yang juga dikelompokkan sebagai Islam politik. Ada Ikhwanul Muslim (IM) di Mesir, an-Nahdla di Tunisia, serta Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko.
Selain di Turki, di sejumlah negara Arab ada partai yang juga dikelompokkan sebagai Islam politik.
Partai-partai tersebut pernah menang pemilu dan memperoleh kekuasaan pasca-Arab Spring. Yang terakhir ini merupakan istilah yang disematkan pada peristiwa perlawanan rakyat menggulingkan rezim penguasa diktator-otoriter, 10 tahun lalu.
Di Mesir, IM pernah memenangkan pemilihan presiden. Namun, Muhammad Mursi, presiden dari IM, hanya berkuasa setahun. Dalam setahun itu, muncul demonstrasi besar-besaran yang pro ataupun kontra Presiden Mursi.
Buntutnya, militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah Sisi mengambil alih kekuasaan dari Mursi. Lalu, IM dianggap kelompok teroris.
Di Tunisia, Partai an-Nahdla pimpinan Rashid Ghannouchi hampir selalu memenangkan pemilu parlemen 10 tahun terakhir. Sayangnya, pemerintahan yang didukung an-Nahdla tak mampu mengatasi masalah pokok warga Tunisia: kemiskinan dan pengangguran.
Di Maroko, dalam 10 tahun terakhir Partai Keadilan dan Pembangunan juga selalu menang pemilu. Kemenangan yang mengantarkan partai ini membentuk pemerintahan, tetapi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga.
Harapan rakyat sangat besar, tetapi partai Islam yang memerintah gagal memenuhi kebutuhan mereka.
Mengapa Islam politik di Arab gagal berjaya? Menurut Muhammad al Shanqiri, guru besar bidang internasional di Universitas Qatar, dalam kasus di Tunisia dan Maroko, harapan rakyat sangat besar, tetapi partai Islam yang memerintah gagal memenuhi kebutuhan mereka.
Hal serupa disampaikan Hassan Orid, profesor ilmu politik dari Qatar. Menurut dia, selain ada persekongkolan politik buat menjatuhkan Islam politik, partai Islam di Tunisia dan Maroko gagal memenuhi kebutuhan rakyat lalu mereka menghukum partai-partai itu.
Pengamat politik dan profesor studi Islam di Universitas Lebanon, Ridwan Elsayed, mengemukakan, kekalahan Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko hukuman dari para pemilih karena partai Islam gagal mengurus pemerintahan.
Sementara itu, mengenai kegagalan IM di Mesir, pengamat politik Basyir Abdul Fatah menyatakan, kesalahan IM karena ingin memonopoli kekuasaan. Mereka tidak melibatkan kekuatan revolusioner lain, yang ikut menggulingkan rezim Husni Mubarak.
Jejak dan kemenangan AKP di Turki semestinya menjadi contoh partai Islam. Erdogan membuktikan kesuksesannya sebagai wali kota, menjadi PM serta presiden hingga kini. Di tingkat partai, AKP menunjukkan janji (kampanye) menjadi bukti.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.