Oase
Davidson Nainggolan Mantap Berislam Usai Diskusi
Mualaf ini tertarik menjadi Muslim sejak dirinya masih anak-anak.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
Adam Ahmad Daud Abdurrahman memiliki pengalaman yang cukup panjang sebelum mantap memeluk Islam. Lelaki yang lahir dengan nama Davidson Nainggolan itu telah mengenal agama tauhid sejak dirinya berusia anak-anak. Bahkan, saat berumur 10 tahun, pria asal Jakarta itu sudah berniat menjadi Muslim.
Menurutnya, intensinya saat itu muncul setelah melihat teman-temannya yang Muslim rajin beribadah. Setiap azan maghrib berkumandang, misalnya, mereka langsung meninggalkan permainan dan bergegas ke masjid. Adam mengenang, momen itu sangat menyentuh hatinya.
“Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang kebanyakan Muslim. Hampir semua teman saya itu Muslim,” ujar dia kepada Republika beberapa waktu lalu.
Karena tertarik dengan kebiasaan kawan-kawannya itu, ia pun menirunya. Sesekali, kenang Adam, dirinya bahkan ikut shalat berjamaah atau mendengarkan pengajian di masjid. Beberapa temannya kemudian mengajaknya untuk berislam.
Untuk menjadi Muslim, ternyata syaratnya cukup mudah. Seseorang hanya perlu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerti artinya. Maka Adam kecil pun melafalkan pernyataan ikrar tersebut. Waktu itu, yang menjadi saksinya adalah seorang saudara jauh.
Meskipun begitu cepat, Adam saat itu sudah menyadari konsekuensinya menjadi seorang Muslim. Ia paham bahwa kalau sudah berislam, dirinya wajib melaksanakan ibadah-ibadah, semisal shalat atau puasa Ramadhan. Dengan sekuat daya, ia melakukannya.
Akan tetapi, Adam masih menyimpan rasa waswas. Ia takut kedua orang tuanya mengetahui kabar keislamannya. Karena itu, setiap akhir pekan dirinya masih mengikuti ritual agama ayah dan ibunya. Adapun sepanjang Senin hingga Sabtu, bocah lelaki ini berusaha tidak meninggalkan shalat lima waktu atau mengaji bersama teman-temannya.
Sepanjang Senin hingga Sabtu, bocah lelaki ini berusaha tidak meninggalkan shalat lima waktu atau mengaji bersama teman-temannya.
Sebagai seorang mualaf cilik, Adam saat itu tentunya memerlukan bimbingan lebih lanjut. Ia ingat, waktu itu ada seorang guru agama di masjid dekat rumahnya. Namanya, Ustaz Suripto. Beberapa kali, Adam kecil bersama beberapa kawannya sempat mengikuti kajian yang digelar sang ustaz. Namun, dai itu kemudian pindah ke luar kota.
Setelah itu, Adam sempat merasa kehilangan arah. Terlebih lagi, keluarganya sudah mengetahui bahwa kini ia telah berislam. Ayah dan ibunya marah bukan kepalang, sampai-sampai dirinya sempat akan diusir.
Bagaimanapun, ia pantang kembali ke keyakinan lama. Semasa remaja, Adam masih menjadi Muslim kendati ibadahnya sehari-hari banyak bolong. Lama kelamaan, ia merasa, iman dalam hatinya melemah.
Usia Adam kemudian genap 20 tahun. Seperti yang dikatakan orang-orang, inilah momen pencarian jati diri. Adam mulai mempertanyakan komitmennya sendiri pada Islam. Ia juga tertarik pada konsep yang menyamaratakan semua agama. “Kalau begitu, untuk apa menjadi Muslim?” tanyanya saat itu.
Adam mulai mempertanyakan komitmennya sendiri pada Islam. Ia juga tertarik pada konsep yang menyamaratakan semua agama.
Puncaknya, Adam meragukan keberadaan Tuhan karena Dia tidak terlihat. Jika ibadah sekadar didirikan untuk menyembah Tuhan, menurutnya, itu sama saja seperti agama-agama lain. Persepsinya ketika itu, “Untuk apa masih memeluk Islam jika ini sama dengan agama-agama lainnya?”
Meskipun tebersit keraguan, Adam toh enggan meninggalkan Islam. Dia tetap saja melaksanakan shalat lima waktu atau berpuasa. Akan tetapi, ketika itu dirinya dilanda dahaga akan jawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan.
Melalui takdir-Nya, Adam berjumpa lagi dengan sahabat semasa kecilnya. Teman dekatnya itu lalu mengajaknya bertemu dengan seorang mubaligh, Ustaz Eko. Dai ini lebih suka disapa dengan sebutan “mas”, alih-alih “ustaz".
“Dulu semasa kecil, saya diajarkan cukup ketat. Misalnya, dilarang mendengar musik, bercelana haruslah di atas mata kaki, dan lain-lain. Jadi ketika melihat sosok Mas Eko, saya merasa, dia memiliki perspektif yang berbeda dengan ustaz-ustaz sebelumnya yang pernah saya temui,” tutur Adam.
Pada suatu hari, Adam meminta kesediaan mubaligh itu untuk berdiskusi. Mas Eko bersedia menerimanya. Pertama-tama, mualaf ini ditanya perihal kepercayaan yang dianutnya sekarang.
Adam tentu menjawab bahwa dirinya masih Muslim. Selanjutnya, Mas Eko bertanya tentang hal yang sangat fundamental: siapa itu Allah?
Adam hanya menjawab sekenanya, berdasarkan apa-apa yang diketahuinya sejauh ini. Ia mengatakan, bahwa Allah adalah Tuhan dibuktikan dengan Alquran.
Mas Eko rupanya tidak puas dengan jawaban ringkas Adam. “Saya perlu bukti untuk membuktikan bahwa Alquran benar dan bahwa kamu yakin, Alquran membuktikan keberadaan Allah,” ucap Adam menirukan perkataan ustaz tersebut.
Adam hanya bisa tertegun. Ia merasa, pertanyaan Mas Eko itu hanyalah pancingan agar dirinya mengucapkan pertanyaan yang selama ini menjadi beban di hatinya. Sepertinya, dia akan mendapat jawaban itu dari orang yang baru dikenalnya ini.
Tersadar
Mas Eko kemudian menjelaskan, mengenal Tuhan haruslah dengan akal. Maka dari itu, ketika beragama, seseorang tidak akan mudah goyah. Sebab, dirinya telah yakin tentang kebenaran agamanya.
Manusia memiliki akal pikiran. Ustaz itu lalu mencontohkan kisah Nabi Ibrahim AS saat mencari Tuhan. Riwayat tersebut ada di dalam Alquran. Yakni, ketika ayahanda Nabi Ismail dan Nabi Ishaq itu mula-mula mengira bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan.
Pada akhirnya, rasul Ulul Azmi itu menyadari, semua benda langit itu selalu timbul-tenggelam. Zat Yang menciptakan dan menggerakkan mereka, itulah satu-satunya yang pantas disembah.
“Manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir, tetapi akal toh terbatas. Karena itu, manusia memerlukan wahyu untuk menuntunnya kepada kebenaran,” ujar Adam meniru nasihat Mas Eko.
Wahyu itu adalah Alquran. Mas Eko mengatakan, Allah SWT menyatakan Diri-Nya adalah Tuhan semesta alam melalui firman-Nya di dalam Alquran. Inilah satu-satunya kitab suci yang dengan tegas menyebutkan Dia sebagai Tuhan. Penyebutan ini sesuai dengan salah satu sifat-Nya, Al-Mutakabbir, ‘Dia Yang Memiliki segala keagungan'.
“Sedangkan di agama lain, dalam kitab mereka masing-masing, tidak ada yang berani mengakui bahwa zat tertentu adalah Tuhan semesta alam,” ucapnya.
Adapun tentang bukti kebenaran Alquran, itu dijelaskan dalam kitab suci itu sendiri. Misalnya, surah al-Israa ayat 88. Allah SWT menantang semua makhluk-Nya untuk membuat yang serupa dengan Alquran.
“Katakanlah, 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain'.”
Setelah diskusi itu, Adam bertobat nasuha kepada Allah.
Setelah diskusi itu, Adam bertobat nasuha kepada Allah. Ia kembali merasa, imannya kuat dan teguh. Komitmennya terhadap Islam kian dalam. Tidak lagi terpikir untuk kembali ke agama lama atau menjadi ateis.
Saat itu, kedua orang tuanya sudah menganggap dirinya telah dewasa. Mereka tak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan. Pilihan Adam untuk memeluk Islam tak lagi diganggu-gugat.
Adam tetap tinggal bersama orang tuanya. Setiap perayaan hari besar keagamaan, ia selalu datang untuk menghormati mereka meski tidak mengucapkan selamat.
Meski demikian, tak pernah hilang harapan akan datangnya hidayah. Di tiap selesai shalat, dirinya rutin berdoa, semoga Allah memberikan cahaya petunjuk kepada ayah dan ibunya. Ia juga selalu berupaya untuk menjaga akhlak yang baik di hadapan mereka.
“Semoga dengan melihat akhlak ini, itu dapat menjadi jalan bagi orang tua saya memperoleh hidayah Allah SWT,” ujarnya.
Mengingat akhlak, Adam pernah merasa berdosa. Ketika belum benar-benar mantap bertauhid, dirinya sering merasa paling benar sendiri. Saat masa remaja, ia pernah mengikuti sebuah kelompok yang literal dalam memahami agama. Orang atau pihak lain yang tidak mengikuti aliran tersebut dianggap salah semua.
Maka dari itu, ia kini sangat bersyukur ke hadirat Ilahi. Melalui dakwah yang dilakukan Mas Eko, ia tersadar bahwa perjalanan seorang Muslim amatlah panjang. Tidak layak seorang Muslim menghakimi Muslim lainnya. Siapa tahu, orang yang dihakimi itu justru kelak diganjar husnul khatimah oleh Allah Ta’ala?
Kini, Adam semakin berfokus untuk mencurahkan waktunya di jalan Islam. Salah satunya dengan aktif di komunitas kajian, “Ngaji Cerdas". Di sana, anak-anak muda Muslim berkumpul untuk saling mendukung dalam komitmen terhadap Islam. Banyak di antaranya yang adalah mualaf.
Dalam selang sepekan, komunitas ini mengundang seorang ustaz atau dai untuk mengisi tausiyah, termasuk yang digelar secara daring.
Ia selalu ingat akan sebuah hadis Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap Muslim". Karena itu, semangat belajar jangan sampai luruh dan padam. Dari buaian hingga liang lahat, itulah kesempatan menjadi pembelajar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.