Ustaz Derry Sulaiman memandang, kesenian musik merupakan salah satu sarana berdakwah. | DOK IST

Hiwar

Ustaz Derry Sulaiman: Musik Sebagai Wasilah

Mudah-mudahan, karya dan lagu yang kita buat bisa menjadi hidayah.

Wajahnya acap kali dijumpai di layar kaca. Ustaz Derry Sulaiman merupakan seorang pendakwah yang menjadikan seni sebagai medium syiar Islam. Lelaki berdarah Minangkabau ini memilih musik sebagai perantara dakwahnya. Di samping itu, dirinya juga mahir melukis kaligrafi.

Menurut figur kelahiran Solok, Sumatra Barat, ini mengatakan, dakwah merupakan tanggung jawab setiap Muslim. Dan, musik bisa menjadi salah satu media syiar Islam. “Musik itu hanya sebagai wasilah atau penyambung dakwah saya,” ujarnya.

Para ulama memang berbeda pandangan tentang musik. Ada yang mengharamkan. Namun, tak sedikit pula yang akan menghalalkan. Ustaz Derry sendiri menghormati perbedaan pandangan di kalangan fukaha mengenai perkara ini. Hanya saja, ia memilih untuk mengikuti pandangan ulama yang membolehkan musik dengan batasan-batasan tertentu.

“Mereka yang mengharamkan musik bukan karena mereka keras, tetapi karena berhati-hati,” kata Ustaz Derry.

Lantas, bagaimana kiat-kiat berdakwah dengan menyenandungkan syair? Apakah terkait pula dengan pemahaman sufistik? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama Ustaz Derry Sulaiman baru-baru ini.

Apa makna dakwah menurut Anda?

Dakwah, menurut saya, menjadi tanggung jawab setiap Muslim. Dakwah itu responsibility setingkat di atas kewajiban. Dakwah itu mengajak, bukan mengajar. Dakwah bukanlah sebuah profesi. Namun, apa pun profesi kita, wajiblah berdakwah.

Apa saja medium dakwah yang bisa menyentuh hati?

Media dakwah bisa apa saja. Kalau saya, sebagai seorang seniman, tentu berdakwahnya lewat media seni; dengan lagu-lagu yang saya buat. Begitu pula, dengan lukisan kaligrafi yang saya lukis. Atau, dengan puisi-puisi yang saya senandungkan.

Jadi sangat banyak media dakwah yang bisa digunakan saat ini. Ambil contoh, media sosial, semisal Facebook, Twitter, ataupun YouTube. Semua itu bisa kita gunakan untuk mengajak manusia kepada Allah.

Sasaran dakwah di media sosial itu lebih menyasar anak-anak muda?

Kita harus menghormati zaman. Walaupun pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada media-media yang ada sekarang, kita harus menggunakan media itu. Fungsinya untuk mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Apalagi, sekarang begitu banyak umat yang tidak mau datang kepada ulama atau hadiri majelis ilmu untuk mendengarkan nasihat. Mereka sibuk bermedia sosial. Maka, mesti ada orang yang menyampaikan kebenaran di dunia media sosial ini.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by DAY WE TRY NIGHT WE CRY (derrysulaiman)

Mengapa Anda berdakwah dengan seni musik?

Sebetulnya, bukan dakwah lewat musik. Musik itu hobi-hobi saja. Dakwah saya tetap mengikuti cara Rasulullah SAW. Datang dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, dari lorong ke lorong; naik gunung, turun gunung; menyisiri pantai. Atau, dakwah dari masjid ke masjid. Dakwah saya seperti itu.

Jadi, saya tidak menggunakan musik saat berdakwah seperti itu. Namun, alat musik ini saya gunakan ketika mendekati orang yang, katakanlah, jauh dari Allah. Misalnya, saat akan mendekati orang di panggung-panggung, tempat-tempat hiburan. Mereka saya datangi. Jadi, musik hanya sebagai wasilah atau penyambung dakwah saya.

Metodenya seperti apa?

Misalnya, ketika saya datang ke acara hiburan dan diundang untuk konser. Itu satu lagu yang saya bawakan paling (durasinya) cuma tiga menit. Tapi, antara jeda lagu ke lagu, tausiyahnya itu bisa 10 menit. Jadi, (lagu) ini hanya sebagai sarana saja, jembatan menuju dakwah. Karena, memang masih banyak orang yang tidak berminat dengan agama.

Maka, kita perlu mengajak dan menarik simpati mereka. Ibaratnya, menangkap merpati itu mesti dengan merpati juga, tidak bisa dengan kucing. Ketika saya berdakwah kepada anak-anak metal, misalnya, tidak bisa menggunakan musik dangdut. Begitu juga saat saya menyampaikan pesan kepada anak-anak raggae, tidak bisa menggunakan musik metal. Sebab, mereka tidak akan mendengarkan kalau begitu.

Maka, sampaikanlah dakwah itu dengan bahasa kaumnya. Namun, ingat, musik ini bukan dakwah saya. Musik hanya sebagai sarana saya untuk menyampaikan dakwah. Dalam berdakwah musik itu tidak penting banget bagi saya. Ada musik, oke. Tidak ada pun juga oke. Yang tidak boleh itu adalah meninggalkan dakwah.

Beberapa ulama berpandangan bahwa musik adalah haram. Bagaimana Anda memandang hal ini?

Ulama yang mengharamkan musik itu juga luar biasa. Mereka mengharamkan musik bukan karena mereka keras, tetapi hati-hati. Begitu juga ulama yang membolehkan musik. Bukan karena mereka lembek, tetapi karena melihat adanya manfaat atau maslahat dari musik ini. Saya kira, selama (musik) itu dalam batasan kewajaran, yaitu musik yang bisa didengarkan nasihat-nasihatnya.

Maka, kata Syekh Yusuf al-Qardhawi, musik ini seperti orang yang berbicara. Kalau baik, baiklah. Kalau jelek kata-katanya, jeleklah musik itu. Kalau saya, memilih pendapat ulama yang membolehkan. Sebab, memang dunia saya di sini. Profesi saya memang di sini. Jadi, saya lebih nyaman dengan dakwah yang seperti ini.

 
Musik ini seperti orang yang berbicara. Kalau baik, baiklah. Kalau jelek kata-katanya, jeleklah musik itu. 
 
 

Tapi, sekalig lagi, musik ini hanya sekadar hobi saja atau hanya sekadar main-main saja, bukan perkara yang penting seperti orang yang terlalu menseriuskan tentang musik ini. Bagi saya, ada musik tidak apa-apa, tidak ada musik juga tidak apa-apa.

Maka, saling menghormati saja. Bagi yang mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan musik, jangan mendengarkan musik. Harus tetap komitmen dan istikamah. Sementara, bagi yang mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, juga begitu. Dia harus pilih-pilih lagunya, termasuk teks syair ataupun penyanyi musiknya.

Sejarah mencatat, ada ulama-ulama terdahulu yang menggunakan syair dan nada dalam menyebarkan Islam. Sebut saja, para Wali Songo di Nusantara. Bedanya syair-syair mubaligh dengan musisi biasa?

Kita tidak bisa menghapus sejarah bahwa tersebarnya Islam di Nusantara itu melalui pendekatan sosial-budaya, termasuk panggung-panggung hiburan. Misalnya, para wali itu. Mereka sengaja belajar gamelan atau musik untuk bisa menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat Jawa kala itu. Hasilnya? Mayoritas orang Jawa masuk Islam. Ini sangat luar biasa.

Syair-syairnya sebetulnya sama saja. Cuma penafsirannya yang berbeda-beda. Mungkin, syair-syair cinta yang dibikin musisi biasa, bagi orang-orang tertentu, bisa menjadi syair cinta kepada Allah. Maka, tergantung niatnya.

Jadi suatu karya bisa dimaknai secara beragam?

Misalnya, banyak lagu cinta yang ditulis oleh musisi biasa. Niatnya itu (untuk) perempuan. Namun, bagi orang yang sudah merindukan Allah, syair itu dialihkan kepada kerinduan dan kecintaan kepada Allah. Contohnya, lagu “Suci dalam Debu.” Jika didengarkan, syair lagu itu ternyata bukan cinta untuk manusia, tetapi untuk Allah.

Suatu hari nanti. Pastikan bercahaya. Pintu akan terbuka. Kita langkah bersama. Di situ kita lihat. Bersinarlah hakikat. Debu jadi permata. Hina jadi mulia. Bukan khayalan yang aku berikan. Tapi keyakinan yang nyata.” Nah, lagu cinta ini cocok buat cinta seorang hamba kepada Allah.

Bagaimana musik dalam tradisi tasawuf menurut Anda?

Dalam Ihya Ulum ad-Din, Imam Ghazali mengatakan, musik dapat membantu seseorang dalam meningkatkan perasaan religiusitasnya. Dengan musik, bisa mengalami pengalaman mistik.

Jadi, Imam Ghazali berpendapat, musik itu universal sekali. Tetesan air hujan pun bisa dianggap sebagai musik. Begitu pula air sungai yang mengalir atau kicau burung-burung.

Secara logis dan analogis, menurut Imam Ghazali dalam Ihya’, musik adalah bunyian yang terstruktur (mawzun) yang timbul dari benda mati (terompet, tabuhan, atau gitar) atau makhluk hidup (suara manusia atau binatang).

Musik, kata al-Ghazali, hanya bisa dinikmati dengan indera pendengaran. Jika musik itu enak didengar, indera tersebut pun akan bilang kepada pikiran bahwa musik tersebut nyaman. Begitu juga jika tidak enak didengar. Pikiran pun akan memberi sugesti bahwa musik tersebut tak nyaman.

Seperti apa Imam Ghazali memandang musik?

Mendengarkan musik adalah kegiatan yang menyangkut salah satu dari kelima indera. Karena itu, menurut Ghazali, jika musik—yang diartikan sebagai bunyian yang enak didengar—adalah haram, maka seharusnya bau wangi, makanan enak, atau warna yang sedap dipandang juga diharamkan.

Hal ini tentu tak mungkin. Maka, sebagaimana parfum dan pemandangan indah, musik tidaklah haram. Begitu kata Ghazali. Musik hanyalah cernaan indera, seperti halnya aroma wangi bagi hidung atau warna indah bagi mata.

Selain itu, Ghazali juga membangun argumen bahwa jika ada ular dan bayi mendengarkan musik, dua makhluk ini akan menari. Ini berarti, musik menjadi semacam divine nature di dalam diri manusia. Jika mendengar musik haram, tentu suara burung pun akan haram pula.

Apa harapan Anda untuk para musisi Muslim di Indonesia?

Harapan saya, mereka supaya tetap terus berkarya. Umur manusia memang singkat, tetapi karya akan “abadi” sampai hari kiamat. Mudah-mudahan, karya dan lagu yang kita buat bisa menjadi hidayah. Lalu, orang yang mendengarkan lagu itu akan semakin cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta pula kepada masjid. Menjadi ingat mati, semangat shalat dan sebagainya.

Jadi, buatlah yang terbaik dan bisa bermanfaat untuk akhirat kita. Namun, ingatlah agar jangan berlebih-lebihan. Sebab, musik akan haram ketika, misal, azan berkumandang. Musik akan haram kalau syairnya mengajak orang kepada kemaksiatan. Jadi, setiap waktu ada perintahnya. Setiap perintah, ada waktunya. Ini yang dimaksud ungkapan “sa'ah wa sa'ah'.

Pesan saya begitu kira-kira. Jadi, janganlah main musik sepanjang hari, karena ada waktunya kita berdakwah, beribadah, ikuti taklim ilmu, dan menemukan waktunya kita mencari nafkah.

photo
Ustaz Derry Sulaiman. - (DOK REP Fakhri Hermansyah)

Musik dan Kiat Dakwah

 

Sebelum menekuni dunia dakwah, Ustaz Derry Sulaiman dikenal sebagai seorang musisi. Dirinya pernah menjadi gitaris band metal Betrayer, yang kini para personelnya sudah hijrah. Sejak 2000, ia pun fokus mempelajari ilmu-ilmu agama. Turut serta pula dalam mendakwahkan Islam melalui berbagai forum.

Pada 2011, mantan musisi itu mendapatkan saran dari sejumlah ulama. Ia dianjurkan untuk menggunakan lagi keahliannya dalam bermusik. Kali ini tujuannya supaya bisa menyampaikan nilai-nilai Islam.

Ustaz Derry Sulaiman pun membuat sebuah lagu religi. Judulnya, “Dunia Semetara Akhirat Selamanya.” Bahkan, ia juga mengeluarkan beberapa album dan menggubah puluhan lagu religius. Mendengarkan lagu-lagu religi itu, tidak sedikit orang yang tersentuh hatinya.

“Alhamdulillah, banyak sih orang yang senang dengan musik-musik religi, musik slow. Mereka tersentuh dan bahkan banyak yang masuk Islam karena lagu ini,” tutur Ustaz Derry kepada Republika beberapa waktu lalu.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by DAY WE TRY NIGHT WE CRY (derrysulaiman)

Semua terasa baik-baik saja sampai kemudian sasaran dakwah diperluas. Ternyata, lanjut Ustaz Derry, lagu-lagu religi yang ada tidak berhasil menyentuh hati anak-anak metal. Karena, para penggemar genre musik ini dikenal tidak suka mendengarkan lagu bernada lambat. Untuk mendekati anak metal, sang mubaligh pun membentuk band baru bernama No More Betrayer dan merilis lagu berjudul “Manusia Hina,” terbit pada 2019.

Menurutnya, dalam lirik lagu ini terdapat nilai-nilai tasawuf. “Liriknya dari awal sampai akhir itu tasawuf tingkat tinggi, itu betul-betul intisari ajaran Islam, tawadhu, instrospeksi diri,” katanya.

Menurut dia, sebenarnya beberapa lagu Betrayer sendiri sejak dulu sudah ada yang mengingatkan akan kematian. Sebut saja, karya yang berjudul “Bendera Kuning.”  Namun, untuk lagu dari band No More Betrayer sekarang ini lebih mengingatkan tentang bekal menuju kematian.

Selama aktif mendakwahkan Islam, dia pun mendapatkan panggilan “Ustaz” dari jamaah pengajiannya. Namun, Ustaz Derry justru mengatakan kepada jamaahnya. Ia mengaku bukanlah seorang ustaz, tapi hanya musisi yang ingin mengajak orang agar lebih dekat kepada Allah.

“Saya bilang saya bukan ustaz, saya musisi dan sekarang saya sudah mulai belajar mengajak orang kepada Allah,” jelasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat