Ekonomi
Wapres Dorong Penyediaan Wisata Ramah Muslim
Wisata ramah Muslim akan meningkatkan pendapatan negara.
JAKARTA – Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin meminta agar literasi masyarakat tentang konsep wisata halal ditingkatkan. Wapres menilai, upaya ini perlu dilakukan untuk mengembangkan wisata halal di Indonesia.
“Dalam implementasinya, pengembangan wisata halal masih terkendala oleh masih rendahnya literasi masyarakat,” ujar Ma’ruf saat membuka acara Hybrid Event Leaders Summit Asia-Global Tourism Forum (GTF) 2021 di Jakarta, Rabu (15/9).
Ma’ruf mengatakan, konsep wisata halal berarti pemenuhan fasilitas layanan halal yang ramah bagi wisatawan Muslim atau Moslem friendly tourism di destinasi wisata. Fasilitas tersebut, antara lain akomodasi, restoran atau makanan halal, tempat ibadah yang memadai, serta fasilitas layanan halal lainnya. Pemerintah menilai, perlu ada penerapan konsep wisata halal tersebut.
"Upaya ini dimaksudkan untuk mendukung agar Indonesia menjadi pemimpin dalam global halal tourism sekaligus untuk meningkatkan minat wisatawan muslim dunia datang ke Indonesia," ujarnya.
Ma’ruf mengatakan, tren wisata dunia saat ini diwarnai dengan meningkatnya jumlah destinasi wisata halal di berbagai negara bahkan di negara non-mayoritas Muslim. Hal ini didorong oleh meningkatnya jumlah pelancong muslim khususnya dari negara-negara Timur Tengah. Kemudian, kata dia, terdapat perubahan tren pariwisata masyarakat pascapandemi yang mengutamakan faktor kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian (4K).
"Sejalan dengan tren dunia dalam mengembangkan 4K, maka wisata halal pun mengembangkan konsep pemenuhan aspek kebersihan, kenyamanan, dan kesesuaian dengan tuntunan agama," katanya.
Pengembangan pariwisata halal atau wisata ramah muslim di Indonesia masih mendapatkan banyak tantangan. Tantangan itu datang dari pola pemahaman masyarakat hingga ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Pengamat Pariwisata Ronald Rulindo menyampaikan, tantangan utama untuk memahamkan pariwisata halal datang dari tingkat pemahaman masyarakat sendiri. "Jangankan bagi non-Muslim, kita yang sesama Muslim juga masih sering berbeda pendapat soal wisata halal," kata Ronald.
Ronald menegaskan, wisata halal semestinya dipahami sebagai wisata yang memudahkan umat Islam untuk berwisata. Sebagai contoh, mendapat kemudahan dalam mengakses tempat peribadatan ketika berwisata di suatu destinasi.
Lebih jauh, ia menilai, diperlukan adanya sertifikasi yang memastikan suatu produk halal untuk memberikan jaminan. Hal ini sebetulnya amat dibutuhkan bagi wisatawan mancanegara.
"Misalnya, ketika kita di suatu daerah ingin makan makanan halal mudahnya mencari masakan padang. Tapi bagi turis seperti dari Timur Tengah, mereka tidak paham itu," kata dia.
Tantangan selanjutnya, Ronald menyampaikan, terkait infrastruktur untuk mendukung industri pariwisata halal. Ia menilai, saat ini masih terdapat kesenjangan yang tinggi antara infrastruktur wisata halal di kota-kota besar dan daerah.
"Misalnya di pusat perbelanjaan, tempat ibadah saat ini sudah bagus-bagus. Tapi, di daerah belum tentu. Mungkin harus ke masjid, tapi masjid yang ada, toiletnya bermasalah. Ini juga masih jadi pekerjaan rumah," katanya.
Tantangan terakhir, yakni soal pengemasan dan strategi promosi wisata halal itu sendiri. Ronald mencontohkan, turis-turis Timur Tengah yang berwisata ke Malaysia sangat mudah memperoleh informasi seputar pariwisata. Sementara di Indonesia dengan wilayah yang sangat besar, akses informasi masih harus dibenahi sehingga memberikan kenyamanan bagi wisatawan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.