Nasional
Analogi Amendemen UUD 1945 dan Gempa Tektonik
Amandemen diperlukan jika demokrasi tidak berjalan, kesejahteraan sudah tidak terjadi, tidak terasakan oleh publik.
OLEH FEBRIANTO ADI SAPUTRO
Wacana amendemen UUD 1945 yang disebut terbatas pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dikhawatirkan juga akan merembet pada perubahan masa jabatan presiden hingga mekanisme pemilihan presiden pada masa depan. Menurut Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR, Taufik Basari, kekhawatiran amendemen membuka kotak pandora mungkin terjadi.
"Apakah kemudian tidak membuka kotak pandora? Membuka kotak pandora menurut saya mungkin-mungkin saja bisa terjadi dalam suatu proses amendemen kelima dalam amendemen," kata Taufik di dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9).
Taufik menilai dalam melakukan perubahan terhadap satu dua pasal UUD 1945, tidak menutup kemungkinan untuk melihat pasal lain yang terkait. Dirinya mengibaratkan amendemen seperti gempa tektonik.
"Saya membayangkan suatu amendemen itu seperti gempa tektonik. Kalau kita ada gempa tektonik nih di kerak bumi terjadi, maka dia harus ada gempa-gempa susulan untuk sampai normal lagi kerak buminya," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR itu mempertanyakan rencana menghadirkan kembali haluan negara. Padahal hal tersebut sudah pernah dicabut dalam amendemen ketiga.
"Kenapa kita masukkan lagi? Apakah kemarin keputusan MPR yang dulu dalam amendemen ketiga itu keliru? Karena harus ada jawaban dulu. Kenapa dulu kita hapus kenapa mau dimasukan kembali? Apa yg menjadi penghambat ini? Itu satu," ucapnya.
Pertanyaan lain yang muncul yaitu apakah ketika MPR menghapus GBHN di dalam amendemen ketiga itu juga sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara, yang tidak lagi menjadikan presiden sebagai mandataris MPR. Dirinya juga mempertanyakan apakah menghadirkan kembali haluan negara lantaran ingin mengembalikan seperti nuansa yang dulu
"Bagaimana posisi MPR apakah tetap seperti ini sebagai lembaga tinggi negara sesuai perubahan amendemen UUD apakah harus seperti dulu sebagai lembaga tinggi negara?" tanyanya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menilai keberadaan haluan penting, tapi tidak urgen. Dan menurutnya, saat ini haluan negara belum diperlukan.
"Perlu itu ada empat derajat situasi. Pertama perlu itu dalam keadaan normal. Yang kedua perlu itu dilakukan tapi penting atau prioritas dalam bahasa lainnya. (Ketiga) perlu itu bisa jadi ada kemendesakan atau urgensi dan perlu itu bisa dalam keadaan darurat atau emergency. Hemat saya kondisi sekarang ini adalah penting belum urgensi, belum emergency, baru penting," kata Asep dalam diskusi yang sama.
Menurutnya, agak kurang pas menghadirkan kembali haluan negara dengan melakukan amendemen UUD 1945. Amendemen diperlukan jika demokrasi tidak berjalan, kesejahteraan sudah tidak terjadi, tidak terasakan oleh publik.
"Tetapi kalau hanya sekadar menempatkan haluan negara dan menempatkan MPR, hemat saya tidak perlu dengan amendemen karena amendemen itu memerlukan sebuah argumentasi yuridis, filosofis yang sangat kuat sekali," ungkapnya.
Asep mengusulkan agar MPR mengubah TAP MPR yang ada. Dengan demikian, MPR tidak perlu melakukan perubahan terhadap pasal di UUD 1945.
"Jadi jalan keluarnya, maaf saya agak berbeda pandangannya, ya ubah saja TAP-TAP sekarang yang ada," tuturnya.
Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat menegaskan bahwa Badan Pengkajian MPR saat ini tengah fokus melakukan kajian terhadap substansi PPHN. Djarot mengatakan, Badan Pengkajian MPR tidak melakukan kajian terhadap pasal lain selain terkait PPHN.
Djarot menilai, isu amendemen sengaja digoreng. Bahkan, isu tersebut semakin kencang setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan pidatonya di sidang tahunan 16 Agustus 2021 dan Peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2021 lalu.
"Digoreng-goreng sampai gosong, direbus, digoreng, dibolak-balik, ya kan? Ada yang main akrobat begitu, merembet ke mana-mana sampai masa jabatan presiden tiga periode. Sekali lagi kita tidak pernah mengkaji secara mendalam tentang keberadaan pasal-pasal di luar itu (pasal 3 UUD 1945)," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.