Resonansi
Proyek Demokratisasi Amerika Gagal Total di Afghanistan
Kehadiran militer AS selama 20 tahun di Afghanistan dinilai banyak pihak sebagai misi yang gagal total.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Sebuah foto diambil dengan perangkat night vision dari jendela samping pesawat angkut AS, C-17. Dalam gambar yang remang hijau hitam itu, tampak seorang tentara bersenjata di tangan dan berbaju tempur lengkap berjalan menuju tangga pesawat.
Dia Mayor Jenderal Chris Donahue, komandan Divisi Lintas Udara ke-82. Dia tentara AS terakhir yang naik penerbangan terakhir meninggalkan Afghanistan, satu menit sebelum jam menunjukkan tengah malam Senin (30/8).
Gambar yang remang juga pas untuk menggambarkan suasana batin sang mayor jenderal saat menuju pesawat. Foto dirilis Departemen Pertahanan AS beberapa jam setelah AS mengakhiri kehadiran militernya selama 20 tahun di Afghanistan.
Donahoe dan rekan-rekannya tampaknya akan terus dihantui kenangan mengerikan pada hari-hari terakhir yang kacau di Bandara Kabul. Apalagi kehadiran militer AS selama 20 tahun di Afghanistan dinilai banyak pihak sebagai misi yang gagal total.
"Seratus persen kami kalah perang," kata veteran perang AS Jason Lilly. Menurut Presiden AS Joe Biden, penarikan pasukannya dari Afghanistan bertujuan melindungi nyawa tentaranya. Baginya, darah yang tumpah di negeri itu tidak banyak gunanya.
Bahkan bila perang akan berlangsung 20 tahun lagi, hasilnya akan sama. Sebaliknya, Taliban menganggap kepergian pasukan AS dan pasukan asing lainnya sebagai kemenangan rakyat Afghanistan, sekaligus peringatan bagi siapa pun yang ingin menjajah Afghanistan.
Kehadiran militer AS selama 20 tahun di Afghanistan dinilai banyak pihak sebagai misi yang gagal total.
Kekalahan perang AS tampaknya lebih karena pemimpin di Gedung Putih salah membaca yang sebenarnya terjadi di Afghanistan.
Menurut pengamat tentang Timur Tengah di media al Sharq al Awsat, Abdul Rahman al Rasyid, serangan 11 September 2001 lantaran ekstremisme agama dan politik. Ekstremisme yang kemudian melahirkan teroris yang melakukan serangan.
Ekstremis agama tidak ada hubungannya dengan religiositas tapi ini soal politisasi agama. Tujuan invasi, yang kemudian menjadi pendudukan di Afghanistan, untuk menghabisi pelaku dan pendukung serangan atau bahkan setiap kelompok terorisme.
Untuk itu, yang diperlukan, strategi memerangi ideologi ekstremis. Dalam invasi ke Afghanistan, AS menang cepat secara militer. Hanya dalam beberapa pekan, rezim Taliban runtuh, pemimpin Alqaidah melarikan diri ke luar negeri. Namun ideologi mereka tidak mati.
Salah satu tantangan besar AS sebenarnya menghadapi ideologi ekstremis ini. Namun, untuk menghabisi Taliban dan membentuk negara sekutu modern, Presiden George Bush, Barack Obama, dan Donald Trump lebih mengandalkan kekuasaan/senjata dan uang.
Dalam invasi ke Afghanistan, hanya dalam beberapa pekan, rezim Taliban runtuh, pemimpin Alqaidah melarikan diri. Namun ideologi mereka tidak mati.
AS menghabiskan 180 miliar dolar AS untuk membangun militer Afghanistan, keamanan, sekolah, rumah sakit, jalan, pemerintah, parlemen, serta pemilihan lokal dan nasional. Semua menguap begitu saja. Dana dari AS itu justru menciptakan birokrat korup.
Presiden Ghani, bukan produk Afghanistan. Ia lebih banyak menghabiskan umurnya di AS, dari sekolah, kuliah, hingga menjadi ahli ekonomi di Bank Dunia. Bersama Profesor Claire Lockhart, ia menulis buku soal reformasi negara gagal di Timur Tengah.
Setelah invasi AS ke Afghanistan, Ghani dicomot untuk membantu Presiden Afghanistan Hamid Karzai sebagai penasihat utama, lalu menteri keuangan. Setelah Karzai menyelesaikan dua periode kepresidenannya, Ghani menjadi presiden selama dua periode.
Ia melarikan diri ke Uni Emirat Arab, yang memberi keleluasaan kepada Taliban untuk menguasai Kabul. Karier Ghani jelas menggambarkan intervensi AS untuk memaksakan model demokrasi Barat kepada masyarakat Afghanistan.
Buku Ghani sendiri pun hanya mimpi di awang-awang yang tidak bisa ia wujudkan. Jadi, mengutip Abdul Rahman al Rasyid, persoalan ‘proyek’ Gedung Putih di Afghanistan terletak pada ‘identitas dan ide Amerika sentris’. Mereka ingin Afghanistan seperti AS.
Persoalan 300 ribu tentara Afghanistan hanya satu, mereka tidak mempunyai jiwa dan semangat tempur..
Afghanistan mempunyai sejarah dan latar belakang berbeda. ‘Nilai-nilai Afghanstan’ tampak justru lebih bisa dipahami Taliban. Itu sebabnya mereka cepat kembali menguasai negara dengan wilayah sekira tiga kali lipat dari luas Inggris.
Padahal, kekuatan militer Taliban pun tak ada apa-apanya dibandingkan yang dipunyai pemerintahan Presiden Ashraf Ghani. Persoalan 300 ribu tentara Afghanistan hanya satu, mereka tidak mempunyai jiwa dan semangat tempur.
Di lain pihak, kelompok yang memerangi AS dan pasukan asing lainnya, terutama Taliban, menjadikan agama dan kesukuan sebagai ikatan pemersatu. Mereka berhasil memberi cap pasukan asing sebagai penjajah. Dalam kondisi seperti itu, orang yang mati karena perang dianggap syahid, yang imbalannya surga.
Apa yang dilakukan AS di Afghanistan dalam dua dekade mungkin tidak ada yang salah. Yaitu mencoba memperbaiki budaya kerja aparatur negara, meningkatkan pelayanan masyarakat, dan menciptakan sistem politik parlementer yang diharapkan bisa mewakili kepentingan kelompok-kelompok di Afghanistan.
Juga ketika menjadikan Islam moderat untuk melawan ekstremisme dan radikalisme. Yang salah, ketika menjadikan Barat sebagai model atau bahkan kiblat yang tidak sesuai akar budaya masyarakat Afghanistan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.