Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Transisi Energi (ke EBT) yang 'Bersahabat'

Menyikapi kondisi ini, tentunya dibutuhkan kebijakan transisi energi yang 'bersahabat'.

Oleh SUNARSIP

OLEH SUNARSIP

Pada awal periode 2000-an, berita listrik padam akibat kekurangan pasokan listrik dari pembangkit hampir dapat kita temukan setiap hari di media. Kesenjangan (gap) antara permintaan (demand) listrik dengan pasokan (supply) listrik begitu nyata. 

Statistik PLN 2014 menyebutkan, pada 2004 permintaan listrik mencapai 100,1 TWh. Sedangkan, pembangkit hanya mampu memasok 57,6 TWh atau hanya sekitar 57 persen. Besar sekali kesenjangannya. Dan kesenjangan ini masih terjadi hingga 2014.

Menyadari ketimpangan ini, mulai 2005, pemerintah menggelar program percepatan (fast track program atau FTP) kelistrikan. Mayoritas pembangkit FTP adalah PLTU berbahan bakar batu bara karena pembangunannya relatif cepat, diharapkan dapat mengejar kesenjangan supply demand. Selain itu, PLTU dinilai lebih murah dibanding pembangkit lainnya, sehingga PLTU diharapkan dapat mengurangi biaya pokok produksi (BPP) listrik yang ditanggung PLN.

Ditambah dengan program kelistrikan 35 ribu MW yang dicanangkan pemerintah sejak 2015, kapasitas pembangkit meningkat signifikan, sehingga supply listrik juga meningkat. Pada 2018, supply listrik mencapai 325 TWh meningkat lima kali dibandingkan posisi 2004. Demand listrik juga meningkat tiga kali menjadi sekitar 325 TWh. Meskipun masih ada gap, tapi gap itu mengecil karena kenaikan supply lebih tinggi dibanding kenaikan demand-nya.

Kehadiran PLTU baru (terutama yang dimiliki PLN) memberikan “keuntungan” bagi pemerintah dan PLN. Karena harga bahan bakar per KWh-nya relatif lebih murah, PLN pun dapat mengurangi BPP listrik. Subsidi listrik pun berhasil dipangkas hingga 50 persen, dari sekitar Rp 100 triliun menjadi sekitar Rp 50 triliun per tahun. 

Harga listrik pun dapat dipertahankan relatif rendah, di mana dalam enam tahun terakhir ini tarif dasar listrik (TDL) tidak mengalami kenaikan. Tentunya, kebijakan pemerintah turut pula mendukung capaian ini, seperti kebijakan domestic market obligation (DMO).

 
Dalam enam tahun terakhir ini tarif dasar listrik (TDL) tidak mengalami kenaikan. Harga listrik pun dapat dipertahankan relatif rendah.
 
 

Pembangunan infrastruktur kelistrikan, termasuk PLTU, saat ini masih berlangsung terutama untuk menyelesaikan proyek yang sudah dalam tahap konstruksi. Diperkirakan, dalam satu tahun ke depan, akan hadir pembangkit baru (termasuk PLTU) yang siap beroperasi, termasuk untuk memasok ke sistem Jawa Bali (SJB). 

Seiring dengan hadirnya pembangkit baru, dalam satu atau dua tahun ke depan, SJB berpotensi mengalami oversupply, tapi diperkirakan kembali normal dalam beberapa tahun berikutnya seiring dengan pertumbuhan konsumsi listrik dan berkurangnya investasi pembangkit di SJB.

Saat ini, kondisi kelistrikan di SJB telah mengalami oversupply yang “dipercepat” akibat Covid-19. Covid-19 telah menurunkan konsumsi listrik di Jawa Bali, terutama dari sektor Industri. Penurunan konsumsi listrik sektor industri ini terkonfirmasi dengan data pangsa (share) sektor industri terhadap PDRB di Jawa. Dari perhitungan yang saya lakukan, pangsa sektor industri terhadap PDRB di Jawa menurun dari 30 persen pada 2010 menjadi 27,6 persen pada akhir 2020.

 
Saat ini, kondisi kelistrikan di SJB telah mengalami oversupply yang “dipercepat” akibat Covid-19.
 
 

Sebelum Covid-19, penjualan listrik SJB tumbuh 3,9 persen selama 2015-2019. Meskipun demand listrik tumbuh, masuknya pembangkit baru dari IPP telah menggerus pangsa pasar listrik yang dihasilkan pembangkit PLN. Tahun lalu, penjualan listrik mengalami pertumbuhan negatif (-0,80 persen).

Namun, pembelian listrik dari IPP oleh PLN tumbuh 13,8 persen dibanding 2019 seiring beroperasinya pembangkit IPP baru di Jawa, di mana dengan skema kontrak take or pay (TOP), PLN wajib membeli listrik dari IPP.

Di tengah kondisi oversupply “dipercepat” serta meningkatnya beban keuangan akibat pembelian listrik dari IPP, PLN kini menghadapi tuntutan terkait pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Realisasi EBT pada 2020 baru mencapai 11,31 persen dalam bauran energi nasional. 

Di sisi lain, pemerintah menargetkan pangsa EBT dalam bauran energi sebesar 28 persen pada 2030. Tampaknya, pemerintah akan lebih agresif mengejar ketertinggalan target EBT ini. Percepatan EBT ini, tentunya akan berpengaruh, baik positif maupun negatif bagi PLN.

Dalam jangka panjang, kehadiran listrik EBT akan menggantikan keberadaan pembangkit berbiaya mahal khususnya pembangkit berbahan bakar minyak. Kondisi ini tentu positif untuk mengurangi BPP listrik. Sedangkan dalam jangka pendek, terutama yang bersentuhan langsung dengan hilir (pelanggan), kehadiran EBT berpotensi mengurangi pendapatan PLN dari sisi penjualan listrik.

 
Dalam jangka panjang, kehadiran listrik EBT akan menggantikan keberadaan pembangkit berbiaya mahal khususnya pembangkit berbahan bakar minyak.
 
 

Satu hal yang perlu dicatat, pengembangan EBT di sisi hulu juga membutuhkan dukungan dari sisi hilirnya. Studi McKinsey (2019) menunjukkan, kebutuhan investasi di sisi hulu EBT membutuhkan dukungan investasi yang hampir sama jumlahnya dengan investasi di sisi hilir (transmisi dan jaringan). 

Di Indonesia, kewajiban investasi di sisi hilir kelistrikan sepenuhnya menjadi kewajiban PLN. Itu artinya, kesiapan finansial PLN semestinya tetap menjadi pertimbangan bagi pengembangan EBT. Jangan terjadi, misalnya, pembangkit EBT selesai dibangun, tapi transmisi dan jaringannya belum siap akibat ketidaksiapan PLN secara finansial.

Menyikapi kondisi ini, tentunya dibutuhkan kebijakan transisi energi yang “bersahabat”. “Bersahabat” dalam arti pengembangan EBT tetap perlu memperhatikan realitas, baik yang terkait dengan kondisi sektor kelistrikan maupun kondisi PLN agar terjadi keselarasan antara sasaran jangka panjang dan kebutuhan jangka pendek.

 
“Bersahabat” dalam arti pengembangan EBT tetap perlu memperhatikan realitas, baik yang terkait dengan kondisi sektor kelistrikan maupun kondisi PLN.
 
 

Sehubungan dengan hal itu, saya mengusulkan beberapa hal. Pertama, pengembangan EBT yang bersentuhan langsung dengan hilir hendaknya dilakukan pada waktu yang lebih tepat, menyesuaikan dengan kondisi demand dan supply listrik. Seperti disebut di atas, saat ini kita mengalami oversupply yang “dipercepat” dan kondisi ini diperkirakan masih akan terjadi hingga dua tahun ke depan, khususnya di Jawa Bali, seiring masuknya pembangkit baru skala besar dari IPP. Di sisi lain, PLN memerlukan ruang untuk memulihkan pendapatan untuk memperbaiki cash flow-nya.

Kebijakan percepatan EBT yang bersentuhan langsung dengan konsumen, misalnya kebijakan insentif 100 persen ekspor listrik dari PLTS Atap ke PLN, sepertinya perlu di-smoothing lagi. Misalnya, dilakukan pada dua tahun ke depan, setelah demand listrik diperkirakan pulih. Dalam jangka pendek ini, saya mengusulkan lebih mengutamakan kebijakan yang “bersandingan” dengan industri eksisting, seperti percepatan program co-firing pada PLTU batu bara.

Kedua, pengembangan EBT seyogianya juga selaras dengan program penurunan BPP. Misalnya, pembangkit EBT diarahkan untuk menggantikan pembangkit diesel (PLTD) yang berbahan bakar minyak. Saat ini, jumlah pembangkit PLTD milik PLN tinggal sekitar empat persen. Di Jawa Bali, mayoritas PLTU. 

Sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih bergantung pada PLTD. Studi IRENA menunjukkan, potensi EBT ini sebagian besar ada di luar Jawa. Karenanya, pengembangan EBT perlu didorong terutama di luar Jawa. Selain mendekat dengan sumber energi primernya, juga sejalan dengan program pengurangan BPP, mengganti PLTD dengan EBT.

Ketiga, pengembangan EBT juga perlu memperhatikan komposisi investasi antara PLN dan swasta IPP. Dominasi IPP yang berlebihan, termasuk pada EBT, kurang baik bagi pemerintah dan PLN. Harga listrik yang dibeli PLN dari IPP, lebih mahal dibanding harga listrik yang dibeli dari pembangkit PLN sendiri, sehingga menaikkan BPP dan subsidi. 

Karenanya, perlu dirancang agar PLN memiliki komposisi yang lebih besar dalam investasi EBT kelistrikan. Dengan kata lain, kapasitas keuangan PLN perlu ditambah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat