Uswah
Jejak Muslimah di Negeri Ratu Elizabeth
Muslimah ini ingin merasakan langsung bagaimana pandangan Barat tentang Islam.
OLEH IMAS DAMAYANTI
Menapakkan kaki di negeri Barat menjadi tantangan tersendiri bagi setiap Muslimah. Dengan citra Islam yang kerap digambarkan buruk oleh media Barat, tak mudah bagi seorang Muslimah menampakkan identitas keislamannya. Tidak terkecuali bagi mereka yang ingin menempuh studi di Benua Biru itu.
Ai Fatimah Nur Fuad (45 tahun) menjadi salah satu Muslimah jebolan Universitas Al-Azhar Mesir yang merupakan generasi awal mahasiswi alumni Timur Tengah yang melanjutkan jenjang studinya di Barat. Ai membagikan kisahnya tentang bagaimana kiprah di dunia akademik yang dilaluinya dalam kajian keIslaman, termasuk pendidikan agama Islam.
Sejak nyantri di pesantren Darussalam, Ai memang telah terbiasa membaca buku-buku dari pemikir hebat semacam almarhum Nurcholis Madjid hingga Komaruddin Hidayat. Dengan role model itu, Ai bermimpi dapat melanjutkan studinya ke negeri-negeri Eropa sejak duduk di bangku aliyah.
“Ketika lulus pesantren, saya terdorong untuk ambil S-1 di Mesir. Dan mimpi-mimpi untuk mempelajari dan melihat langsung citra Islam di Barat itu sudah terbesit di benak saya kala itu, saya pupuk hingga membesar,” kata Ai saat dihubungi Republika, Senin (30/8).
Saat studi di Mesir, Ai mengenal kajian keIslaman secara luas. Meski terdapat beragam aliran pemikiran Islam namun tetap dalam kerangka ‘wasathiyyah’ (moderasi) Al-Azhar. Karena itu, keinginan Ai untuk melanjutkan studi keislaman di Barat pun makin memuncak.
Ai bercerita, dia ingin mengetahui langsung bagaimana pandangan Barat tentang Islam. Mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke negeri nun jauh itu dibesarkannya dengan perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan. Dia bahkan bersama suami rela untuk menjual cincin pernikahan sebagai biaya kursus bahasa Inggris. “Waktu itu bahasa Inggris saya agak kurang, maka saya jual cincin nikah untuk biaya kursus. Karena kami mau kejar beasiswa. Alhamdulillah 2008, saya dapat beasiswa ke Inggris dan suami ke Leiden-Belanda,” kata Ai.
Ai menjelaskan, persepsi Barat tentang Islam begitupun persepsi Muslim terhadap Barat memiliki suatu kesalahfahaman yang tak memiliki titik temu. Untuk mengetahui lebih jauh, Ai pun mencoba mencari titik temu tersebut dalam perjalanan akademiknya di Eropa.
Ai mampu menyelesaikan program S-2 hanya dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Dia segera ditawarkan beasiswa S-3 oleh profesor yang membimbingnya di bidang Religious Studies. Ai tak pernah melupakan momen saat profesornya memberikan penawaran surat rekomendasi untuk mencari beasiswa S3 terhadapnya.
“Profesor saya menawarkan dan menguatkan saya untuk untuk melanjutkan kuliah di kampus yang sama dan mendapatkan beasiswa S-3. Dia bilang bahwa, ‘Kamu sudah menjadi model Muslim yang baik. Dari apa? Kamu selalu on-time, belajar dengan tekun, mempelajari bahasa Inggris dengan baik, makanya saya berani bimbing kamu sampai kamu dapat Ph.D,” kenang Ai.
Atas dasar dukungan dan bimbingan pembimbingnya, Ai dan suami saling memantapkan diri untuk segera mengambil pendidikan S-3-nya melalui jalur Beasiswa Luar Negeri Pendidikan Tinggi (BLN-DIKTI) dari Kementrian Pendidikan RI. Ai bercerita mengenai riset S2-nya, tentang Muslim di Inggris, bagaimana mereka muncul, beradaptasi, hingga bagaimana mereka menjalani dinamika kehidupan dalam budaya masyarakat Inggris yang sekuler. Masih terdapat kecenderungan dikalangan muslim yang memperkuat gagasan integrasi, tetapi ada juga Muslim yang cenderung melakukan isolasi bahkan resistensi terhadap nilai-nilai Inggris.
“Sehingga saya menyimpulkan bahwa menjadi orang yang menyatukan dua nilai, yakni nilai Islam dengan nilai Inggris itu justru punya kontribusi besar dibandingkan orang yang berpikiran mempertentangkan salah satu dari nilai tersebut,” kata dia.
Dia mencontohkan, bagaimana jumlah penduduk Muslim di Negeri Ratu Elizabeth semakin banyak setiap tahunnya. Pada 2008/2009, hanya ada 2,4 juta penduduk Muslim. Tujuh tahun kemudian sudah mencapai 3,5 juta Muslim. Karena itu, Ai mengungkapkan, semakin seorang Muslim berkontribusi kepada masyarakat justru semakin didukung oleh negara (Inggris).
Manajemen waktu peraih beasiswa
Tak mudah menjalani hidup sebagai mahasiswa yang diamanahkan beasiswa internasional di Eropa. Inilah sekiranya yang dirasakan Ai saat menempuh Pendidikan S2-nya di Inggris. Sebagai seorang istri yang memiliki balita, Ai terpaksa menitipkan anaknya di Indonesia sementara karena suami juga harus menjalankan studinya di Belanda. Biaya hidup dan menghidupi anak dari uang beasiswa, dikenang Ai, sebagai sebuah hal yang belum dapat dia raih.
“Saat S-3, anak sulung saya usia 5 tahun saya bawa ke Inggris. Suami juga dapat beasiswa di Inggris. Maka, kami bertekad untuk hidup sehemat mungkin,” kata dia.
Tantangan tak berhenti sampai di situ, di tahun-tahun berikutnya Ai dan suami masih menemui tantangan akdemik yang berat dengan kelahiran anak keduanya di tahun 2014. Disaat visa studi dan beasiswanya, hampir habis. Namun demikian mereka berdua tak sama sekali menyerah. Mereka berdua saling mendukung satu sama lain dan kerjasama dalam mengatur waktu dan finansial sebagai mahasiswa Indonesia di Eropa.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.