Nasional
Densus 88 Soroti Dampak Taliban ke Indonesia
Kemenangan Taliban di Afghanistan berpotensi memberikan dampak pada Indonesia.
JAKARTA -- Kepala Bagian Operasional Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Kombes Aswin Siregar, menyebut kemenangan kelompok Taliban di Afghanistan bakal memicu ketertarikan kelompok radikal di Indonesia.
Mengingat sejak 1980-an, Afghanistan adalah tempat training ground dan battle ground orang yang dicap teroris, termasuk dari Indonesia. "Afghanistan sudah lama menjadi training ground, training camp, dan battle ground untuk orang-orang Indonesia yang terbawa atau terpengaruh untuk ikut berjuang ke sana," ujar Aswin dalam webinar CICSR yang disiarkan secara daring, Rabu (25/8) malam.
Aswin menjelaskan, setidaknya dari Indonesia sudah ada 10 gelombang pengiriman orang ke Afghanistan dari beberapa kelompok. Di sana, klaim Aswin, mereka berlatih, mengumpulkan amunisi, dan juga membangun jaringan terorisme. Pada akhirnya, mereka pulang ke Indonesia dan membuat sejumlah teror.
"Saya contohkan Ali Imron mungkin gelombang terakhir, pulang ke sini sekitar tahun 1990-an. Kemudian tidak lama setelah pulang mulailah ada aksi-aksi teror yang dilakukan," ungkap Aswin.
Aswin mengatakan, mereka yang berangkat ke Afghanistan mengalami proses brainwash ideologi yang membuat pembelokan tujuan. Awalnya, mereka memiliki cita-cita untuk menyelamatkan saudara sesama Muslim, tetapi karena proses itu mereka berkeinginan membangun Daulah Islamiyah dengan aksi-aksi teror, seperti yang dilakukan kelompok Jamaah Islamiyah (JI).
"Kalau kita lihat beberapa peristiwa yang menjadi penyerangan dari JI adalah bom malam Natal tahun 2000, keterlibatan konflik di Ambon dan Poso, Bom Bali 1 dan 2, Hotel JW Marriott, bom Kedubes Australia, dan kemudian Ritz Carlton 2009," kata Aswin.
Berdasarkan akar sejarah itu, Aswin menilai kemenangan Taliban di Afghanistan berpotensi memberikan dampak pada Indonesia. Di antaranya, bisa menarik kelompok radikal di Indonesia agar berangkat kembali ke Afghanistan.
Apalagi, kata dia, masih ada potensi pecah konflik di Afghanistan. Hal ini dapat menarik kelompok dari seluruh dunia untuk berjuang di Afghanistan.
"(Afghanistan) sebagai training ground, sebagai network, dan sebagai sumber logistik mereka. Selesai di sana, pulang. Tidak lama setelah pulang, beraksi di tempat mereka berada," kata dia.
Dalam diskusi yang sama, Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Penanganan Terorisme, M Najih Arromadloni, menganggap terlalu dini jika Taliban disebut sudah moderat. Untuk membuktikan Taliban sudah berubah harus diuji dengan waktu. Sebab, tidak menutup kemungkinan perubahan itu hanya pencitraan.
"Klaim berubah itu jelas sebagai upaya Taliban untuk membangun citra baru mereka. Tetapi, fakta di lapangan, kekerasan masih terus terjadi," kata Najih.
Apalagi, menurut Najih, Afghanistan mengalami transformasi ideologi dari Sunni-Maturidi dengan fiqihnya Hanafi menjadi Salafi-Wahabi. Menurut dia, perlu adanya pembangunan kesadaran untuk membentengi masyarakat Indonesia.
Namun jika perlu, Indonesia bisa membantu Afghanistan untuk mewujudkan perdamaian dan moderasi di sana. Hal ini seperti yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu dengan kunjungan beberapa elemen dari Afghanistan ke Indonesia yang hendak belajar moderasi.
"Ini yang harus kita dukung, kita fasilitasi supaya mereka bisa melawan setiap gerakan ekstremisme yang terjadi di sana," tutup Najih.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.