Nasional
Survei: Mayoritas Publik Tolak Perpanjangan Jabatan Presiden
Suara masyarakat perlu terlebih dahulu didengar oleh MPR.
JAKARTA – Hasil survei lembaga Fixpoll mengungkapkan, mayoritas masyarakat Indonesia menolak perpanjangan masa jabatan presiden dari segi jumlah masa jabatan atau durasi per sekali menjabat. Hasil ini diketahui dari survei Fixpoll terkait rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Sebanyak 57,5 persen masyarakat tidak setuju jika masa jabatan presiden diubah menjadi lebih dari dua periode. Namun, 11,4 persen menyatakan setuju. Sedangkan 12,6 menjawab tidak tahu," kata Direktur Eksekutif Fixpoll Indonesia, Mohammad Anas RA, dalam paparan hasil survei, Senin (23/8).
Hasil survei ini, menurut Fixpoll, juga menandakan mayoritas responden menolak rencana amandemen UUD. Perinciannya, sebanyak 19,5 persen dari responden menolak amandemen UUD 1945, 9,1 persen setuju, dan 28,5 persen menyatakan bersikap netral.
"Ada 42,8 persen responden yang justru tidak tahu dengan rencana itu (amendemen). Mayoritas responden juga menolak jika Presiden dipilih oleh MPR (61 persen)," ujar Anas.
Di sisi lain, survei Fixpoll menemukan, bila wacana amendemen UUD 1945 terealisasi, hal itu dapat menimbulkan berbagai reaksi masyarakat. Pilihan tertinggi jatuh pada sikap pasrah dan menerima kebijakan tersebut (46,9 persen) dan tidak akan memilihnya lagi (33,3 persen).
"Sisanya melakukan protes dengan ikut berdemonstrasi, mem-posting di media sosial/blog atau membuat petisi terbuka serta lainnya," kata Anas.
Survei Fixpoll digelar pada 16-27 Juli 2021 dengan mengambil sampel dari 1.240 responden yang diklaim berasal dari seluruh provinsi. Tingkat toleransi kesalahan 2,89 persen. Adapun, tingkat kepercayaannya 95 persen.
Berbicara terpisah, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan meyakini amendemen UUD 1945 tidak akan terjadi. Amendemen setidaknya tak akan terealisasi hingga Pemilihan Umum 2024.
"Saya kira sampai pemilu yang akan datang amendemen tidak akan terjadi. Oleh sebab itu tidak usah khawatir berlebihan," ujar pria yang akrab disapa Zulhas itu dalam perayaan HUT ke-23 PAN, Senin (23/8).
Zulhas mengatakan, mungkin saja amendemen UUD dapat terjadi saat dirinya menjadi ketua MPR periode 2014-2019. Namun, itu tak terjadi dan ia meminta kembali masyarakat tak khawatir dengan rencana tersebut.
"Kalau mungkin amendemen terjadi pada masa Zulkifli Hasan ketua MPR, itu mungkin. Tapi tidak terjadi," ujar Zulhas.
Ketua Majelis Penasehat Partai (MPP) PAN Hatta Rajasa menilai, langkah mengamendemen terbatas UUD 1945 merupakan sesuatu yang sah. Namun, siapa yang dapat menjamin hal tersebut berlangsung secara terbatas hanya untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Siapa yang bisa jamin amendemen hanya terbatas, siapa yang bisa menjamin amandemen terbatas tak buat kegaduhan baru seiring dengan isu-isu tiga periode. Walau saya tak percayai itu," ujar Hatta.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sedikit menanggapi ramainya wacana amendemen UUD 1945 untuk menghidupkan PPHN. Menurut dia, rencana tersebut haruslah terlebih dahulu ditanyakan kepada rakyat, tidak boleh hanya pendapat dari MPR.
"Bagi Nasdem, kenapa harus terbatas? Kalau mau terbatas, tanya dulu sama masyarakat kalau mau amendemen," ujar Surya dalam dalam pidato kebangsaan perayaan 50 tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Senin (23/8).
Suara masyarakat perlu terlebih dahulu didengar oleh MPR. Bila mayoritas publik tak menginginkannya, lebih baik wacana tersebut tak dulu direalisasikan. "Kalau memang tidak berani ke sana, sebaiknya jangan amendemen itu," ujar Surya.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, proses amendemen UUD 1945 masih sangat panjang. Sebab, saat ini Badan Pengkajian MPR masih sedang menyelesaikan kajian terhadap PPHN.
Lagi pula, kata dia, disetujui tidaknya amendemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN sangat bergantung dinamika politik yang berkembang serta keputusan partai politik dan kelompok DPD.
"Perjalanan masih panjang. Jadi, tidak usah marah-marah apalagi sampai kebakaran jenggot. Karena MPR saat ini hanya melaksanakan tugas konstitusional yang menjadi rekomendasi MPR periode sebelumnya," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/8).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.