Tajuk
Rakyat di Dalam Vonis Juliari
Ini akan menjadi catatan di benak publik dan menjadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya.
Hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada eks menteri sosial Juliari P Batubara, Senin (23/8). Selain itu, Juliari juga diwajibkan untuk membayar denda Rp 500 juta subsider kurungan enam bulan.
Juliari terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sosial. Vonis ini lebih berat satu tahun daripada yang dituntut oleh jaksa. Apakah publik puas atas vonis ini?
Dalam pertimbangannya, hakim menjelaskan beberapa hal penting. Pertama: Juliari terbukti menerima uang suap sebesar Rp 32,4 miliar. Kedua, Juliari terbukti memerintahkan bawahannya untuk memungut setoran sebesar Rp 10 ribu per paket kepada para penyedia bansos.
Hakim menekankan, inisiatif untuk meminta uang suap itu juga datang dari Juliari. Ketiga, Juliari juga terbukti menikmati sebagian uang hasil suap bansos itu untuk kepentingan pribadinya.
Hakim kemudian menegaskan beberapa hal yang memberatkan Juliari, yakni menyebut Juliari tidak kesatria, berani berbuat tidak bertanggung jawab, bahkan juga menyangkal perbuatannya memerintahkan dan meminta suap. Hakim juga menyatakan, Juliari melakukan perbuatan tercela ini pada saat negara dalam kondisi darurat akibat serbuan virus korona.
Meskipun demikian, hakim masih menemukan hal-hal yang meringankan atas kasus ini. Hakim menilai, Juliari belum pernah dijatuhi hukuman sebelumnya. Hakim juga berpandangan Juliari sebagai korban perundungan akibat kasusnya ini.
“Terdakwa sudah cukup menderita, dicerca, dimaki, dihina, oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah,” demikian hakim anggota Yusuf Pranowo, membacakan putusannya, Senin siang.
Mengapa hanya dituntut 11 tahun? Mengapa hanya divonis 12 tahun? Mengapa konstruksi kasus Juliari tidak mengenakan pasal korupsi yang menerapkan hukuman mati?
Suara-suara kecewa dan tidak puas atas tuntutan dan vonis Juliari tetap terdengar. Mengapa hanya dituntut 11 tahun? Mengapa hanya divonis 12 tahun? Mengapa konstruksi kasus Juliari tidak mengenakan pasal korupsi yang menerapkan hukuman mati?
Padahal, apa yang dilakukan Juliari benar-benar tercela, yakni mengambil hak orang miskin untuk dia menikmati sendiri pada masa negara sedang darurat Covid-19. Juliari adalah pejabat publik. Dia tahu betul konsekuensi dari perbuatannya.
Sebelum kasusnya mencuat, pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah mewanti-wanti, siapa yang ketahuan menyelewengkan dana bantuan untuk rakyat, hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.
Namun, dengan vonis ini, publik tidak merasa apa yang diterima Juliari adalah ganjaran yang pantas. Kita tahu peluang keringanan hukuman untuk Juliari pada masa yang akan datang tetap ada. Berbagai diskon masa tahanan terus diguyur oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM.
Publik bereaksi, bagaimana dengan hak asasi rakyat miskin yang seharusnya menerima Rp 30-an miliar yang ‘disunat’ Juliari? Apa peduli Juliari, atas penderitaan orang-orang yang tidak mendapat bantuan seharusnya mereka terima?
Uang yang dikutip itu seharusnya bisa dijadikan tambahan bantuan sosial. Entah dalam bentuk paket makanan lain, tambahan beras, gula, minyak goreng, mi instan, atau yang lainnya.
Di balik puluhan miliar rupiah dan Rp 10 ribu itu hak hidup warga miskin yang tiba-tiba berpindah kantong, dari kantong lusuh mereka ke kantong kemeja Juliari dan komplotannya. Dan bahkan, demikian pun, Juliari tak pernah meminta maaf kepada rakyat, kepada orang-orang yang jatah bansosnya dia sikat.
Juliari memilih untuk meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Luar biasa betul celakanya para pelaku kasus suap dana bansos ini.
Namun, dengan vonis ini, publik tidak merasa apa yang diterima Juliari adalah ganjaran yang pantas. Kita tahu peluang keringanan hukuman untuk Juliari pada masa yang akan datang tetap ada.
Apa pun, ketok palu hakim sudah berbunyi di ruang sidang. Rakyat harus menerima Juliari divonis 12 tahun penjara. Sebelum kasus Juliari ini, pekan lalu kita melihat pemerintah memberikan diskon masa tahanan kepada para koruptor, termasuk Djoko Tjandra, dalam rangka HUT kemerdekaan ke-76 RI. Ironis, karena Djoko terbukti menyuap berbagai pejabat publik untuk meringankan hukuman dan membuat identitas palsu.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres KH Ma’ruf Amien terus mendapat sorotan atas kasus-kasus di sektor hukum. Ini akan menjadi catatan di benak publik dan menjadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.