Mahasiswa internasional mengenakan pakaian adat dari berbagai suku saat merayakan kelulusan di area Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day di Jalan MH Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu. | Republika/Iman Firmansyah

Opini

Diplomasi Bahasa

Globalisasi membawa pengaruh kuat terhadap daya hidup sebuah bahasa.

E AMINUDDIN AZIZ, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa  Kemendikbudristek

Bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional! Hal itu bukan halusinasi walaupun ada yang mungkin (sangat) pesimistis. Biasanya dari mereka yang tak terlalu berminat berjuang bersama-sama memartabatkan bahasa negara ini di kancah internasional.

Sementara itu, nada optimistis muncul di kalangan pegiat dan pejuang bahasa Indonesia yang militan, yang memiliki nasionalisme tinggi.

Perintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional terdapat pada tiga dokumen. Pertama, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Kedua, PP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Ketiga, diamanatkan oleh Kongres Bahasa Indonesia ke-11 tahun 2018.

Bisa dipastikan, DPR dan pemerintah tak serampangan saat sepakat memasukkan pasal-pasal tentang internasionalisasi bahasa Indonesia.

 

 
Bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa “baru” di tengah perjuangan bangsa memerdekakan diri dari penjajah.
 
 

Penutur bahasa Indonesia (dan bahasa serumpunnya, Melayu) yang lebih dari 300 juta penutur, tentu menjadi rujukan meyakinkan untuk membuat regulasi tersebut. Angka itu dipastikan bertambah dengan munculnya penutur muda dari generasi baru bangsa Indonesia.

Tiga tantangan

Bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa “baru” di tengah perjuangan bangsa memerdekakan diri dari penjajah.

Mengambil sumber dari bahasa Melayu, yang telah lazim digunakan para pemuda penggerak dan dipakai luas dalam interaksi bisnis, nama bahasa Indonesia diambil untuk menggenapi trisumpah dalam Kongres Pemuda II tahun 1928.

Dengan proses kelahiran itu, bahasa Indonesia dipastikan bukan bahasa ibu atau bahasa pertama dari kebanyakan warga Indonesia.

 

 
Status bahasa Indonesia yang bukan bagian nilai budaya inti berbanding lurus dengan sikap para penutur bahasa Indonesia terhadap bahasa Indonesia.
 
 

Lebih jauh, bahasa Indonesia bukan atau belum menjadi bagian nilai budaya inti masyarakat Indonesia (core-culture value, dalam istilah Smolicz dan Secombe). Bahasa yang lebih dominan digunakan dalam pergaulan sehari-hari, tetaplah bahasa daerah masing-masing.

 Status bahasa Indonesia yang bukan bagian nilai budaya inti berbanding lurus dengan sikap para penutur bahasa Indonesia terhadap bahasa Indonesia.

Sikap abai atau tidak cermat berbahasa Indonesia dianggap tak terlalu penting sebab tidak mengganggu kelangsungan hidupnya. Sikap kurang gereget para penutur itu, akan mempersulit upaya internasionalisasi bahasa Indonesia.

Tantangan kedua datang dari luar. Globalisasi membawa pengaruh kuat terhadap daya hidup sebuah bahasa. Hal itu memunculkan dominasi bahasa dari negara yang kuat secara ekonomi dan politik. Akibatnya, timbul hegemoni bahasa.

Pelaku diplomasi bahasa tidaklah tunggal. Keberadaan Badan Bahasa di Kemendikbudristek hanya salah satunya. Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan di luar negeri memiliki peran sentral. Demikian juga, kementerian dan lembaga lainnya. 

Bahkan, DPR yang memiliki agenda rutin sidang antarparlemen memiliki posisi sangat baik. Sayangnya, pengelolaan diplomasi bahasa ini belum bersinergi, mungkin karena peta jalan diplomasi bahasa belum ada atau karena lebih lebih suka jalan sendiri-sendiri?

 

 
Peran media massa sangat besar dalam mengukuhkan posisi tawar bahasa Indonesia. 
 
 

Mencari strategi baru

Tidak ada yang mustahil kalau punya niat kuat. Demikian pula, dalam  menjadikan bahasa Indonesia salah satu bahasa internasional.  Militansi (baca: nasionalisme) pengguna bahasa Indonesia perlu dibina sejak dini.  

Setia kepada bahasa daerah dan cinta kepada bahasa asing tidak salah. Meskipun begitu, ada baiknya menengok trigatra bahasa yang sudah diperkenalkan Badan Bahasa: lestarikan bahasa daerah, utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing.

Peran media massa sangat besar dalam mengukuhkan posisi tawar bahasa Indonesia. Mengurangi penggunaan istilah asing yang belum dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, salah satu sumbangsih nyata media massa.

Hal yang sama bisa dilakukan pejabat negara atau tenaga fungsional dalam persidangan antarbangsa. Apabila dapat sedikit “memaksa” penyelenggara menyediakan juru bahasa untuk sajian yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, ada pola baru penyelenggaraan kelas bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) yang dilakukan perwakilan RI di luar negeri bersama Badan Bahasa. Pandemi Covid-19 satu setengah tahun terakhir ini, membawa “berkah” bagi penyelenggaraan kelas BIPA.

 

 
Peluang bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional tetap terbuka, bahkan sangat lebar sekalipun ada globalisasi. 
 
 

Ada mobilisasi sumber daya untuk mempromosikan kelas BIPA. Guru BIPA bukan hanya dari Badan Bahasa, melainkan juga diaspora Indonesia. Guru dan pemelajar bisa tetap di tempat masing-masing. Jangkauan pembelajaran jarak jauh melintasi batas wilayah.

Tercatat lebih dari 10 ribu  pemelajar BIPA baru. Pembelajar umumnya generasi muda. Mereka bibit untuk kepanjangan tangan bangsa Indonesia bagi masa depan.

Peluang bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional tetap terbuka, bahkan sangat lebar sekalipun ada globalisasi. Kini terpulang kepada kita sebagai penutur bahasa Indonesia: mau atau tidak?

Bulan kemerdekaan RI, siapa tahu menjadi titik tolak baru memunculkan kesadaran nasionalisme melalui bahasa Indonesia.

Sejalan dengan tema peringatan kemerdekaan RI 2021, yakni Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, kita berharap bahasa Indonesia tangguh, siap tumbuh menjadi bahasa internasional.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat