Oase
Kisah Mualaf Wang Sun Hwa, Berawal dari ‘Puasa’ Ramadhan
Puasa Ramadhan yang diikuti secara coba-coba menjadi jalan hidayah untuk mualaf ini.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi. Banyak ilmu dan keberkahan di sana.
Rahmat Hidayat merupakan seorang mualaf yang kini aktif di dunia dakwah. Lelaki berusia 29 tahun itu mengaku bersyukur, Allah SWT telah memberikan hidayah kepadanya untuk menjadi Muslim. Menurutnya, iman dan Islam merupakan anugerah terbesar yang pernah dirasakannya.
Pria keturunan Tionghoa ini lahir dengan nama Wang Sun Hwa, di Medan, Sumatra Utara. Sejak 2004 lalu, dia memeluk Islam. Adapun nama Rahmat Hidayat yang kini disandangnya merupakan pemberian dari ibu angkatnya. Perempuan itulah yang menjadi jalan petunjuk Allah sampai kepadanya.
Sebelum memeluk Islam, Rahmat tidaklah begitu tertarik pada hal-hal yang meningkatkan kesadaran spiritual. Ia menduga, kecenderungan itu bertolak belakang dengan pola pendidikan yang diterimanya sejak dini. Seisi rumah tidak pernah absen dalam melaksanakan ibadah tiap akhir pekan. Bahkan, ada tempat ibadah di kediamannya.
Rahmat agak berbeda dari kakak-kakaknya. Anak bungsu dari lima bersaudara itu tidak terlalu mementingkan ibadah. Sesekali, ia memang mengikuti orang tuanya ke tempat ibadah. Namun, ritual tersebut dianggapnya rutinitas belaka.
“Kakak-kakak saya itu termasuk orang yang aktif (beribadah). Ya tidak tahu mengapa saya agak berbeda. Mungkin inilah awal mulanya hidayah sampai kepada saya,” tuturnya dalam video yang diunggah di platform YouTube, seperti dilihat Republika, beberapa waktu lalu.
Walaupun usianya masih anak-anak, Rahmat sering mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya filosofis. Ia saat itu pun kerap heran dengan kepercayaan yang dipeluk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia seolah-olah menemukan alasan untuk tidak taat beribadah karena memang sudah ragu menyembah apa yang mereka sembah.
Walaupun usianya masih anak-anak, Rahmat sering mengajukan pertanyaan yang sesungguhnya filosofis.
Meskipun jarang terlihat beribadah, Rahmat jarang mendapatkan teguran. Keluarganya seakan-akan tidak terlalu memedulikannya. Keadaan itu terus bertahan hingga ia berumur remaja.
Tidak seperti sebelumnya, Rahmat muda mulai membuka wawasannya. Sebab, saat masih berusia anak-anak dirinya tinggal di lingkungan “monoton". Dalam arti, tetangga dan kawan-kawannya tidak berbeda agama dengan keluarganya.
Kini, ia sudah memiliki cukup banyak teman dari kalangan Muslim. Sepanjang pergaulannya dengan mereka, Rahmat mulai mengetahui dan mengenal beberapa ajaran Islam. Lama kelamaan, ia pun tertarik mempelajari agama yang mengajarkan bahwa Tuhan hanyalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu.
Waktu silih berganti. Tibalah bulan suci Ramadhan. Rahmat muda memperhatikan, kawan-kawannya yang Muslim mengamalkan puasa. Mereka tidak makan dan minum sejak pagi hingga azan maghrib berkumandang. Selain itu, teman-temannya itu tampak semakin rajin beribadah di masjid.
Waktu itu, Rahmat sangat tertarik untuk mengetahui seluk-beluk puasa Ramadhan. Tiap ada kesempatan, dia pun bertanya kepada seorang atau dua temannya. Ia kerap heran, mengapa Islam mengharuskan umatnya untuk menahan lapar dan dahaga seharian, selama sebulan penuh pula.
Ia kerap heran, mengapa Islam mengharuskan umatnya untuk menahan lapar dan dahaga seharian, selama sebulan penuh pula.
Puasa memang bukan perkara asing untuk Rahmat saat itu. Di agamanya (yang lama), sudah ada ketentuan untuk berpuasa. Namun, ajaran itu tidak diharuskan untuk pemeluk agama tersebut. Sifatnya semata-mata anjuran, bukan kewajiban.
"Saya pernah tanya ke kawan-kawan (yang Muslim), mengapa kok kalian itu setiap hari berpuasa gitu setiap bulan Ramadhan, tiap tahun pula,” ujarnya.
Keterarikan Rahmat terhadap Islam ternyata belum ditanggapi serius oleh teman-temannya saat itu. Mereka hanya menjawab sekenanya saja, seperti “kewajiban orang Islam memang berpuasa saat Ramadhan” atau sekadar “ya memang begitu".
Untuk menunjukkan kesungguhannya, Rahmat akhirnya memilih untuk ikut berpuasa. Ia pun mengungkapkan niatnya itu kepada kawan-kawannya yang Muslim. Akan tetapi, maksud tersebut justru menjadi semacam bahan candaan mereka.
“Bagaimana bisa orang non-Muslim ikut-ikutan puasa?” ucap Rahmat meniru perkataan teman-temannya saat itu.
Untuk menunjukkan kesungguhannya, Rahmat akhirnya memilih untuk ikut berpuasa.
Akhirnya, seorang sahabatnya memberikan saran. Sebaiknya, Rahmat bertanya kepada orang yang lebih tua. Rahmat pun meminta teman dekatnya itu memberi tahu kepada ibunya. Di kemudian hari ketika akhirnya ia menjadi mualaf, sang ibu tersebut menjadi ibu angkatnya.
Ya, walaupun belum resmi menjadi Muslim, Rahmat saat itu sudah belajar berpuasa. Satu bulan penuh ia menjalankan ibadah Islam tersebut. “Boleh saya berpuasa, saya ‘diizinkan’ ikut puasa, sahur, dan buka puasa. Iftharnya disajikan ibu sahabat saya itu, yang akhirnya jadi ibu angkat saya. Tapi ya waktu itu sifatnya hanya ikut-ikutan saja," tutur dia.
Itulah pengalaman pertamanya berpuasa Ramadhan. Memasuki tahun berikutnya, ia justru ingin kembali berpuasa. Ibu sahabatnya itu membaca keinginan Rahmat itu sebagai tanda bahwa memang dirinya ingin mendalami Islam.
Maka, Rahmat pun diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Namun, jelas Rahmat, ibu angkatnya tidak pernah memaksa atau sengaja mempengaruhinya agar memeluk Islam. Sepenuhnya diserahkan kepada keputusannya sendiri. Apabila benar-benar bertekad kuat untuk mengkaji Islam, maka lebih baik bila menjadi Muslim.
Mulai saat itu, ia berkali-kali ke masjid. Hal itu dilakukannya terutama menjelang kumandang azan. Baginya, suara panggilan shalat itu membuat hatinya tenang.
Baginya, suara panggilan shalat itu membuat hatinya tenang.
Rahmat pun memeluk Islam. Waktu itu, usianya cukup belia, 13 tahun. Momennya mengucapkan dua kalimat syahadat terjadi beberapa hari sesudah lulus SMP. Prosesi itu dilangsungkan di Masjid Muhammadiyah, Jalan Pasundan, Medan.
Setelah bersyahadat, ibu angkatnya pun pernah berjanji, akan membantu Rahmat untuk mencari pesantren sehingga dia mendapatkan bimbingan dengan baik. Bagaimanapun, yang masih dipikirkannya adalah pertentangan dari orang tua.
Sesuai janji, ibu angkatnya pun mencarikan sebuah pesantren untuknya. Ternyata, lembaga itu memiliki syarat, tiap santri mesti lancar membaca Alquran dalam dua bulan. Hal itu sempat membuat Rahmat meragukan kemampuannya.
“Tapi, alhamdulillah, saya bisa membaca Alquran. Waktu itu, ibu angkat saya juga ikut membimbing,” kenangnya.
Pertentangan dari keluarga pun mampu dia hadapi. Baginya, iman dan Islam adalah perkara yang utama. Terusir dari rumah dan putus sekolah adalah risiko, tetapi tidak menjadi alasan untuk berpaling dari agama tauhid.
Saat itu keluarganya mengetahui tentang keislaman Rahmat. Tanpa pikir panjang mereka mendatangi ibu angkat Rahmat.
Kedua orang tuanya saat itu berpikir bahwa keislaman Rahmat adalah hasil hasutan ibu angkatnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, keduanya tetap bergeming. Maka, komunikasi antara orang tua dan anak itu sempat terputus.
Sampai Tanah Suci
Begitu lulus dari SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang didirikan seorang mualaf Tionghoa di Deli Serdang. Syukurlah, waktu dua bulan cukup baginya untuk mengasah kemampuan tadarus Alquran. Ia merasa sangat berterima kasih dengan para ustaz setempat dan juga ibu angkatnya.
Setelah lulus pondok pesantren, Rahmat berniat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, dia sempat ragu karena tidak memiliki biaya kuliah. Dia pun tak ingin membebani ibu angkatnya yang sudah cukup banyak membantunya.
Rahmat kemudian menemui kakak perempuannya yang pertama-tama menawarkannya ongkos kuliah. Tawaran itu bagaikan oasis di tengah padang sahara. Sayangnya, sang kakak menyimpan pamrih. Rahmat memang ditawari beasiswa, tetapi dengan syarat, dia harus kembali ke agama lama. Dengan tegas, Rahmat menolak hal itu.
Rahmat kemudian mencoba untuk mengikuti audisi dai muda di salah satu stasiun televisi swasta. Setelah lolos audisi untuk wilayah Medan, dia pun lolos hingga ke Jakarta. Namun, perjalanannya dalam proses tersebut hanya sampai pada delapan besar. Ia pun kembali ke daerah asal.
Karena tak juga menemukan kesempatan beasiswa, Rahmat dan seorang temannya mencoba peruntungan. Mereka merantau ke Jakarta. Pada 2014, berbekal kemampuan yang ada ia mendaftar beasiswa S-1 ke Madinah, Arab Saudi.
Setahun lebih dirinya menunggu, ternyata doanya dikabulkan Allah SWT. Rahmat dinyatakan lolos seleksi. Ia pun berangkat ke Tanah Suci bersama 90 peserta lainnya.
Ia pun berangkat ke Tanah Suci bersama 90 peserta lainnya.
Ia saat itu merasa, kemampuannya tidaklah setara dengan rekan-rekannya yang hafiz 30 juz Alquran. Bagaimanapun, Rahmat tetap optimistis karena pada faktanya ia pun ikut terpilih. Selama empat tahun Rahmat menempuh pendidikan di Kota Nabi.
Banyak ilmu dan keberkahan di sana. Setiap tahun, Rahmat bisa menjalan ibadah umrah dan haji tanpa biaya. Ia juga berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.
Begitu lulus dari kampusnya, ia kembali ke Tanah Air. Selama dirinya menempuh studi di luar negeri, ternyata hati kedua orang tuanya mulai luluh. Bahkan, mereka merasa bangga dengan prestasi yang dicapai Rahmat. Itu tentu saja membuatnya bahagia.
Sayangnya, orang tuanya wafat dalam keadaan tak kunjung mendapatkan hidayah dari Allah. Meski demikian, Rahmat tetap bersyukur karena silaturahim terjalin kembali. Bahkan, ada seorang kakaknya yang kemudian tergerak hati untuk memeluk Islam.
Setelah lulus kuliah 2019 lalu, Rahmat menetap di Jakarta dan telah menikah. Kini Rahmat menghabiskan waktunya untuk berdakwah di jalan Allah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.