IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

PPKM, Vaksinasi, dan Perekonomian

Kuncinya adalah penyadaran masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi vaksinasi.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, kegiatan ekonomi yang tidak esensial di Jawa-Bali praktis berhenti atau shutdown. Walau jumlah kasus Covid-19 telah menunjukkan penurunan ke angka sekitar 52 ribu, tetapi kita belum yakin betul bahwa penurunan ini akan terus berlanjut.

Penurunan angka kasus baru terjadi sekitar tiga hari saja. Mudah-mudahan ini bisa terus berlangsung selama sebulan sampai kita yakin tidak ada lagi kejutan seperti yang berlangsung selama sebulan terakhir. Akan tetapi, itu pun mungkin harus ditebus dengan kerja keras yang sangat disiplin. Syaratnya, PPKM Darurat masih harus diberlakukan untuk mencegah terjadinya ledakan jumlah kematian.

Tentu saja yang menjadi korban adalah aktivitas perekonomian. Kalau 70 persen aktivitas masyarakat di Jawa-Bali berhenti selama sebulan saja, maka potensi pertumbuhan ekonomi yang hilang adalah sekitar 0,5 persen. Itu kita belum menghitung perbedaan efeknya terhadap setiap sektor maupun wilayah. Semakin lama kita melakukan PPKM Darurat, semakin besar efeknya terhadap perekonomian.

Tetapi memang kita tidak memiliki alternatif yang lebih baik. Kalau PPKM Darurat tidak diberlakukan, mungkin saat ini jumlah kasus sudah tembus di atas 100 ribu per hari. Nah pada situasi yang demikian, pasti aktivitas perekonomian berhenti total tidak hanya di Jawa-Bali, tetapi di seluruh Indonesia.

 
Kalau PPKM Darurat tidak diberlakukan, mungkin saat ini jumlah kasus sudah tembus di atas 100 ribu per hari.
 
 

Aktivitas ekonomi akan berhenti tanpa harus diminta atau dipaksa oleh pemerintah. Kalau PPKM Darurat tidak dilaksanakan, maka toh akhirnya kita semua masyarakat di Indonesia tidak akan berani keluar rumah. Kita akan berhenti bekerja dan berbelanja.

Itulah yang dimaksud dengan voluntary shutdown. Pada saat yang bersamaan kita akan menyaksikan tetangga dan keluarga terdekat menjadi korban Covid-19. Sebagian akan tidak tertolong sama sekali. Tenaga kesehatan akan banyak meninggal, bukan hanya karena tertular penyakit, tetapi juga karena terlalu lelah menyelamatkan pasien. 

Intinya kalau kita ingin menyelamatkan perekonomian, syarat utamanya adalah kita harus bisa mengendalikan penularan Covid-19. Indikatornya bukan jumlah kasus, tetapi angka reproduksi atau actual reproduction number (Rt). Kalau Rt sudah berada di bawah satu selama 28 hari penuh, maka kita bisa bernapas lega untuk sedikit demi sedikit melakukan pengenduran PPKM.

Tentu potensi untuk terulangnya ledakan penularan masih tetap ada. Karena vaksinasi belum mencapai dua pertiga penduduk Indonesia, maka pengenduran PPKM akan berimplikasi pada meningkatnya kembali angka penularan.

Untuk beberapa bulan ke depan kita masih akan terus menghadapi risiko ini. Selama vaksinasi belum tuntas, kita harus mengandalkan modus pengetatan-pengenduran kegiatan masyarakat. Artinya selalu ada trade-off antara menyelamatkan nyawa atau ekonomi. Kita harus rela mengorbankan ekonomi untuk keselamatan jiwa kita.

 
Selama vaksinasi belum tuntas, kita harus mengandalkan modus pengetatan-pengenduran kegiatan masyarakat.
 
 

Namun, bukankah itu juga berarti akan mengakibatkan kelaparan dan kematian juga? Ya tentu.

Ingin saya tegaskan kembali bahwa hanya ada dua pilihan bagi kita sekarang ini. Kalau kita pilih PPKM, maka jumlah kasus Covid-19 relatif akan terkendali dan kita mengorbankan ekonomi sementara. Di lain pihak, kalau tanpa PPKM maka penularan akan meledak dan pada akhirnya ekonomi juga akan ambruk. Dua-duanya merupakan pilihan yang tidak menyenangkan atau unpleasant choices.

Mau yang mana kita pilih? Adakah alternatif yang lebih baik ketimbang dua pilihan tersebut. Sementara ini tidak ada. Sekali lagi saya tegaskan, sementara ini tidak ada jalan lain. Kita harus memilih salah satu di antara pilihan yang buruk.

Ceritanya akan lain kalau kita sudah selesai melaksanakan vaksinasi yang menciptakan herd immunity atau kekebalan bersama. Syaratnya, dua pertiga penduduk Indonesia harus kebal. Ini bukan perkara mudah dan perlu waktu. 

Walaupun kita sudah melakukan pengadaan untuk 137 juta dosis vaksin, tetapi hanya 54 juta dosis yang sudah digunakan. Artinya, per hari ini kita masih menghadapi dua masalah. 

Masalah pertama adalah masih jomplangnya antara kebutuhan dan pengadaan. Kalau kita ingin mencapai herd immunity, maka kita harus melakukan pengadaan minimal sampai 380 juta dosis vaksin. Masalah ini mungkin bisa kita pecahkan dalam beberapa bulan ke depan.

 
Penyuluhan dan penyediaan informasi publik merupakan prasyarat agar masyarakat faham dengan benar dan siap untuk divaksin
 
 

Masalah yang kedua justru mungkin agak sedikit rumit, yaitu masih rendahnya tingkat vaksinasi. Saat ini saja, ada sekitar 83 juta dosis vaksin yang belum disalurkan. Dalam banyak kasus, tantangan terbesarnya adalah justru kesiapan masyarakat untuk divaksin.

Masih banyak yang memandang bahwa vaksin tidak berguna dan bahkan berbahaya. Harus ada upaya yang lebih intensif untuk menyadarkan masyarakat. Penyuluhan dan penyediaan informasi publik merupakan prasyarat agar masyarakat faham dengan benar dan siap untuk divaksin. Kalau masih banyak beredar hoax dan berbegai penyesatan informasi, maka vaksin yang sudah kita impor akan percuma alias kedaluwarsa.

Sekali lagi, tanpa heard immunity melalui vaksinasi massal maka kita akan selalu menghadapi trade-off antara ekonomi dan penularan Covid-19. Jadi kuncinya sekarang adalah penyadaran masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi. Hanya melalui informasi dan pemahaman yang benar, masyarakat akan mengambil keputusan yang benar.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat