Resonansi
Saudi-Iran Makin Membaik, Israel Musuh Bersama
Ketegangan Saudi dan Iran merugikan kedua negara dan memengaruhi negara lain di kawasan.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Kawasan Timur Tengah terus bergerak. Mewabahnya Covid-19 dengan varian barunya, yang melanda semua negara, tak terkecuali di Timur Tengah, tak menghalangi antarnegara di kawasan saling berhubungan, entah secara langsung atau lewat Zoom.
Di antara pertemuan penting itu, menurut Aljazirah adalah antara Arab Saudi dan Iran. Aljazirah tidak menjelaskan apakah pembicaraan delegasi dua negara itu terlaksana lewat pertemuan langsung atau lewat Zoom.
Yang jelas, tulis media bermarkas di Doha, Qatar itu, di hari-hari terakhir Hassan Rouhani menjadi presiden, diplomat Iran aktif berhubungan dengan koleganya dari Saudi. Dalam waktu dekat, Rouhani menyerahkan jabatan ke presiden terpilih Ebrahim Raisi. Dari awal menjalin pembicaraan, dua negara sengaja memilih cara diam-diam.
Hubungan Saudi-Iran memanas enam tahun lalu. Kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada Januari 2016. Selama enam tahun itu Saudi dan Iran bak musuh bebuyutan. Pengucilan Qatar empat tahun lalu, lantaran berhubungan baik dengan Iran.
Arab Saudi menuduh Iran membuat kawasan tidak stabil, dengan interfensinya di beberapa negara Arab. Termasuk dukungan Iran pada Houthi di Yaman yang selama beberapa tahun ini berperang dengan Saudi. Bahkan Saudi menganggap Iran lebih berbahaya dari Israel.
Saudi ingin membangun hubungan ‘baik dan terhormat’ dengan tetangganya, Iran. MBS pun mengajak Houthi ke meja perundingan.
Namun, pada Mei lalu, dunia dikejutkan pernyataan Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman (MBS). Ia mengatakan, negaranya ingin membangun hubungan ‘baik dan terhormat’ dengan tetangganya, Iran. MBS pun mengajak Houthi ke meja perundingan.
Menanggapi pertanyaan apakah keputusan ke meja perundingan ada pada Houthi atau Iran, MBS menegaskan, tidak ada keraguan Houthi memiliki hubungan kuat dengan Iran. Namun, pada akhirnya Houthi adalah warga Yaman yang punya akar Arab dan Yaman.
Ia pun berharap ‘ke-Araban dan ke-Yamanan’ ini menjadi pertimbangan utama mereka. Beberapa hari sebelumnya, pada April, delegasi dua negara bertemu secara diam-diam di Baghdad, Irak.
Mengomentari pertemuan ini, juru bicara Pemerintah Iran, Ali Rabiei menyatakan, kedua belah pihak membahas isu-isu kontroversial dengan cara bersahabat. Rabiei tidak menampik ada beberapa perbedaan rumit dan penyelesaiannya perlu waktu.
Sejumlah pengamat menyatakan, isu terkait kedua negara, seperti pemulihan hubungan diplomatik hampir selesai dibicarakan. Namun, masih ada perbedaan isu regional, misalnya, soal Yaman dan pembentukan Pemerintah Lebanon.
Kedua belah pihak membahas isu-isu kontroversial dengan cara bersahabat.
Iran tampaknya ingin mendekatkan pandangan kedua pihak, Saudi dan Yaman (Houthi). Pembicaraan terus berlanjut di Muscat, Oman. Bila masalah Yaman bisa diselesaikan, menurut pengamat, soal Lebanon tinggal menunggu gilirannya.
Selama ini, Iran mendukung Hizbullah di Lebanon, sedangkan Saudi menyokong kelompok Muslim Suni yang dipimpin Saad Hariri. Yang terakhir ini, beberapa kali gagal membentuk pemerintahan Lebanon karena tidak didukung Hizbullah.
Persoalan lain yang agak berat adalah intervensi Iran di beberapa negara Arab, seperti Irak, Suriah, Yaman, Lebanon. Iran menganggap intervensi itu untuk menghadapi bahaya Israel, Saudi anggap memicu instabilitas Timur Tengah.
Melihat pembicaraan kedua negara yang penuh persahabatan, tampaknya berbagai perbedaan itu akan bisa dikesampingkan. Pada saat sama, kekhawatiran Iran terhadap bahaya Zionis Israel akan dapat dihilangkan, dengan jaminan Saudi.
Pada saat sama, kekhawatiran Iran terhadap bahaya Zionis Israel akan dapat dihilangkan, dengan jaminan Saudi.
Perubahan sikap Saudi dan Iran tidak lepas dari perubahan geopolitik Timur Tengah. Tepatnya kekhawatiran tentang dampak perubahan pendekatan baru AS pada masa Presiden Joe Biden, yaitu lebih fokus pada Asia Timur, untuk melawan pengaruh Cina.
Kekhawatiran itu mendorong Saudi dan Iran bekerja sama mengisi kesenjangan kekuatan setelah AS menarik diri dari kawasan. Mereka takut kekosongan perimbangan kekuatan itu diisi Israel dalam jangka panjang. Kedua negara tetap menganggap Israel musuh bersama.
Faktor lain yang mendorong kedua negara menjalin pembicaraan, tekanan maksimum dunia internasional telah gagal ‘menundukkan’ Iran. Di pihak lain, terjadi perubahan pendekatan Washington terhadap Riyadh. Dukungan AS pada Saudi tak sekuat sebelumnya.
Alasan berikutnya, kesadaran Iran konfliknya dengan beberapa tetangga Arabnya, menjadi salah satu dalih normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Israel.
Yang terpenting, pemimpin kedua negara telah mengayunkan langkah menyelesaikan krisis di antara mereka.
Iran ingin pemulihan hubungan dengan Saudi dan negara Arab lainnya menghentikan normalisasi ini. Sebab membuat bahaya Israel mencapai perbatasan keamanan Iran. Ketegangan Saudi dan Iran merugikan kedua negara dan memengaruhi negara lain di kawasan.
Namun, mengingat perbedaan mendalam Arab Saudi dan Iran, jangan harap terjadi kemajuan pesat dalam waktu singkat. Yang terpenting, pemimpin kedua negara telah mengayunkan langkah menyelesaikan krisis di antara mereka.
Langkah mencapai kesepakatan bukanlah kekalahan dan kerugian di salah satu pihak. Bahkan langkah itu sudah bisa ikut menenteramkan kawasan Timur Tengah yang terus bergolak. Salah satu di antara Arab Saudi dan Iran ‘batuk’ saja, pengaruhnya bisa ke mana-mana.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.