Tema Utama
Mengenal Pendiri Asy’ariyah
Abu Hasan al-Asy’ari melihat titik lemah argumentasi Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada abad keempat Hijriyah, seorang ulama besar menyebarkan ajarannya. Dialah Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Manhaj yang dibentuknya tampil membela Ahlussunnah wal Jamaah dengan kalam.
Asy'ariyah Pembela Aswaja
Dalam sejarah Islam, ada banyak sosok yang berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan agama. Di ranah teologi, ketokohan Abu Hasan al-Asy’ari telah diakui luas bahkan hingga saat ini.
Pemikiran dan keteladanannya memberikan pengaruh yang signifikan untuk kaum Muslimin, terutama ahlussunnah wal jama’ah (aswaja). Bagi pengikut teologi aswaja, ulama kelahiran Basrah (Irak) tersebut dijuluki sebagai penyelamat umat dari pelbagai paham yang menyimpang, semisal Mu’tazilah atau Rafidhah.
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Ismail. Nasabnya sampai kepada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Musa al-Asy’ari. Mengenai figur tersebut, ada hadis yang diriwayatkan al-Hakim.
Suatu hari, Abu Musa membaca Alquran surah al-Maidah ayat 54, yang artinya, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” Mendengar itu, Rasulullah SAW pun bersabda, “Mereka (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah kaummu, wahai Abu Musa.”
Abu Hasan al-Asy’ari lahir pada 260 Hijriyah atau 873 Masehi. Sejak masih kecil, ia telah ditinggal wafat ayah kandungnya, yang merupakan seorang ahli hadis.
Menjelang ajal, sang ayah berwasiat agar putranya itu diasuh oleh seorang pakar fikih mazhab Syafii di Basrah, yakni Syekh Zakariya as-Saji.
Menjelang ajal, sang ayah berwasiat agar putranya itu diasuh oleh seorang pakar fikih mazhab Syafii di Basrah, yakni Syekh Zakariya as-Saji. Hingga usia remaja, anak yatim ini sudah menimba ilmu-ilmu agama dari banyak sumber.
Guru-gurunya tidak hanya Syekh as-Saji, tetapi juga Syekh Abdurrhaman bin Khalaf al-Dhabbi, Syekh Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi, dan lain-lain.
Sewaktu berumur 10 tahun, al-Asy’ari mulai bersentuhan dengan Mu’tazilah. Itu berawal dari pernikahan ibunya dengan seorang ulama Mu’tazilah, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba’i.
Kedekatan dengan ayah tiri itu menjadi sebuah perdebatan tersendiri di kalangan sejarawan dan penulis biografi hingga saat ini. Apakah dengan begitu sang alim sempat menjadi pengikut Mu’tazilah? Bila demikian, apa yang kemudian membuatnya “membelot” dari aliran tersebut?
Khohari dalam penelitiannya yang berjudul “Studi Kritis Terhadap Pemikiran Teologi al-Asy’ari” (1995) menjelaskan pandangan beberapa penulis. CA Qadir (1991), kutipnya, mengatakan bahwa al-Asy’ari pernah menimba ilmu dari al-Jubba’i untuk jangka waktu yang lama.
Bahkan, disebutnya al-Asy’ari muda sempat sangat setia pada paham Mu’tazilah. Karena kesetiannya itu, dia sering ditunjuk sebagai guru pengganti oleh al-Jubba’i sewaktu-waktu ulama tersebut berhalangan hadir dalam suatu majelis. Bahkan, ia digadang-gadang sebagai penerus ulama Mu’tazilah tersebut lantaran tingkat kecerdasannya yang tinggi.
Sementara itu, Muhammad Tholhah al-Fayyadl dalam tulisannya, “Benarkah Imam Abu al-Hasan-al-Asy’ari Mantan Ulama Mu’tazilah?” (2021) mendebat keterangan tersebut. Mengutip akademisi Universitas al-Azhar Dr Jamal Farouq ad-Daqqad, setidaknya ada tiga kejanggalan apabila al-Asy’ari dikatakan pernah menjadi seorang dai penganjur aliran tersebut.
Tidak ada satu pun ulama Mu'tazilah di Basrah yang mengakui pernah mendalami ajaran-ajaran Mu'tazilah kepada al-Asy’ari.
Pertama, tidak ada satu pun ulama Mu'tazilah di Basrah yang mengakui pernah mendalami ajaran-ajaran Mu'tazilah kepada al-Asy’ari. Kedua, al-Asy’ari tidak memiliki dan menghasilkan satu pun buah pemikiran dalam sekte tersebut. Ketiga, namanya tidak tercatat dalam suatu kumpulan biografi ulama-ulama Mu’tazilah, semacam kitab Thabaqat al-Mu’tazilah karya Ahmad bin Yahya bin al-Murtadhq.
Memang, pada faktanya ibunda al-Asy’ari menikah dengan al-Jubba’i. Al-Asy’ari pun tumbuh bersama ulama penganut Mu’tazilah ini. Akan tetapi, menurut al-Fayyadl, hal itu tidak sedikit pun mengubah kecondongannya terhadap paham aswaja. Malahan, sering kali dirinya mendebat sang ayah tiri tentang persoalan yang sukar dijelaskan dalam alur logika Mu’tazilah.
Kata Syekh Ibnu Asakir dalam kitab Tabyiin Kadziib al-Muftari, “Terlepasnya ia (al-Asy’ari) dari paham Mu'tazilah sudah sangat jelas. Perdebatannya dengan gurunya, Syekh al-Jubba’i, sangat masyhur. Penolakannya terhadap pemikiran al-Jubba’i dalam banyak perdebatan sering disebut dalam sejarah.”
View this post on Instagram
Ragukan Mu’tazilah
Pada masa itu, tongkat kepemimpinan umat berada di tangan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Dari satu era khalifah ke khalifah lainnya, kaum Mu’tazilah dapat terus bertahan. Bahkan, mereka sempat dibela para penguasa Abbasiyah yang tertarik pada ajarannya.
Periode ketika kalangan ekstremis ini begitu berjaya disebut sebagai Era Mihnah (zaman persekusi). Siapapun yang berseberangan paham dengan Mu’tazilah akan dihukum pemerintah. Misalnya, mereka yang menolak khalq al-Qur’an atau status Alquran sebagai makhluk. Salah satu ulama besar yang pernah merasakan pahitnya siksaan rezim pro-Mu’tazilah ialah Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali.
Pada tataran teologis, Mu’tazilah memandang, pengesaan diri Allah berarti peniadaan sifat-sifat-Nya. Menurutnya, Allah Maha Esa. Satu-satunya sifat—selain esa—yang menurut mereka bisa disematkan kepada Allah ialah Maha Adil.
Allah bersikap adil dan bijaksana sehingga tidak dapat berbuat zalim. Paham kemaha-adilan Allah menghendaki agar manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui daya yang diciptakan Allah dalam dirinya. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya.
Hingga berusia dewasa, Abu Hasan al-Asy’ari terus mengkaji ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sampai suatu hari, tatkala usianya genap 40 tahun, dia mulai terpikir akan titik lemah aliran ini.
Ia pun bertanya kepada al-Jubba’i mengenai keyakinan kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan yang dapat dimengerti dalam batas-batas manusia. Dialog antara bapak dan anak tiri, atau guru dan murid ini dikutip Majid Fakhry dalam A History of Islamic Philosophy (1986).
“Bagaimana nasib tiga bersaudara ini di akhirat? Si sulung meninggal dalam keadaan baik atau husnul khatimah. Si tengah mati dalam kondisi berdosa. Adapun si bungsu wafat sebelum mencapai akil baligh atau usia dewasa,” tanya al-Asy’ari.
“Si sulung masuk ke dalam surga. Yang berdosa masuk ke dalam neraka. Adapun yang ketiga berada dalam posisi pertengahan,” jawab al-Jubba’i.
“Bagaimana jika si bungsu menuntut kepada Allah agar diizinkan bergabung dengan saudara tertuanya yang lebih beruntung (masuk surga)?” tanya sang murid lagi.
“Tuntutan itu ditolak karena si sulung diizinkan ke surga berkat amal-amalnya yang saleh selama di dunia.”
“Bagaimana kalau bungsu itu mengajukan protes, ‘Jikalau saja aku diberikan umur panjang, tentu akan hidup dengan banyak berbuat kebaikan?' Lalu, Tuhan mengatakan, ‘Aku dapat meramalkan bahwa kamu tidak akan berbuat seperti itu dan, karena itu, aku lebih suka menghindarkan engkau dari siksaan yang kekal dalam neraka'."
Lantas, saudara yang mati dalam keadaan jelak (husnul khatimah) berseru, ‘Wahai Tuhan, tentu Engkau telah meramalkan keadaanku, tetapi mengapa Engkau tidak memperlakukanku sebaik yang telah Engkau lakukan terhadap saudaraku?’ (Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa penduduk neraka juga menyahut percakapan ini: ‘Wahai Tuhan, mengapa Engkau tidak mematikan kami saja sebelum kami menjadi orang-orang yang durhaka kepada-Mu?’),” tutur al-Asy’ari.
Al-Jubba’i kemudian tidak bisa mengatakan apa yang mungkin menjadi jawaban Tuhan atas sanggahan tersebut, yakni berdasarkan asumsi Mu’tazilah tentang keadilan Allah. Sejak saat itu, al-Asy’ari mulai ragu-ragu terhadap Mu’tazilah. Bahkan, lelaki Basrah ini sampai mengurung diri dalam rumahnya selama dua pekan berturut-turut,
Seperti dinukil dari al-Fayyadl dari kitab karangan Ibnu as-Sakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, al-Asy’ari menuturkan pengalamannya dalam saat-saat krusial tersebut. Bahkan, diakuinya sempat ia mengalami mimpi berjumpa Nabi SAW.
“Tebersit dalam hatiku beberapa permasalahan dalam ilmu akidah. Aku pun berdiri untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Aku lalu memohon kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk untukku menuju jalan yang lurus. Lantas, aku pun mengantuk dan tertidur.
Tak lama kemudian, aku mimpi bertemu Rasulullah SAW. Kuadukan beberapa permasalahan kepada beliau. Rasulullah SAW mewasiatkan, ‘Tetapilah sunnah-ku.’ Aku pun terjaga dan segera membandingkan beberapa permasalahan ilmu akidah dengan dalil-dalil yang kutemukan dalam Alquran maupun hadis. Aku menetapinya dan membuang selainnya di balik punggungku,” tutur al-Asy’ari.
Mimpi bertemu Rasulullah SAW itu menjadi motor baginya untuk mantap meninggalkan Mu’tazilah.
Mimpi tersebut menjadi motor baginya untuk mantap meninggalkan Mu’tazilah. Maka selama menyendiri dalam rumahnya, al-Asy’ari sibuk menelaah kitab-kitab, berpikir, dan menulis. Naskah-naskah yang ditulisnya kemudian dihimpunnya untuk ditunjukkan kepada jamaah sekalian.
Setelah 15 hari lamanya, ia pun kembali ke masjid. Orang-orang sudah menunggu kemunculannya. Usai memimpin shalat, al-Asy’ari naik ke mimbar untuk berpidato.
“Wahai sekalian masyarakat,” katanya, “berhari-hari aku menjauh dari kalian karena ingin meneliti beberapa permasalahan akidah. Aku meminta petunjuk kepada Allah. Maka, Dia pun memberikanku petunjuk kepada keyakinan, yang telah kutuliskan dalam lembaran-lembaran ini. Dan aku menyatakan sejak saat ini, kuberlepas diri dari seluruh akidah menyimpang yang kuyakini selama ini. Aku berlepas darinya, sebagaimana kulepaskan kain ini (al-Asy’ari menanggalkan kain pakaian yang dikenakannya, sebagai isyarat kebulatan hati –Red).”
Sesudah peristiwa itu, al-Asy’ari menjadi peletak dasar-dasar metodologi (manhaj) yang dikenal dengan sebutan Asy’ariyah. Bersama dengan Maturidiyah, yang digagas seorang alim dari Asia Tengah Imam Abu Mansur al-Maturidi, mereka menjadi representasi dari teologi mayoritas ulama, dari masa ke masa. Keduanya pun didaulat hingga kini sebagai imam besar aswaja.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.