Opini
Air Jakarta Juga Butuh Hunian
Konflik kepentingan ruang antara manusia dan air terjadi ketika ruang milik air diokupasi manusia.
IWAN SETIAWAN, Anggota Komisi Pembangunan dan Lingkungan Hidup Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi DKI Jakarta
Sudah kodratnya air berada di dataran rendah. Konflik kepentingan ruang antara manusia dan air terjadi ketika ruang milik air “diokupasi” manusia dengan dalih tuntutan kebutuhan kependudukan.
Persoalan muncul ketika air kembali menempati ruangnya saat musim penghujan. Ironisnya, air yang sebenarnya korban justru dituding penyebab musibah. Ruang-ruang air di darat di banyak tempat, telah menjadi sumber konflik kepentingan ruang antara manusia dan air.
Dalam kasus semacam ini, ruang untuk air selalu dikalahkan demi kepentingan manusia. Peningkatan ruang terbangun menyebabkan pengurangan ruang terbuka terutama di daerah perkotaan. Banyak lahan hijau, situ-situ, daerah resapan, dan tempat tinggal air telah hilang.
Setiap tahun angka jumlah penduduk semakin besar yang menambah kepadatan penduduk. Dalam kurun 2010-2020, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju 1,25 persen per tahun. Sebaran penduduk masih terkonsentrasi di Jawa.
Meskipun luas geografisnya hanya sekitar tujuh persen dari seluruh wilayah Indonesia, Jawa dihuni 151,59 juta penduduk atau 56,10 persen penduduk Indonesia. Pertambahan penduduk tiap tahun diikuti peningkatan kebutuhan akan hunian manusia beserta penunjang, sementara lahan yang tersedia terbatas, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara permintaan lahan dan ketersediaan lahan.
Pertambahan penduduk tiap tahun diikuti peningkatan kebutuhan akan hunian manusia beserta penunjang, sementara lahan yang tersedia terbatas.
Jakarta, kota seluas 661,5 kilometer persegi, penduduknya diproyeksikan pada 2025 berkisar 10.892.000 jiwa. Saat ini, ruang terbangunnya hampir menutupi seluruh wilayah. Penggunaan ruang Jakarta diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pada awalnya, Rencana Induk 1965-1985 mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Kemudian, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 mulai mengatur pengembangan hanya ke arah timur dan barat, mengurangi tekanan pembangunan di utara, pembangunan di wilayah selatan mulai dibatasi karena daerah resapan.
Lalu, pada 1999, diterbitkan RTRW 2010, rancangan arah pengembangan kota berubah. Selain pengembangan ke arah timur dan barat, pembangunan justru juga diarahkan ke utara yang sebelumnya dibatasi.
Kini, RTRW 2030, arah pembangunan diarahkan secara vertikal, pengembangan pembangunan tetap dengan membatasi pertumbuhan di wilayah selatan. Namun, meskipun sudah diatur dalam RTRW, penyimpangan di lapangan masih terjadi.
Ruang Terbuka Biru, bukan pelengkap
Dalam RTRW Jakarta 2030, dicanangkan target peningkatan Ruang Terbuka Biru (RTB) pada 2030 seluas paling sedikit 5 persen dari luas wilayah. RTB merupakan lanskap badan air yang berbentuk aliran sungai, kanal, danau, waduk, embung, situ, empang, kolam atau balong.
Terdapat 55 waduk/situ yang terletak di berbagai wilayah Jakarta dengan total luas 2,74 kilometer persegi atau 0,42 persen luas wilayah Jakarta, luasan yang sangat kurang sekali. Bandingkan dengan Singapura (negara seluas 752 kilometer persegi) yang mempunyai RTB seluas 7,5 persen.
RTB sesungguhnya bukan menjadi pelengkap dalam suatu perencanaan, tapi zona wajib dalam membentuk atmosfer ekologis dalam suatu wilayah yang berfungsi sebagai penyimpan air (sumber air baku), media untuk pendinginan udara kota, tempat konservasi keanekaragaman hayati, produksi perikanan air tawar, pemasok air irigasi pertanian, pembangkit listrik, sarana transportasi, serta memberi keindahan pemandangan yang berpotensi sebagai tempat wisata.
Selain itu, bisa memanfaatkan pengembangan RTB sebagai pengendali banjir di tengah semakin menyempitnya daerah resapan air. Bahkan, integrasi antara RTB dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dilakukan dengan pemanfaatan rekayasa keilmuan dan pemanfaatan lahan yang baik.
Singapura, dua pertiga dari wilayahnya dijadikan sebagai daerah tangkapan air.
Simak bagaimana negara lain melakukan kegiatan konservasi airnya. Singapura, dua pertiga dari wilayahnya dijadikan sebagai daerah tangkapan air, menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit negara di dunia yang memanen air hujan perkotaan dalam skala besar untuk konsumsi.
Sebagian besar air hujan yang jatuh di Singapura dialirkan melalui selokan, kanal, sungai dan kolam ke 17 waduk untuk penyimpanan dan kemudian diolah menjadi air minum. Untuk mencegah kontaminasi, air kotor dikumpulkan di sistem pembuangan limbah bawah tanah yang terpisah.
Thailand, masyarakatnya secara tradisional mengumpulkan air hujan dan menggunakannya secara eksklusif untuk minum dan memasak. Orang di sana lebih suka air hujan daripada air lainnya.
Hujan ditampung dalam tangki guci. Wadah tersebut didatangkan dalam berbagai kapasitas dilengkapi dengan tutup, keran, dan tirisan. Mereka menyimpan air hujan dalam volume yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air selama musim kering yang berlangsung hingga enam bulan. Dengan demikian masyarakatnya memiliki akses air bersih sepanjang tahun.
Thailand, masyarakatnya secara tradisional mengumpulkan air hujan dan menggunakannya secara eksklusif untuk minum dan memasak.
Tengok lagi keadaan sungai-sungai di Jakarta. Meskipun dianugerahi dengan banyak sungai, 13 sungai alam dan 4 sungai buatan, tetapi perhatian terhadap daerah aliran sungai masih sangat perlu ditingkatkan. Paradigma pembangunan kota selama ini dominan berorientasi di darat, menempatkan sungai hanya sebagai halaman belakang saja.
Dinyatakan dalam Permen PUPR 28/2015 bahwa garis sempadan sungai untuk sungai berkedalaman 3 sampai dengan 20 meter adalah 15 meter di kiri dan kanan sungai. Namun ini sulit diterapkan karena kompleksitas persoalan yang dihadapi.
Ciliwung, misalnya, sungai di tatar Pasundan yang melintasi Jakarta, sepanjang bantarannya dipenuhi banyak sekali hunian manusia. Okupasi sempadan sungai Ciliwung sudah berlangsung sejak lama, mudah ditemui sejak dari kawasan Bogor, Depok, hingga Jakarta.
Radical re-thinking dalam pengelolaan air
Pengujian terhadap kualitas air sungai dan waduk di Jakarta dari waktu ke waktu selalu menunjukkan adanya pencemaran limbah domestik. Sementara, ketergantungan Jakarta terhadap pasokan air bersih dari luar Jakarta tinggi sekali. Hanya sungai Krukut dan Cengkareng Drain yang digunakan untuk memasok kebutuhan 5,7 persen air bersih warga Jakarta.
Sisanya sebesar 94,3 persen dipasok dari waduk Jatiluhur, Instalasi Pengolahan Air (IPA) Serpong dan IPA Cikokol. Itu pun baru melayani 60 persen warga Jakarta, 40 persen sisanya memperoleh akses air bersih dari pedagang air keliling atau eksploitasi air tanah. Hal ini menegaskan bahwa sistem pengolahan air limbah domestik setempat yang terintegrasi dan terpusat mendesak untuk segera direalisasikan.
Padahal, ada sungai yang mengalirkan airnya, ada waduk yang menyimpankan airnya, ada hujan yang mengirimkan airnya langsung ke rumah warga. Namun anugerah yang banyak tersebut masih sedikit sekali dimanfaatkan.
Ketergantungan Jakarta terhadap pasokan air bersih dari luar Jakarta tinggi sekali.
Idealnya, daerah-daerah tangkapan air itu dikembalikan fungsinya. Menambah area RTB secara fisik tampaknya sulit dilakukan. Karena itu, eksplorasi lebih lanjut dalam perencanaan sumber daya air harus terus dilakukan. Perlu radical re-thinking untuk menemukan solusi lainnya.
Bagaimana menyiasati ruang terbangun yang sudah ada, misalnya, saat musim hujan dapat memanfaatkan atap rumah warga sebagai roof catchment yang mengalirkan air ke tangki penyimpanan. Sebagai ilustrasi, sebuah hunian yang mempunyai atap seluas 36 meter persegi, jika mendapat curah hujan sedang sebesar 30 mm/hari, maka akan dapat menampung 1.080 liter air hujan pada hari itu. Volume sebesar itu sudah lebih dari cukup untuk pemenuhan kebutuhan akan air bagi 7 jiwa (kebutuhan air per orang diasumsikan 144 liter/hari).
Sinergitas kebijakan pengelolaan air
Hujan akan terus datang kembali setiap tahun. Karena itu, di samping upaya mengembalikan dan menambah RTB, perlu kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap penyediaan hunian bagi manusia juga harus menyertakan hunian bagi air di dalamnya. Banyak teknologi tepat guna yang relatif murah dan sederhana yang bisa diaplikasikan.
Sebaiknya Jakarta menambahkan satu regulasi lagi tentang penyediaan penampungan air hujan di setiap hunian untuk melengkapi produk hukum yang sudah ada, yaitu Peraturan Gubernur No 20/2013 tentang Sumur Resapan dan Instruksi Gubernur No 131/2018 tentang percepatan pembangunan drainase vertikal di lahan Pemprov DKI Jakarta, dengan mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 12/2009 tentang tata cara pemanfaatan air hujan, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 11/PRT/M/2014 tentang pengelolaan air hujan pada gedung dan persilnya.
Sinergitas berbagai pihak disyaratkan untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan.
Sinergitas berbagai pihak disyaratkan untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan. Di antaranya, pertama, pemerintah sebagai regulator, juga memiliki peran dalam mengkoordinasi para pemangku kepentingan. Kedua, peneliti sebagai pelaksana kajian ilmiah, sumber pengetahuan teknologi yang relevan.
Ketiga, unsur bisnis, berperan sebagai enabler, menghadirkan infrastruktur. Keempat, komunitas, berperan sebagai akselerator, merupakan orang-orang yang memiliki minat yang sama, melakukan sosialisasi dan pendampingan ke masyarakat. Kelima, media massa, berperan untuk membangkitkan perhatian, memprovokasi aksi konstruktif.
Bukan tidak mungkin, jika hal-hal seperti ini dapat diimplementasikan secara masif, pengeluaran pemerintah untuk penyediaan air bersih menjadi semakin efisien karena masyarakat aktif memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
*) Tulisan merupakan pandangan pribadi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.