Tajuk
Bukan Soal Dua Juta Kasus
Kalau kita hanya bicara angka, dua juta kasus infeksi di negara ini bukanlah angka besar.
Kasus Covid-19 tembus dua juta. Lalu apa? Kalau kita hanya bicara angka, dua juta kasus infeksi di negara ini bukanlah angka besar. Kurang dari satu persen jumlah penduduk. Dibandingkan negara lain pun demikian.
Masih ada negara lain yang kasus infeksinya jauh melampaui Indonesia. Dengan tingkat kegawatan yang juga lebih parah. Amerika Serikat, Cina, India, Brasil, misalnya.
Secara statistik, angka dua juta kasus Covid-19 di Indonesia ataupun indikator yang lainnya: Angka kematian akibat Covid-19, jumlah orang yang sembuh, percepatan orang sembuh dengan yang terinfeksi dan meninggal, pun bisa terlihat kecil dibandingkan indikator internasional lainnya.
Menjadi agak kurang relevan. Kecuali memang kasus Covid-19 yang menjangkiti umur anak-anak. Negara ini masuk jawaranya, baik itu kasus maupun korban meninggal.
Kita membutuhkan perspektif lain, terlepas dari kutak-katik angka ini. Publik jangan justru seperti mengulang pernyataan sejumlah pejabat negara ini pada tahun lalu. Ketika awal Covid-19 menerpa. Bagaimana para pejabat itu bisa menggampangkan situasi dengan menyatakan jumlah korban tewas belum sampai ratusan, jangan terlalu khawatir, hingga akhirnya kegawatan itu tiba.
Covid-19 bukan sekadar angka, apalagi penyakit. Ada banyak sekali faset di situ. Covid-19 adalah soal hidup kita saat ini. Yang belum terinfeksi, yang sudah terinfeksi, yang kembali terinfeksi, yang masih bandel tak pakai masker, yang tetap berkeliaran tanpa protokol kesehatan, yang menyepelekan, yang menganggapnya konspirasi barat sampai timur.
Covid-19 bukan sekadar angka, apalagi penyakit. Ada banyak sekali faset di situ.
Covid-19 ini adalah soal pemerintahan pusing tujuh keliling. Dengan anggaran tekor, harus berutang ribuan triliun rupiah, menghidupi rakyatnya yang jatuh miskin, terancam kehilangan satu generasi karena sistem pendidikan berantakan, kebijakan yang mencla mencle, pagi tegas-siang tegas-malam dianulir, pejabat yang satu berbicara harus A, tapi pejabat lainnya mengatakan sebaliknya, para tokoh tidak memberikan contoh yang patut ditiru, dan banyak sebagainya.
Covid-19 juga soal bagaimana ternyata sistem kesehatan kita dibangun selama ini. Jumlah dokter dan perawat yang tidak merata antara Jawa dan luar Jawa, fasilitas kesehatan yang akhirnya terkuak tidak sepantasnya, soal pembayaran tunjangan kesehatan yang telat, soal kegawatan harus menyelamatkan siapa terlebih dulu di ruang rawat intensif, sementara pengobatan dan ranjang terbatas.
Penyakit ini harusnya membuat kita semakin reflektif. Meningkatkan rasa kemanusiaan antarsesama. Bergerak saling bantu, saling jaga. Karena, misal, hal paling sederhana saja, seperti memakai masker atau menjaga jarak, menjadi amat berarti bagi kita dan orang di sekitar kita.
Kita tidak memakai masker maka probabilitas kita tertular Covid-19 menjadi semakin tinggi, kemudian kemungkinan kita menularkannya ke orang lain, sanak saudara, tetangga, teman kantor, akan lebih besar. Bagaimana terkadang bisa kita menjadi egois dengan mengenyampingkan hal sepele seperti ini, hanya karena enggan?
Penyakit ini harusnya membuat kita semakin reflektif. Meningkatkan rasa kemanusiaan antarsesama. Bergerak saling bantu, saling jaga.
Covid-19 bisa menjadi tiga juta kasus, empat juta kasus, bahkan belasan atau puluhan juta kasus, dan kita justru kehilangan rasa kemanusiaan itu. Pemerintah bisa saja menerapkan lockdown, atau apa pun nama singkatan kebijakan yang aneh-aneh.
TNI-Polri bisa diturunkan total untuk menjaga daerah-daerah zona merah yang kritis. Dokter bisa ditambah. Perawat bisa didatangkan. Ranjang rumah sakit bisa dipesan lebih banyak. Kamar rawat bisa cepat dibangun. Tabung oksigen bisa dipesan berulang-ulang.
Namun, kehilangan rasa kemanusiaan kita, tidak menyadari bahwa Covid-19 ini adalah masalah kita semua, bukan masalah pemerintah atau dokter, atau rumah sakit, justru akan membawa bangsa ini ke belakang. Terperosok ke dalam kepentingan kelompok masing-masing, yang harus dijaga selama pagebluk berlangsung.
Harus ada kelompok yang menang, dan harus ada kelompok yang kalah. Publik ada di mana? Publik adalah korbannya. Kehilangan ayah, ibu, suami, istri, mertua, anak, saudara, tetangga, rekan kantor, dan lain sebagainya.
Selamat memperingati kasus dua juta Covid-19. Kita berharap, penyakit ini berhenti secepatnya. Tidak mencapai angka tiga juta kasus pada akhir tahun. Bangsa ini membutuhkan seluruh energi positif dari rakyatnya bersama-sama. Bersatu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.