Nasional
Pimpinan KPK tak Penuhi Panggilan Komnas HAM
Komnas HAM berikan kesempatan kedua pimpinan KPK.
JAKARTA -- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Selasa (8/6). Sedianya Ketua KPK Firli Bahuri dan para wakilnya diperiksa terkait laporan dugaan pelanggaran HAM dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN itu menjadi polemik karena diduga sebagian pihak sebagai akal-akalan menyingkirkan sejumlah orang profesional di KPK.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Firli Bahuri dkk sedianya diklarifikasi terkait polemik tersebut. Pemeriksaan pimpinan KPK setelah sejumlah pegawai KPK, baik yang lulus TWK maupun tidak lulus telah diminta keterangannya.
"Kami akan cross check itu, apakah informasi ini benar atau tidak. Kalau misalnya sebaliknya, kita juga akan tanya, sebenarnya kebijakan terkait dengan TWK ini seperti apa. Untuk nanti pada akhirnya menguji apakah ada standar, norma, prinsip hak asasi yang dilanggar atau tidak," jelas Taufan di kantornya, Selasa (8/6).
Namun, Komnas malah menerima surat konfirmasi dari KPK terkait ketidakhadiran Firli Bahuri maupun empat wakil ketua KPK. Taufan sempat mengharapkan ada perwakilan dari Pimpinan KPK sebagaimana dilakukan para pejabat instansi lainnya yang berhalangan. Namun, perwakilan itu tak pernah muncul sepanjang Selasa.
"Ini hal biasa, Anda lihat tempo hari Kapolda Metro dipanggil kemari, Kapolda Kaltim dipanggil kemari. Kita juga pernah panggil Pak Nadiem Makarim. Nadiem Makarim itu pernah dipanggil Komnas HAM, walaupun waktu itu beliau tidak bisa, beliau kirim Dirjen kan untuk menjelaskan ada satu aduan dari kelompok manusia, katanya ada pelanggaran hak asasi terkait kebebasan berekspresi mereka," kata Taufan
Alih-alih mengirim perwakilan, pimpinan KPK malah meminta Komnas HAM menjelaskan rencana pemeriksaan tersebut. "Pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, pimpinan dan sekretaris jenderal KPK telah menerima surat dari Komnas HAM itu sejak 2 Juni 2021 terkait aduan TWK pegawai KPK. Sementara, surat tanggapan pemanggilan itu dikirim pada Senin (7/6).
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M Choirul Anam mengatakan, pihaknya masih memberikan kesempatan kepada Pimpinan KPK untuk mengklarifikasi polemik TWK pada Rabu (9/6). Sebab, hingga kini pihaknya belum membuat kesimpulan. "Jadi kalau hari (Selasa) ini pimpinan KPK belum datang, kami tetap memberikan kesempatan," kata Anam, Selasa (8/6).
Anam menjelaskan, sejak awal pihaknya telah membentuk tim penyelidikan untuk mengusut pengaduan 75 pegawai KPK. Di mana, 51 pegawai di antaranya akan diberhentikan pada 1 November mendatang. Hingga kemarin, timnya telah meminta keterangan kepada 19 pegawai KPK terkait TWK. Mereka juga telah menerima sejumlah dokumen sebanyak tiga bundel.
Menurut dia, bukan pimpinan KPK saja yang dikirimi surat pemanggilan pada 2 Juni lalu, tapi ada 10 surat. Komnas HAM juga menyiapkan surat pemanggilan terhadap lima pihak lain yang termasuk dalam konstruksi peristiwa.
"Kami membuka diri untuk itu dan besok (Rabu) ada pemeriksaan. Jadi beberapa pihak yang kami panggil itu berkomitmen datang ke Komnas HAM, mulai jam 10 sampai selesai," kata Anam.
Preseden buruk
Sikap pimpinan KPK yang mengirim surat balasan kepada Komnas HAM dinilai akan menjadi preseden buruk. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan melihatnya sebagai bentuk arogansi Firli dkk.
"Jelas ini bentuk arogansi KPK, nanti akan berbalik senjata makan tuan. Kalau nanti orang dipanggil KPK akan mengirim surat balasan untuk menjelaskan apa perkara korupsinya," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Selasa.
Ia meminta pimpinan KPK tidak perlu takut memenuhi panggilan tersebut karena hanya bersifat klarifikasi dari laporan 75 pegawai korban TWK. Menurutnya, kesempatan itu seharusnya dimanfaatkan pimpinan KPK.
Sementara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo mendukung langkah pimpinan KPK. Menurutnya, TWK tak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM. "Apa urusan kewarganegaraan itu urusan pelanggaran HAM," ujar Tjahjo.
Perkuat KPK
Pengamat hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, Presiden Joko Widodo dan DPR harus membuat undang-undang (UU) baru untuk melarang institusi Kejaksaan dan Kepolisian untuk bergabung di KPK. Menurut dia, KPK menjadi rumit seperti sekarang karena institusi yang bermasalah bergabung dan menguasai KPK.
Pelarangan dua institusi itu dinilai dapat membuat KPK tetap independen dan tidak dicampuri oleh koruptor. "Jika membaca UU No 30 Tahun 2002 tentang pembentukan KPK, di dalam dasar-dasar pembentukan ini terjadi karena aparat kepolisian dan kejaksaan bermasalah. Lalu, yang terjadi institusi yang bermasalah ini masuk ke KPK. Jadinya, sekarang terjadi berbagai penyerangan, bukan solusi," katanya kepada Republika, Selasa (8/6).
Masalah lain yang dihadapi KPK saat ini adalah para koruptor yang merasa dirugikan dan melakukan berbagai penyerangan ke KPK. "Harus ada pembentukan UU baru dari Presiden dan DPR jika ingin KPK seperti dulu kala. Kalau tidak, KPK yang dasarnya baik untuk memberantas korupsi, di institusi yang bermasalah malah menjadi institusi yang dicampuri koruptor," kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menduga dalang pelemahan KPK adalah para koruptor yang dendam atau yang merasa takut perbuatannya akan ketahuan. Pernyataan Mahfud memperkuat dugaan pelemahan KPK lewat proses alih fungsi status pegawai menjadi ASN.
"Orang yang merasa punya data lain, mungkin koruptor-koruptor bener yang dendam, koruptor yang belum ketahuan, tapi takut ketahuan, ini sekarang bersatu hantam itu (KPK)," ungkap Mahfud dalam dialog terbuka yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui akun Youtube UGM, Senin (7/6).
Dalam acara diskusi KPK the Endgame pada Sabtu (5/6), Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati memandang polemik penyingkiran 75 pegawai KPK melalui TWK menunjukkan berlanjutnya peristiwa "Cicak vs Buaya". Bedanya, serangan kali ini ada pencanggihan metode baru untuk melemahkan KPK dengan cara menguasai KPK.
"TWK sudah berhasil menunjukkan Cicak vs Buaya berlanjut, kalau dari jilid satu hingga jilid tiga serangan buaya dari luar berupa kriminalisasi, maka di jilid keempat ini serangan buaya dari dalam (internal KPK)," ujar Asfinawati
Dalam jilid sebelumnya, serangan terhadap KPK selalu melibatkan petinggi Polri, yakni jilid I (Susno Duadji), jilid II (Djoko Susilo), dan jilid III (Budi Gunawan). Kini, Cicak vs Buaya jilid IV terjadi dalam jangka waktu panjang. Mulai dari Pansus Angket DPR terhadap KPK pada 2017, seleksi pimpinan KPK periode 2019-2023, revisi UU KPK, hingga TWK. "Indonesia ini sudah dikuasai koruptor. Jadi ini bukan hanya endgame KPK, tapi ini endgame untuk rakyat," kata dia.
Film dokumenter KPK the EndGame yang diproduksi oleh WatchDoc resmi dirilis pada Sabtu (5/6). Lebih dari 169 titik yang tersebar di Indonesia menggelar nobar (nonton bareng) offline dokumenter yang bercerita soal kesaksian para pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus asesmen atau TWK.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.