Nasional
KPK Didesak Buka-bukaan
BKN dan Kemenpan RB menegaskan nasib 75 pegawai tetap di internal KPK.
JAKARTA -- Tidak lolosnya 75 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) terus dipertanyakan. KPK didesak transparan mengenai tes dalam peralihan pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Banyak pihak menilai tes yang dilakukan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) itu untuk menjegal orang-orang berintegritas yang selama ini menolak pelemahan lemabaga antirasuah lewat meng-ASN-kan para pegawainya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Sarifuddin Sudding meminta KPK menjunjung tinggi transparansi. KPK harus mengklarifikasi asumsi negatif publik mengenai TWK. "Prosesnya harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat tidak berspekulasi atas adanya tes wawasan kebangsaan terhadap para pegawai KPK," kata Sudding, Kamis (6/5).
Sudding mendukung agar KPK memiliki pegawai terbaik demi menyelamatkan Indonesia dari masalah korupsi. Tes bisa saja dilakukan asalkan transparan dengan menjelaskan alasan tidak meluluskan sebagian pegawainya. "Karenanya proses dan tahapan dari tes itu harus disampaikan ke publik agar tidak ada kesan ada upaya untuk menjegal orang-orang tertentu di KPK," kata dia.
KPK pada Rabu (5/5) mengumumkan sebanyak 1.274 orang pegawai lolos TWK. Sedangkan 75 orang tidak lolos dan dua orang tidak hadir wawancara. Meski Ketua KPK Firli Bahuri menolak mengungkap, nama-nama yang tidak lolos telah lebih dulu tersebar di publik.
Di antaranya, penyidik senior KPK Novel Baswedan, sejumlah kepala satuan tugas, pengurus inti wadah pegawai KPK, serta pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi lainnya.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap menilai TWK memang menjadi sarana menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas dan profesional. Karena itu, sejak awal WP KPK telah menolak TWK dengan mengirim surat kepada pimpinan KPK pada 4 Maret dan menjelaskannya dalam berbagai forum.
"Bahwa TWK berpotensi menjadi sarana legitimasi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai yang menangani kasus strategis atau menempati posisi strategis," kata Yudi.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago juga menilai tes tersebut hanyalah siasat untuk mendepak pegawai KPK. Khususnya mereka yang selama ini berurusan dengan kasus korupsi berskala besar dan melibatkan pejabat penting.
"Ini jelas cara halus mengusir pegawai KPK yang selama ini teruji dan punya jam terbang yang moncer dan punya trace record dalam menangani kasus kasus korupsi kelas kakap, bukan kasus korupsi kaleng-kaleng di bawah Rp 1 miliar," ujar Pangi, kemarin.
TWK itu juga tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Mekanismenya harus sesuai ketentuan peralihan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut," demikian dikutip berkas putusan nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diunggah laman resmi MK, Kamis (6/5).
Mahkamah menilai, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 6 UU 19/2019, telah ditentukan nomenklatur pegawai KPK adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisina mengatakan, BKN akan mengadakan rapat koordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) bersama KPK terkait kelanjutan nasib 75 pegawai KPK.
Pada Rabu, Sekretaris Jenderal KPK Cahya H Harefa mengatakan, KPK akan menyerahkan 75 nama itu ke Kemenpan RB dan BKN. Namun, Menteri PAN RB, Tjahjo Kumolo mengindikasikan menolak limpahan tersebut karena itu masalah internal KPK.
"Nanti akan rapat koordinasi dulu. Karena bolanya dilempar lagi ke pemerintah," kata Bima, kemarin. Namun, Bima juga menegaskan keputusan tetap ada di pimpinan KPK.
Pertanyaan Qunut Tendensius'
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menilai pertanyaan tentang doa qunut dalam shalat pada tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK lalu sangat tendensius. Menurut Mu’ti, selama ini doa qunut telah menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan umat Islam.
Terlebih, kata dia, sudah ada pengetahuan umum menyoal kelompok mana yang membaca qunut dan tidak saat shalat Subuh. "Pertanyaan tentang qunut itu tendensius," ujar dia kepada Republika, Kamis (6/5).
Dia menegaskan, membaca qunut atau tidak adalah masalah keyakinan individu, sehingga tidak perlu ditanyakan. Menyoal tes bagi ASN, qunut jelas Mu’ti, juga tidak berkesinambungan dengan integritas dan kinerja seorang ASN. "Mestinya semua pertanyaan tetap difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan profesionalitas, integritas, dan kinerja," kata dia.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Amirsyah Tambunan menyindir, pertanyaan soal qunut seharusnya sudah selesai di sekolah dan hanya menjadi pilihan saat shalat. Sehingga, pertanyaan di TWK KPK itu dinilainya tidak relevan dan tidak kontekstual.
Alih-alih qunut, kata dia, bangsa Indonesia justru membutuhkan ASN yang sangat memahami konstitusi dan sejumlah aturan hingga Perundang-undangan serta teknis lainnya. "Dan ini harus menjadi fokus materi ujian. Sehingga, ASN kita kelak bisa menegakkan aturan untuk mencegah korupsi, di mana Indonesia sedang darurat korupsi," kata Amirsyah.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad meminta KPK menjelaskan urgensi adanya pertanyaan seperti doa qunut dan kapan akan menikah. Sebab, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kinerja KPK.
"Seharusnya pertanyaan dalam tes memiliki proporsional dan relevan. Seperti ditanyakan seputar penanganan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Itu harus bagaimana?" kata dia, kemarin.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai TWK tak bisa menjadi dasar penilaian pegawai KPK. Apalagi materi pertanyaannya ngawur dan jauh dari isu pemberantasan korupsi.
"Pengangkatan status PNS dan ada ujian wawasan kebangsaan yang nampaknya ngawur pertanyaannya. Dagelan lelucon yang tak lucu, yang jelas makin nyata dari bentangan emperis semua adalah desain upaya pelemahan KPK," kata dia.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada Rabu menjelaskan, syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK agar lulus asesmen TWK yakni setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintah yang sah. Dia juga harus tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan serta memiliki integritas dan moralitas yang baik.
Dia mengatakan, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam melaksanakan TWK melibatkan banyak unsur instansi. Ada beberapa aspek yang diukur dalam asesmen TWK, yakni integritas, netralitas ASN, dan anti radikalisme.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.