Kota Madinah al-Munawwarah. Nabi Muhammad SAW saat berhijrah ke kota tersebut pertama-tama tinggal rumah sahabat, Abu Ayyub al-Anshari. | DOK FLICKR

Kisah

Rumah Pertama Muhajir Termulia

Terpilihnya rumah Abu Ayyub menjadi tempat tinggal sang muhajir termulia merupakan keberkahan yang amat besar baginya.

OLEH HASANUL RIZQA

Hijrah merupakan sebuah peristiwa besar yang menentukan arah sejarah syiar Islam. Waktu itu, tekanan atas dakwah Nabi Muhammad SAW begitu besar. Kaum musyrikin, utamanya dari kalangan petinggi Quraisy, sangat memusuhi Rasulullah SAW.

Begitu turun perintah dari Allah SWT, beliau pun mempersilakan umatnya untuk berpindah dari Makkah ke Yastrib—yang akhirnya berganti nama jadi Madinah al-Munawwarah.

Nabi SAW pun turut dalam hijrah. Beliau ditemani seorang sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan riskan, sampailah keduanya di kota tujuan. Penduduk setempat sudah menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat wajah al-Musthafa, mereka larut dalam suka cita.

Di antara kerumunan itu, salah seorang yang menyambut Rasulullah SAW ialah Abu Ayyub al-Anshari. Lelaki yang lahir dengan nama Khalid bin Zaid termasuk yang pertama-tama memeluk Islam di kalangan Anshar. Ia bahkan ikut dalam Baitul Aqabah, sebuah janji setia untuk melindungi sang utusan Allah.

Seperti umumnya warga Madinah, raut muka Abu Ayyub begitu cerah saat melihat Nabi SAW dan Abu Bakar. Ia pun ikut bersama orang-orang untuk mendekati, memegang tangan, dan mengucapkan salam kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasa letih dari menunggu seharian sirna sama sekali begitu menyaksikan dari dekat sosok pemimpin umat manusia.

Rasulullah SAW terus berjalan hingga tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf. Seluruh warga setempat langsung saja menghampiri beliau. Tiap orang berebut untuk memintanya agar bersedia menginap di rumah masing-masing. Bahkan, ada yang sengaja memegang tali kekang unta beliau. “Ya Rasulullah, mari tinggal di rumah kami!” kata seorang Bani Salim.

“Rumah saya saja, wahai Rasulullah! Rumah kami besar, jumlah keluarga kami banyak, serta perbekalan melimpah. Insya Allah kami sanggup melindungi Tuan,” timpal yang lain.

 
Maksud Rasulullah SAW, di manapun unta tunggangannya berhenti, maka di situlah dirinya akan bertempat tinggal.
 
 

Nabi SAW tersenyum dan menghentikan langkahnya sejenak untuk menjawab permintaan-permintaan itu. “Biarkan unta ini berjalan. Sungguh, ia sedang diperintah,” kata beliau. Maksud Rasulullah SAW, di manapun unta tunggangannya berhenti, maka di situlah dirinya akan bertempat tinggal.

Orang-orang pun membiarkan unta milik Nabi SAW untuk kembali bergerak bebas. Makhluk berleher panjang ini lalu berjalan hingga ke perkampungan Bani Bayadhah.

Akan tetapi, di sana Qashwa—demikian nama hewan tersebut—tidak sekali pun berhenti. Maka sampailah di desa Bani Sa’idah dan Bani al-Harits bin al-Khazraj. Di kedua lokasi itu pun, tidak disinggahi oleh hewan tunggangan Rasulullah SAW tersebut.

Penduduk Madinah yang dilewati unta itu hanya bisa pasrah, tetapi masih penasaran. Mereka bertanya-tanya di manakah gerangan Qashwa akan berhenti? Unta itu tiba-tiba bergerak ke arah perkampungan Bani Adi bin an-Najjar. Jangan-jangan, di sanalah tempatnya.

Beberapa orang Bani Adi bahkan sempat menahan tali kekang yang melingkari leher Qashwa. Ada pula yang berdiri di depan hewan tersebut dengan maksud menghalangi jalannya.

Bagaimanapun, hewan yang telah mengiringi Rasulullah SAW dalam hijrahnya itu tak diam begitu saja. Akhirnya, mereka membiarkannya lepas lagi. Beberapa warga meminta kepada Nabi SAW untuk memberhentikan unta itu di depan rumahnya.

“Biarkan saja unta ini berjalan, sungguh ia sedang diperintah,” jawab Rasul SAW sembari tersenyum. Kemudian, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, pilihkanlah untukku, pilihkanlah untukku.”

 
Saat memasuki wilayah Bani Malik bin an-Najjar, Qashwa tiba-tiba berhenti. Unta itu berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari.
 
 

Saat memasuki wilayah Bani Malik bin an-Najjar, Qashwa tiba-tiba berhenti. Unta itu berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Bahkan, hewan ini tampak mengelilingi kediaman sang sahabat Nabi SAW itu. Mengertilah Rasulullah SAW, Allah Ta’ala telah mengabulkan doanya.

Beliau pun tinggal di sana. Terpilihnya rumah Abu Ayyub menjadi tempat tinggal sang muhajir termulia merupakan keberkahan yang amat besar baginya. Betapa banyak penduduk Madinah yang menginginkan kehormatan itu; bahkan ada yang sampai-sampai mencegat unta Nabi SAW. Maka betapa bersyukurnya lelaki ini.

Sosok Abu Ayyub

Setelah tinggal beberapa bulan di rumah Abu Ayyub al-Anshari, Nabi SAW mendirikan masjid di atas sebidang tanah yang sebagian milik As’ad bin Zurrah yang diserahkan sebagai wakaf. Sebagian lagi milik dua anak yatim bersaudara, Sahl dan Suhail bin ‘Amr. Lokasi tanah milik kedua anak yatim itu merupakan lahan penjemuran buah kurma.

Ketika pertama kali didirikan, masjid ini berukuran sekitar 50x50 meter persegi dengan tinggi atap sekitar 3,5 meter. Rasulullah SAW membangunnya bersama dengan para sahabat dan kaum Muslim. Beliau juga meletakkan batu pertama. Selanjutnya batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima masing-masing diletakkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

 
Sahabat ini pernah menghadiahkan buah-buah kurma terbaik kepada Nabi SAW dan keluarga beliau.
 
 

Hingga akhir hayatnya, Abu Ayyub selalu menyertai dakwah Rasul SAW. Dalam situasi damai, ia merupakan petani kurma. Sahabat ini pernah menghadiahkan buah-buah kurma terbaik kepada Nabi SAW dan keluarga beliau. Atas kebaikannya ini, Rasulullah SAW kemudian membalasnya dengan memberikan seorang budak.

“Kuwasiatkan agar engkau berbuat baik kepadanya. Dan memuliakannya,” pesan Nabi SAW.

Di rumah, istri Abu Ayyub bertanya, bagaimana cara mewujudkan wasiat Rasulullah SAW itu. “Yang terbaik adalah kita memerdekakan budak ini dengan berharap ridha Allah,” jawabnya.

Abu Ayyub berusia cukup panjang. Ia turut dalam ekspedisi jihad umat Islam melawan Romawi Timur (Bizantium). Pada 52 Hijriah, lelaki ini wafat setelah sempat mengalami sakit.

Muslimin melaksanakan wasiatnya, yakni menguburkan jenazahnya di jarak terdekat dari wilayah musuh. Maka mereka memakamkannya di pagar benteng Konstantinopel.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat