Abu Dzar al-Ghifari sebelum memeluk Islam memiliki masa lalu yang cukup kelam. Bagaimanapun, tak pernah dirinya menyembah berhala bahkan sebelum mengenal syiar Islam | DOK PIXABAY

Kisah

Mulanya Abu Dzar Memeluk Islam

Sebelum mengenal Islam, Abu Dzar mencari penghidupan dari jalan merampok.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Para sahabat Nabi Muhammad SAW merupakan generasi yang teladan. Rasulullah SAW sendiri yang memuji mereka. Beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya (tabiin), kemudian generasi berikutnya (tabiit tabiin).” (HR Bukhari-Muslim).

Di antara mereka adalah Jundub bin Junadah al-Ghifari. Sejak memeluk Islam, lelaki ini lebih dikenal sebagai Abu Dzar al-Ghifari. Seperti tampak pada gelarnya, orang Arab berkulit sawo matang ini berasal dari Kabilah Ghifar, yang menghuni daerah antara Makkah dan Madinah—dahulu bernama Yastrib. Seluruh Jazirah Arab mengenai suku ini dengan predikat yang buruk.

Pada zaman pra-Islam, orang-orang Ghifar gemar merampok kafilah dagang yang melewati lembah perbukitan. Mereka merampas harta benda atau bahkan membahayakan nyawa banyak pedagang dan musafir.

Sebelum mengenal Islam, Jundub alias Abu Dzar pun mencari penghidupan dari jalan merampok. Yang luar biasa, ia tidak segan-segan membegal sendirian para targetnya. Alih-alih ikut dalam rombongan perampok, lelaki berjanggut tebal ini dengan percaya diri membekap mangsanya dan merebut sebanyak-banyaknya harta dari korbannya.

 
Pada zaman pra-Islam, orang-orang Ghifar gemar merampok kafilah dagang yang melewati lembah perbukitan.
 
 

Bagaimanapun, Abu Dzar percaya adanya Tuhan. Ia kerap merenung di kala malam, menatap luasnya langit dan ratusan bintang gemintang. Hatinya meyakini dengan sungguh-sungguh, tidak mungkin alam semesta ini ada tanpa Sang Maha Pencipta.

Karena itu, sebelum mendengar dakwah Rasulullah SAW, di termasuk yang beriman kepada Allah SWT. Tidak pernah kepalanya sujud menyembah kepada berhala.

Kisahnya dalam memeluk Islam disampaikan riwayat dari Ibnu Abbas. Abu Dzar berkata, “Sampai kabar kepada kami (Bani Ghifar) bahwa ada seorang lelaki di Makkah mengaku sebagai nabi. Aku pun menyuruh saudaraku, ‘Temuilah orang itu. Kabarkan padaku tentang dia!’ Saudaraku itu segera berangkat. Lantas, ia kembali dan menyampaikan, ‘Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran'.”

Berita yang dibawa saudaranya itu ternyata tidak memuaskannya. Abu Dzar pun segera bertolak menuju Makkah dengan bekal seadanya. Padahal, saat itu dia belum mengetahui dengan pasti siapa sosok yang mengaku sebagai utusan Allah itu, apatah lagi tempat tinggalnya.

Sesampainya di Makkah, ia berpapasan dengan Ali bin Abi Thalib. Sepupu Nabi Muhammad SAW itu lantas mencegatnya dan berkata, “Sepertinya kau ini orang asing?”

“Benar,” jawab Abu Dzar.

Ali lantas mengajaknya ke rumah untuk singgah dan menikmati jamuan. Abu Dzar pun menginap satu malam di kediaman Ali. Selama di sana, tidak pernah dirinya menceritakan maksud dan tujuan untuk menyambangi Makkah.

Menjelang waktu subuh tiba, ia melihat sang tuan rumah bersiap-siap ke masjid. Abu Dzar pun membuntutinya. Sepulang dari masjid, Ali bertanya kepada tamunya itu, “Apakah kau sudah memutuskan untuk tinggal di mana?”

“Belum.”

“Kalau begitu, tinggal lagi di sini bersamaku,” kata Ali menawarkan.

Melihat tamunya itu mengangguk, Ali kembali bertanya, “Sebenarnya, apa keperluanmu untuk datang ke Makkah?”

“Kalau kau rahasiakan, akan kuberi tahu,” jawab Abu Dzar.

“Aku akan merahasiakannya.”

Maka Abu Dzar mengungkapkan alasannya, yakni hendak menemui lelaki yang telah mengaku sebagai nabi di kota ini. Ali berkata, “Sungguh, Allah telah memberikanmu hidayah. Aku akan berjalan ke tempatnya, maka ikutilah aku. Kalau sampai ada yang yang melihatmu, aku khawatir mereka melakukan sesuatu padamu.”

Kedua orang ini lalu menuju ke rumah Nabi SAW dengan sedemikian rupa sehingga orang-orang tak menyangka mereka saling mengenal. Saat bertemu Rasulullah SAW, Abu Dzar memintanya untuk menjelaskan tentang Islam. Sesudah itu, dia langsung bersyahadat dan menyatakan diri sebagai Muslim.  

Waktu itu, syiar Islam masih disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Apalagi, kaum Muslimin di Makkah belum memiliki kekuatan untuk mengimbangi tekanan musyrikin, terutama yang berasal dari kalangan elite Quraisy. Akan tetapi, Abu Dzar bersikeras mengumumkan keislamannya di hadapan khalayak.

 
Saat bertemu Rasulullah SAW, Abu Dzar memintanya untuk menjelaskan tentang Islam. Sesudah itu, dia langsung bersyahadat dan menyatakan diri sebagai Muslim.
 
 

Ia berkata kepada Nabi SAW, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan meneriakkan hal ini di tengah-tengah mereka.” Abu Dzar pun pergi ke dekat Baitullah. Saat itu, banyak pemuka Quraisy berkumpul di sana.

Langsung saja ia berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang benar kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya!”

Tak menunggu lama, mereka menangkap dan memukuli Abu Dzar. Bahkan, nyaris saja lelaki yang baru memeluk Islam ini kehilangan nyawanya. Abbas datang di dekatnya dan mengangkat tubuh Abu Dzar yang babak belur.

“Celakalah kalian, kaum Quraisy! Apa kalian hendak membunuh seorang dari Bani Ghifar!? Padahal, jalur perdagangan kalian melewati perkampungan orang-orang Ghifar!” ujar Abbas. Mendengar itu, mereka berhenti menghajar Abu Dzar.

Sejak itu, ia menjadi salah satu sahabat Nabi SAW. Di Madinah, sesudah hijrah, Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan seorang Anshar bernama al-Mundzir bin Amr. Tak pernah sehari pun dilewatkannya tanpa mengambil ilmu dan hikmah dari sang khatamul anbiya.

Salah satu sifat beliau yang diteladaninya ialah kesederhanaan. Abu Dzar berkata, “Di zaman Rasulullah SAW, makananku hanyalah satu sha kurma. Dan aku tidak tertarik menambahnya hingga aku bertemu dengan Allah (wafat).”

Bahkan, Rasulullah SAW sendiri yang memuji sahabatnya itu. Beliau bersabda, “Tidaklah ada di atas bumi dan di bawah kolong langit ini seorang yang lebih jujur ucapannya dan lebih memenuhi janji dari Abu Dzar. Ia mirip dengan Isa bin Maryam (dalam zuhud dan tawaduk).” (HR at-Turmudzi).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat